Siang itu, selasar Pusat Grosir Tanah Abang, Jakarta Pusat, terasa sempit. Ratusan baju bertumpukan di depan jejeran kios. Sebagian besar baju masih tersimpan di dalam karung goni dan lainnya terikat tali plastik.
Tampak orang berlalu-lalang di pasar tekstil yang usianya hampir tiga abad tersebut tapi tak terlihat aktivitas jual-beli. Salah satu pegawai toko di Pasar Blok A Tanah Abang, Aldo, menyebut sepinya pengunjung sudah berlangsung sejak awal Agustus. Pelanggan enggan datang karena isu maraknya razia barang impor ilegal.
Sehari-hari, ia berjualan baju anak. Aldo mengaku produk impor di tokonya hanya sekitar 10%, sisanya merupakan buatan lokal. Ia mendapatkan barang-barang tersebut dari toko grosir.
Selain sepi pembeli, ia juga kesulitan memasok barang baru untuk tokonya. “Agak susah karena barang dari grosir tidak ada. Kalaupun ada, harga barangnya mahal,” kata Aldo kepada Katadata.co.id, Jumat (30/8).
Seorang pegawai toko lainnya, yang enggan disebut namanya, juga mengatakan hal serupa. Pasokan dari vendor menurun dalam sebulan terakhir. Begitu pula dengan pembelian di tokonya. Sejak isu razia muncul, jumlah pembeli menurun drastis.
Kondisi lebih memprihatinkan terjadi di Mal Mangga Dua, Jakarta Pusat. Aktivitas di sana nyaris tidak ada. Jumlah pengunjung di pusat perbelanjaan elektronik itu dapat dihitung jari pada setiap lantainya.
Mayoritas kios masih buka tapi yang biasanya penuh kini hanya terisi satu-dua produk. Lina Christian, salah satu pemilik toko, menyebut kunjungan selama Agustus 2024 merupakan yang terburuk sepanjang tahun ini.
Produk komponen komputer di tokonya nyaris tak ada yang beli. Ia sampai tidak membeli stok barang selama sebulan terakhir. “Sepi sekali. Tidak ada kehidupan di sini,” ujarnya.
Pegawai HJ Computer bernama Ivan juga mengeluhkan hal serupa. Selain sepi pembeli, harga barang jualannya pun naik secara bulanan. Dugaannya pengetatan barang impor di Pelabuhan Tanjung Priok membuat biaya pengiriman melonjak.
Banjir Barang Impor
Isu razia barang-barang impor muncul usai pemerintah membentuk satuan tugas pengawasan barang impor ilegal pada pertengahan Juli lalu. Sekitar 1,5 bulan usai pembentukannya, Satgas ini telah melakukan pemusnahan barang ilegal sebanyak tiga kali. Nilai pemusnahannya mencapai Rp 116,36 miliar.
Semua produk yang kena penindakan, Zulhas menyebut, berstatus ilegal karena tidak memiliki laporan surveyor, nomor pendaftaran barang, tidak berstandar nasional Indonesia (SNI), dan tidak memiliki layanan purna jual.
Ia meyakini kehadiran Satgas ampuh membuat sebagian kapal yang diduga mengangkut barang impor ilegal berbalik arah. Pusat perbelanjaan yang menjajakan produk tersebut pun kini mulai tutup.
“Importir negara asing yang bermarkas di Tanah Abang, Mangga Dua, dan Jawa Timur sekarang menghentikan kegiatan dulu,” ujarnya pada 21 Agustus lalu. “Mungkin mereka pulang ke negaranya.”
Namun, efektivitas Satgas tidak ampuh seratus persen. Alih-alih takut, Zulhas menyebut para importir ilegal hanya semakin lincah menghindari aparat. “Importir ilegal itu seperti kuman,” ucapnya.
Kehadiran Satgas Impor Ilegal merupakan buah dari kisruh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Larangan Pembatasan Barang Impor. Di dalamnya terdapat 518 kode harmonized system atau HS yang direlaksasi sehingga tidak perlu mendapatkan rekomendasi pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian.
Zulhas mengeluarkan Permendag itu usai terjadi penumpukan 26 ribu kontainer di pelabuhan karena tertahan aturan lama pembatasan barang impor. Sebanyak 17.304 kontainer tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan 9.111 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, sejak 10 Maret lalu.
Kabar penumpukan ini membuat Presiden Joko Widodo berang. Dalam rapat di Istana Negara pada 17 Mei 2024, ia memerintahkan para menterinya untuk merevisi Permendag impor yang telah diubah dua kali.
Permendag Nomor 8 Tahun 2024 pun muncul keesokan harinya. Aturan ini merelaksasi tujuh komoditas, yaitu elektronik, alas kaki, pakaian jadi, aksesoris, kosmetik, perbekalan rumah tangga, dan tas.
Lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menggelar konferensi pers di Pelabuhan Tanjung Priok. Barang di dalam 26 ribu kontainer itu pun bisa masuk.
Dua bulan kemudian, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia dan Himpunan Peretail dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia mengkritik langkah pemerintah. Relaksasi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 membuat produk impor ilegal semakin merajalela. Para peretail sampai menahan hingga mengurangi jumlah toko dalam mal.
Lalu, Kementerian Perindustrian ikut mengkritik kebijakan itu. “Jika yang menumpuk paling banyak bahan baku atau penolong, mengapa yang direlaksasi barang konsumsi atau barang hilir?” ucap Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif saat konferensi pers pada 7 Agustus lalu.
Relaksi seharusnya menyasar bahan baku yang dibutuhkan sektor manufaktur. “Ini ibarat yang sakit otaknya, yang diobati dengkulnya,” kata Febri, melansir dari Tempo.co.
Kinerja Manufaktur Terus Merosot
Persoalan banjir produk impor menjadi sulit terbendung. Padahal efeknya sudah terasa dengan penurunan kinerja industri pengolahan atau manufaktur yang berimbas pada banyaknya pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan.
Data dari perusahaan pemeringkat global, S&P, menunjukkan indeks manajer pembelian atau PMI manufaktur Indonesia semakin jeblok pada Agustus 2024, usai masuk ke level kontraksi pada Juli. Angkanya turun dari 49,3 menjadi 48,9.
Indeks di bawah 50 menunjukkan terjadi kontraksi dan PMI manufaktur pada bulan lalu menjadi kondisi yang terburuk dalam tiga tahun terakhir. “Ditandai dengan penurunan tajam pada permintaan baru dan output,” kata Economic Director S&P Global Market Intelligence, Paul Smith, dalam siaran persnya pada 2 September 2024.
Smith melihat harga bahan baku atau input masih naik di tengah penurunan inflasi. Pemicu kenaikannya adalah adanya hambatan dari segi pasokan yang membuat harga terus naik. Lalu, sempat terjadi lonjakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Selain persoalan bahan baku, permintaan pasar juga turun pada bulan lalu dibandingkan bulan lalu. Penurunan permintaan dari luar negeri juga turun tajam sejak Januari 2023. Kondisi ini yang menyebabkan melemahnya ekspor.
Banyak pelaku industri merespon kondisi itu dengan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, angka PHK pada bulan lalu melonjak. Jumlahnya pada Januari hingga Agustus 2024 naik 23,71% secara tahunan menjadi 46.240 orang.
PHK terbanyak terjadi di sektor manufaktur, khususnya pada industri tekstil, garmen, dan alas kaki. Provinsi dengan jumlah tenaga kerja paling banyak kena PHK adalah Jawa Tengah. Posisi kedua ditempat DKI Jakarta. Selisih keduanya sekitar 13 ribu orang.
Langkah pemerintah juga terbukti tak ampuh menghentikan produk impor masuk ke Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada periode Juli 2024 justru terjadi kenaikan impor pakaian.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia A Widyasanti mengatakan impor pakaian dan aksesoris rajutan naik 55,46%. Paling banyak dari Cina, Vietnam, Bangladesh, Turki, dan Italia. “Untuk HS62 (produk pakaian dan aksesoris bukan rajutan) naik 29,01%,” katanya pada pertengahan bulan lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengakui industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, mesin, dan karet tengah tertekan. “Mungkin permintaannya memadai tapi ada kompetisi dari impor,” ujarnya.
Industri tekstil tumbuh stagnan 0,0%, alas kaki hanya tumbuh 1,9%, mesin minus 1,8%, dan karet hanya tumbuh 2,1%. Ia akan menerbitkan peraturan menteri keuangan untuk mengatur bea masuk atau memakai tarif dalam mengatur barang impor.
Perbaikan industri pengolahan menjadi penting karena perannya sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Data Kemenperin menunjukkan, pada 2023 manufaktur menyumbang 72,24% nilai ekspor nasional. Industri ini menyerap 18,82 juta orang pada semester pertama 2024.
Namun, kontribusinya terhadap produk domestik bruto terus merosot selama sembilan tahun terakhir. Pada 2014, berdasarkan data BPS, angkanya masih 21,02%. Lalu, pada 2023 turun menjadi 18,67%.
Banyak pihak menyebut Indonesia kini memasuki deindustrialisasi karena peran manufaktur yang semakin turun. Dampaknya, lapangan kerja formal ikut merosot, pekerja informal justru naik.
Amalia sempat menyebut Indonesia mengalami deindustrialisasi dini karena terjangkit Dutch disease. Penyakit tersebut merujuk pada kondisi perekonomian negara yang terpuruk akibat eksplorasi sumber daya alam.
Istilah itu pertama kali muncul pada 1977 pada tulisan majalah The Economist. Ketika itu Belanda sedang mengalami krisis setelah menemukan cadangan gas alam sangat besar di Laut Utara pada 1959.
Kekayaan alam itu dieksploitasi besar-besaran sehingga mata uang gulden Negeri Kincir Angin meroket. Di sisi lain, produk non-minyaknya yang lebih padat karya menjadi kurang kompetitif dan produksinya mandek. Pengangguran pun melonjak dan investasi negara tersebut menurun.
Ancaman Badai PHK
Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung Nandi Herdiaman menyebut langkah pengetatan impor oleh pemerintah belum efektif. Selain itu, Satgas Impor Ilegal hanya menyasar importir besar, sedangkan praktik impor borongan masih marak terjadi.
Alhasil, impor pakaian jadi ilegal ke pasar lokal belum hilang. Kondisi tersebut diperburuk dengan volume pakaian jadi impor yang tak kunjung habis masuk ke pasar domestik akibat berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024.
Pakaian jadi impor pun kini terlanjur masuk ke Indonesia. “Untuk saat ini kami belum merasakan dampak kehadiran Satgas Impor Ilegal,” kata Nandi kepada Katadata.co.id, Kamis (5/9).
Pabrik garmen skala menengah dan kecil juga belum dapat manfaat apapun dari pengetatan impor pemerintah yang sudah berjalan sejak Mei lalu. Di tingkat retail, pedagang grosir maupun daring sedang berusaha menghabiskan stok di tengah sepinya pembeli.
Arus kas para produsen garmen saat ini sudah cekak karena tidak ada produksi di pabrik. Utilisasi pabrik garmen skala menengah dan kecil kini hanya 30%. Pabrik kelas menengah yang umumnya memproduksi 16 ribu lembar pakaian per hari, kini hanya 2.500 lembar.
Sebanyak 25 pabrik garmen kelas kecil yang bekerja sama dengan pabrik menengah tersebut pun kini terpaksa meliburkan karyawannya. "Kami saat ini tidak kesulitan mencari bahan baku tapi tidak ada pekerjaan di pabrik karena pasar lokal masih dipenuhi pakaian jadi impor," ujarnya.
Para pelaku industri petrokimia juga mengeluhkan produk impor, khususnya dari Cina, yang sulit dibendung. Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia alias Inaplas menyebut banyak industri plastik tutup imbas relaksasi Permendag Nomor 8 Tahun 2024.
“Jika ini dibiarkan, pabrik produk plastik akan banyak yang tutup dan merugikan industri turunannya, seperti makanan-minuman, peralatan rumah tangga, otomotif, dan tekstil,” kata Direktur Kemitraan Dalam Negeri dan Internasional Inaplas Budi Susanto dalam konferensi pers pada 9 Agustus 2024.
Industri bahan baku plastik kini hanya berjalan sekitar 50% sampai 60% dari kapasitasnya. Padahal, industri ini merupakan hulu dari produk plastik dalam negeri. “Kondisi perusahaan semakin melemah karena menanggung kerugian signifikan,” ucapnya.
Budi khawatir keterpurukan ini akan berdampak ke sektor ketenagakerjaan. Sebanyak 3 juta tenaga kerja berada dalam industri plastik. Ia berharap pemerintah segera merevisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan aturan pengetatan impor menjadi jamu pahit bagi perekonomian nasional. Meskipun langkahnya tepat, namun sulit mengubah situasi karena Indonesia sudah lebih 20 tahun banjir produk impor.
“Sudah candu dengan produk impor,” ucap Faisal. Upaya memakai Satgas dan bea masuk tidak dapat berlaku secara permanen. Pemerintah perlu membuat kebijakan peningkatan daya saing lokal.
Dengan naiknya daya saing, penyerapan tenaga kerja pun menjadi meningkat. Langkah ini pun dapat memperbaiki isu pelemahan daya beli kelas menengah yang terjadi pasca-pandemi Covid-19.
BPS mencatat, jumlah kelompok kelas menengah turun sejak pandemi. Pada Maret 2024 angkanya 47,85 juta dari sebelumnya 57,33 juta pada 209. Faisal menyebut kondisi ini terjadi karena banyak buruh sektor manufaktur terkena PHK.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia memprediksi pelemahan di sektor manufaktur akan berlanjut hingga akhir tahun. “Perlu kebijakan yang ketat untuk melindungi pasar domestik dari serbuan impor,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Industri Kadin Bobby Gafur Umar.
Pemerintah juga harus membuat program jangka pendek untuk menyelesaikan isu pelemahan permintaan ekspor dan penurunan daya beli masyarakat. Kedua kondisi ini telah menyebabkan utilisasi sebagian pabrikan sektor manufaktur kurang dari 40%.
Padahal, untuk dapat bertahan hidup, utilisasi pabrik minimal 50%. “Situasi ini sudah sangat berbahaya karena bisa terjadi gelombang PHK,” ujarnya.