Maju Mundur Aturan Baru BBM Subsidi, Ada Apa?

Zulfiq I Katadata
Peraturan tentang pembatasan BBM subsidi alias penyaluran BBM subsidi tepat sasaran berstatus menggantung. Jokowi beri kode "tahan dulu".
4/9/2024, 16.22 WIB

Peraturan tentang pembatasan BBM subsidi alias penyaluran BBM subsidi tepat sasaran berstatus menggantung. Informasi yang diperoleh Katadata, Peraturan sudah selesai dan tinggal diteken Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia. Peraturan sempat direncanakan keluar pada 1 September untuk kemudian berlaku efektif 1 Oktober. Namun, tiga hari menjelang tanggal itu, Presiden Joko Widodo memberi aba-aba untuk tahan dulu.

“Saya kira kami masih dalam tahap sosialisasi, kami akan melihat di lapangan seperti apa, belum ada keputusan, belum ada rapat,” ujarnya usai peresmian Gedung Baru Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Yogyakarta, 28 Agustus lalu. Jokowi seraya ingin meredam potensi gejolak baru di tengah kritik yang membara terhadapnya dan keluarga imbas urusan Pilkada hingga dugaan gratifikasi layanan jet pribadi untuk Kaesang Pangarep.

Skema penyaluran BBM subsidi tepat sasaran sudah disiapkan pemerintah setidaknya sejak Februari lalu. Di DPR, skema soal siapa yang berhak dan tidak berhak serta mekanisme penyalurannya bolak-balik dibahas dan dicoba dari sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Percaya diri, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sempat melempar ke publik soal rencana aturan terbaru berlaku pada 17 Agustus, sebelum kemudian dianulir dan kini menggantung.

Beberapa hari pasca-pernyataan Jokowi di Yogyakarta, sinyal pemberlakuan aturan bertambah kabur. Mengutip pernyataan Jokowi, dua hal mendesak yang melatarbelakangi kebijakan baru BBM adalah polusi Jakarta dan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terutama di 2025. Namun, baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap tak ada pembahasan soal itu. “APBN 2025 sedang dibahas dengan DPR, tidak ada pembahasan itu (pembatasan BBM subsidi),” ujarnya, Selasa, 3 September.

Sebelum pernyataan Sri Mulyani, Katadata sempat mendengar kemungkinan adanya rapat kabinet terbatas untuk memutuskan kelanjutan aturan. Beberapa informasi yang diperoleh Katadata, selain situasi politik yang memanas, ada isu kesiapan teknis yang buat Jokowi maju mundur.

Saat penggodokan aturan, Pertalite sempat dipertimbangkan hanya untuk kendaraan umum dan sepeda motor. Di sisi lain, solar subsidi untuk kendaraan umum, sembako, petani kecil, dan nelayan. Dengan begini, teknis penyaluran lebih sederhana. Namun dalam rancangan terakhir diputuskan berdasarkan kubikasi kendaraan untuk menjangkar dampak ekonominya. Dengan aturan baru, hanya sekitar tujuh persen kendaraan yang sebelumnya boleh membeli BBM subsidi menjadi tidak boleh lagi.

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin menekankan kebijakan ini penting karena faktanya, BBM subsidi mayoritas dinikmati orang kaya. "Semakin kaya dia, maka semakin banyak makan subsidi BBM. Karena makin kaya dia, mobilnya semakin gede (volume bensin), mobilnya makin banyak, berarti makin banyak pakai subsidi," ujarnya dalam acara Public Discussion Youth Energy Council (YEC), Rabu, 28 Agustus lalu.

Saat aturan masih menggantung di level pengambil keputusan, di lapangan, Pertamina Patra Niaga terus mensosialisasikan BBM subsidi tepat sasaran. Pemilik kendaraan diminta untuk mendaftarkan diri di situs www.subsiditepat.mypertamina.id guna mendapatkan kode QR. Tujuannya, untuk mengidentifikasi pengguna BBM subsidi agar tepat sasaran. Sebelumnya, mulai 2022, Pertamina Patra Niaga melakukan uji coba pendaftaran melalui MyPertamina untuk pembelian BBM subsidi di beberapa daerah. Pembatasan pembelian diberlakukan bagi yang belum terdaftar.

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Data Badan Kebijakan Fiskal Diolah)

 

Rencana "Terkini" Kebijakan Baru BBM subsidi

Ada dua hal utama yang bolak-balik disebut pemerintah melatarbelakangi kebijakan baru BBM yaitu anggaran BBM subsidi besar tapi banyak dinikmati masyarakat mampu alias kelas menengah ke atas. Selain itu, polusi yang mengganas khususnya di Jakarta dan sekitarnya, mayoritas disumbang gas buang kendaraan bermotor. 

Data pemerintah, anggaran subsidi dan kompensasi untuk solar subsidi dan Pertalite mencapai Rp 292 triliun pada 2022 dan Rp 148 triliun pada 2023. Sedangkan 95 persen solar subsidi dan 80 persen Pertalite dinikmati 60 persen masyarakat berpenghasilan teratas. Di sisi lain, di Jakarta, gas buang kendaraan berkontribusi di kisaran 32-57 persen terhadap polusi udara.

Secara garis besar, kebijakan baru memuat tiga hal yaitu BBM subsidi tepat sasaran, penggunaan wajar BBM subsidi, dan peningkatan kualitas BBM untuk menekan polusi. Intinya, pemerintah membidik penyediaan BBM rendah sulfur dari realokasi dana BBM subsidi yang selama ini tidak tepat sasaran. Lantas bagaimana rencana skemanya?

Pertama, BBM subsidi tepat sasaran. BBM subsidi jenis Pertalite hanya untuk mobil dengan kubikasi mesin di bawah 1.400 cc, sedangkan solar subsidi hanya untuk mobil diesel dengan kubikasi di bawah 2.000 cc. Ketentuan ini dikecualikan untuk beberapa kendaraan antara lain kendaraan umum, pengangkut pangan kelas kecil, nelayan, dan petani. Seluruh sepeda motor bisa menggunakan BBM subsidi.

Kedua, penggunaan wajar BBM subsidi. Rencananya, pemerintah akan menetapkan jumlah penggunaan wajar alias fair use untuk kendaraan yang berhak. Dengan kata lain, akan ada kuota pengisian BBM subsidi. Jumlah fair use akan mengacu pada data konsumsi BBM yang dimiliki pemerintah.

Ketiga, peningkatan kualitas BBM untuk menekan polusi. Rencananya, hasil dari penghematan subsidi BBM antara lain akan digunakan untuk penyediaan BBM sulfur rendah tanpa menaikkan harga. Pemerintah membidik BBM yang beredar memiliki standar kadar sulfur Euro 4 yaitu maksimal 50 parts per million (ppm).

Saat ini, mayoritas BBM yang disediakan Pertamina belum memenuhi standar ini. Di kelas solar, baru Pertadex 53 yang memenuhi standar ini. Di kelas bensin, baru Pertamax Green 95 dan Pertamax Turbo 98 yang memenuhi standar ini. Pertalite 90 yang paling banyak digunakan masyarakat 500 ppm, Pertamax 92 juga masih di kisaran 400-500 ppm.

Untuk mencapai standar itu, Pertamina harus membangun kilang-kilang baru dan ini membutuhkan biaya. Agar BBM sulfur rendah yang nantinya diproduksi memiliki harga tetap, akan ada dana kompensasi dari pemerintah untuk Pertamina.

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi 
 

Penghematan anggaran dari kebijakan baru ini juga diharapkan bisa mengalir ke program penyediaan transportasi publik. Meskipun, sejauh ini, belum tampak rencana komprehensif pembenahan atau transformasi transportasi publik nasional. Ini tercermin dari distribusi anggaran. Anggaran Kementerian Perhubungan turun drastis dari tahun ini tembus Rp 40 triliunan menjadi Rp 24,76 triliun tahun depan. 

 

DPR Ragu, Ajak Pemerintah Bahas Lagi

Suara ragu-ragu dari DPR menjadi pemberat bagi kebijakan baru BBM subsidi. Wakil Ketua Komisi VII Bidang Energi Bambang Hariyadi mengatakan, pihaknya dan pemerintah memang pernah membahas soal seleksi penerima subsidi energi, bukan hanya BBM tapi listrik. Namun, ia menekankan perlu adanya asas kehati-hatian dengan melihat situasi ekonomi masyarakat. Jika tujuannya penghematan anggaran, dia punya usulan yang hasilnya signifikan. 

“Kami sependapat mendukung langkah pemerintah. Tujuannya bukan untuk menghilangkan subsidi, tapi subsidi tepat sararan kepada penerima yang berhak. Tapi sebelum itu, dilakukan pembicaraan dengan kami di DPR. (Urusan) barang subsidi harus persetujuan DPR,” ujarnya kepada Katadata, Jumat, 30 Agustus lalu.

Dia menilai penghematan anggaran subsidi secara signifikan bisa dengan mudah dilakukan melalui penegakan hukum atas kebocoran solar subsidi ke industri pertambangan dan perkebunan. “Kami lebih mendukung ke solar. Solar itu penyimpangan besar karena beririsan erat ke industri,” ujarnya. Usulannya, solar subsidi hanya untuk kendaraan umum, sembako, petani kecil, dan nelayan. Pihaknya juga sempat menyarankan Pertalite untuk kendaraan umum dan sepeda motor. “Tapi waktu harus tepat, kami lebih ke solar,” ujarnya.  

Saran lainnya, penertiban penggunaan listrik subsidi oleh kalangan mampu. Catatan Bambang, terdapat 42 juta penerima listrik subsidi dengan anggaran mencapai Rp 90 triliun. Sebanyak 24,9 juta di antaranya menggunakan listrik subsidi golongan 450 watt, sebanyak 13,3 juta di antaranya tidak masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) alias data induk yang berisi data masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial. 

 

Ekonom dan Pengamat Transportasi Beri Sederet Catatan 

Dari segi ekonomi, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira punya beberapa catatan untuk kebijakan baru BBM subsidi. Pertama, senada dengan Bambang, Bhima mengingatkan soal kebocoran solar subsidi ke kendaraan pertambangan dan perkebunan besar. “Sementara (lewat kebijakan ini) yang ditekan retail, bukan kebocoran industri,” ujarnya, Jumat, 29 Agustus lalu.

Ia kemudian mempertanyakan jaring pengaman untuk kelas menengah rentan yang berpotensi terdampak oleh kebijakan ini. “Saran kami, bansos tunai tapi mencakup kelas menengah rentan. Ini yang missing (hilang dari rencana kebijakan). Tanpa kesiapan bansos atau kompensasi, jumlah orang miskin bisa menanjak, karena banyak kelas menengah rentan,” ujarnya. 

Bhima juga menyoroti keseriusan pemerintah untuk transisi ke kendaraan listrik dan penyediaan transportasi umum. Menurutnya, tanpa komitmen ini, wajar berkembang kecurigaan kebijakan ini hanya untuk mendanai program lain yang tidak ada kaitannya dengan transformasi di bidang energi dan transportasi. “Subsidi BBM dipangkas signifikan, tapi tidak (ada jaminan penghematan anggaran) balik untuk mendanai Energi Baru dan Terbarukan, transportasi publik yang kurang. Yang ada program makan siang gratis,” ujarnya.

Senada dengan Bhima, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan, pembatasan BBM subsidi tanpa pemebenahan angkutan umum hanya pepesan kosong. “Mereka tidak punya konsep transportasi umum, tapi pembatasan BBM subsidi. Tidak paham Indonesia, ngomong Indonesia. Ngamuk orang, dibatasi tidak ada solusi,” ujarnya. Jika ingin dimulai, menurut dia, mulai saja di Jakarta.

Ia mengingatkan, transportasi kebutuhan turunan tapi menentukan. “Sekarang kelas menengah, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, pengeluaran habis untuk transportasi: tiga teratas untuk beli kendaraan, sewa/kontrak rumah, dan bensin,” ujarnya.