Stok bahan bakar minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik swasta mengering sejak pertengahan Agustus, seiring pergeseran konsumsi masyarakat ke BBM nonsubsidi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, penjualan bensin di SPBU swasta mencapai 715.827 kiloliter (kl) sepanjang Januari-Juli 2025, hampir mendekati penjualan sepanjang 2024 yang sebesar 725.536 kl.
Ditengarai, antusiasme masyarakat membeli bensin di SPBU swasta dipicu dugaan kasus korupsi impor minyak mentah di PT Pertamina Patra Niaga, yang memunculkan polemik BBM oplosan, pada akhir Februari. Pertamina memang membantah pernyataan Kejaksaan Agung terkait polemik Pertamax oplosan tersebut, tetapi tidak mampu membendung keraguan masyarakat terhadap produk BBM-nya.
Alhasil, dalam tujuh bulan, penjualan BBM di SPBU swasta mengalami lonjakan hingga 91% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara penjualan BBM nonsubsidi Pertamina hanya tumbuh 14%. Artinya, pangsa pasar Pertamina bersaing ketat dengan SPBU swasta, terutama di wilayah yang terdapat SPBU non-Pertamina, seperti Jakarta dan sekitarnya.
Informasi yang diperoleh Katadata, SPBU swasta pun tidak menyangka terjadi lonjakan permintaan bensin. Dua pengelola SPBU swasta terbesar, Shell dan BP-AKR, bahkan telah mengupayakan menambah stok BBM dengan mengajukan tambahan impor pada Juni. Permintaan tambahan impor ini lumrah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, dan biasanya Kementerian ESDM akan memberikan izin meskipun jumlahnya selalu di bawah dari yang diajukan.
Namun, alih-alih mendapatkan izin, seluruh SPBU swasta menerima ketentuan baru yang membatasi kuota impor, yakni maksimal 110% dari penjualan 2024. Ketentuan tersebut disampaikan melalui secarik surat yang ditandatangani Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung pada 17 Juli 2025. Artinya, SPBU swasta tidak dapat mengajukan tambahan impor lagi pada tahun ini
“Kalau dilihat sampai saat ini, kami hanya menjual diesel. Untuk BBM jenis bensin, bisa dikatakan hampir seluruh SPBU kami stock out (stok habis),” kata Presiden Direktur Shell Indonesia Ingrid Siburian dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR, Rabu, 1 Oktober 2025.
Begitu juga bagi BP-AKR. Dengan tambahan kuota impor hanya sebesar 10% tidak mampu memenuhi kebutuhan stok di SPBU mereka. Apalagi, kata Presiden Direktur BP-AKR Vanda Laura, BP-AKR berencana menambah 10 SPBU hingga akhir 2025.
“Apakah itu (kuota 110%) cukup? Tentu belum. Misalnya kami ada peningkatan dari tahun ke tahun itu pastinya di atas 10%,” kata Vanda pada kesempatan yang sama.
Kebijakan ini dapat berdampak terhadap rencana investasi BP-AKR di Indonesia. Vanda mengatakan, perusahaan berharap memperoleh keuntungan yang akan diputar lagi untuk menjadi investasi berikutnya. Sejak pertama kali masuk di Indonesia, BP-AKR telah berinvestasi Rp1,8 triliun hingga September 2025. Kondisi saat ini bisa menyebabkan perusahaan patungan ini mengevaluasi ulang rencana investasi, lantaran berencana memiliki 250 SPBU pada 2030, dari 70 SPBU pada saat ini.
Kebijakan Baru Pembatasan Impor
Permintaan tambahan impor yang diajukan SPBU swasta sebenarnya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 tahun 2024 tentang Neraca Komoditas. Neraca komoditas berisi data konsumsi dan produksi komoditas tertentu dalam waktu satu tahun. Badan usaha dapat mengajukan ekspor maupun impor produk komoditas dengan mengacu pada neraca ini.
Adapun kuota impor yang diberikan kepada industri didasarkan pada perhitungan antara proyeksi jumlah pasokan dengan permintaan di tahun berikutnya. Menurut pasal 24 ayat 5, badan usaha diperbolehkan mengajukan kembali rencana kebutuhan impornya. Namun, pengajuan tersebut bertepuk sebelah tangan. Pemerintah tidak mengeluarkan izin, melainkan membuat ketentuan baru batas maksimum impor sebesar 110% dari kebutuhan tahun sebelumnya.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Laode Sulaeman mengatakan, kebijakan batas atas kuota impor tersebut tidak hanya ditujukan kepada SPBU swasta, melainkan juga Pertamina. Namun, sampai saat ini kuota impor Pertamina masih di bawah jumlah tahun lalu.
Menurut dia, pemerintah tidak perlu melakukan perubahan neraca komoditas untuk menambah kuota impor BBM. Meski SPBU swasta mengalami kekurangan stok dan impor, Pertamina masih memiliki kuota berlimpah.
“Kewajiban pemerintah untuk mengatur neraca komoditas ini, sehingga kami mengambil langkah untuk Pertamina dikolaborasikan dengan yang stoknya hampir habis,” kata Laode di Gedung Parlemen, Rabu, 1 Oktober 2025.
Analis Kebijakan Publik Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengatakan, implementasi neraca komoditas perlu dievaluasi. Menurutnya, kekisruhan impor BBM bukan masalah pertama yang timbul akibat neraca komoditas. CIPS mencatat, beberapa kasus muncul akibat data pasokan neraca komoditas tidak akurat, revisi kuota yang memakan waktu lama, serta proses penerbitan izin impor yang tidak otomatis.
Penelitian CIPS menunjukkan, data pasokan pemerintah terlalu umum dan tidak sesuai dengan kebutuhan rinci industri. Permintaan industri dirinci dalam kode sistem harmonisasi (HS) untuk kelas dan penggunaan tertentu, sementara pasokan pemerintah tidak.
“Jika evaluasi tidak dilakukan, maka neraca komoditas ini akan berisiko menjadi sistem birokrasi perdagangan yang justru memperbesar ketidakpastian pasar,” kata Hasran.
Solusi yang Timbulkan Masalah Baru
Seusai rapat bersama dengan para pengelola SPBU swasta pada 19 September, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan “solusi” untuk mengatasi kelangkaan stok BBM. SPBU swasta dapat melakukan impor BBM dengan menggunakan kuota yang dimiliki Pertamina. Saat mengumumkan kebijakan tersebut, Bahlil didampingi para pimpinan dan perwakilan perusahaan pengelola SPBU swasta, seperti Shell, BP-AKR, ExxonMobil, dan Vivo.
“Mereka setuju dan memang harus setuju untuk beli serta kolaborasi dengan Pertamina,” ujar Bahlil.
Bahlil menyebutkan empat poin kesepakatan tersebut: Pertama, impor bensin dalam bentuk base fuel. Penambahan zat aditif dan formula dilakukan oleh masing-masing SPBU; Kedua, pengadaan base fuel diawasi lewat mekanisme joint surveyor untuk menjaga kualitas; Ketiga, Pertamina dan SPBU swasta bekerja sama lewat skema business to business; Keempat, kargo pertama impor BBM akan tiba paling lambat dalam tujuh hari.
Ketika kargo pertama yang diimpor Pertamina datang, Pertamina mengumumkan kalau Vivo berminat mengambil 40 ribu barel dari 100 ribu barel yang ditawarkan pada 26 September. Begitu juga dengan BP-AKR yang akan membelinya. Namun, kedua SPBU swasta tersebut membatalkan rencana pembelian lantaran ada perbedaan spesifikasi base fuel yang dibutuhkan.
Wakil Direktur Pertamina Patra Niaga Achmad Muchtasyar mengatakan, base fuel yang diimpor Pertamina memiliki campuran etanol 3,5%. Sebenarnya, kandungan etanol tersebut diperbolehkan, bahkan kata Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Roberth MV Dumatubun, penggunaan etanol dalam BBM merupakan praktik yang telah diterapkan secara internasional.
Namun, kandungan ini tidak sesuai dengan formula base fuel yang dibutuhkan BP-AKR dan Vivo. Menurut Presiden Direktur BP-AKR Vanda Laura, selain ketidaksesuaian spesifikasi, perusahaan juga memerlukan surat keterangan asal (certificate of origin) bahan baku BBM tersebut. Ini untuk memastikan produk tidak berasal dari negara yang mendapat embargo perdagangan sesuai dengan ketentuan BP global.
Lain halnya dengan Shell. Menurut Vice President Corporate Relations Shell Indonesia Susi Hutapea, pihaknya baru mengajukan prakondisi negosiasi dengan Pertamina. Dalam prakondisi tersebut, mereka menyampaikan tiga aspek yang perlu dipenuhi untuk menggunakan base fuel hasil impor Pertamina. Ketiga aspek ini adalah aspek mutu, komersial, dan operasional.
“Mendapatkan barang dari lokal atau Pertamina bukan hal yang haram buat Shell, kami pernah melakukannya. Asalkan tiga aspek terpenuhi,” kata Susi di Gedung DPR.
Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Roberth MV Dumatubun mengatakan, saat ini pihaknya tengah proses negosiasi dengan Vivo dan BP-AKR, bahkan sudah sepakat menindaklanjuti pembicaraan lebih teknis. “Tahap akhir (dalam pembahasan) adalah pengiriman kargo (base fuel) yang sudah disepakati sekitar minggu ketiga Oktober,” kata Roberth dalam siaran pers, Senin, 6 Oktober 2025.
Adapun dengan ExxonMobil dan Shell Indonesia negosiasi belum dilakukan. Roberth mengatakan, Shell masih perlu berkoordinasi dengan kantor pusatnya. Sedangkan, Exxon baru mulai berdiskusi untuk kebutuhan November karena masih memiliki stok untuk bulan ini.
Bisa Turunkan Citra Pertamina dan Investasi Indonesia
Pemerintah memastikan skema swasta impor BBM lewat Pertamina ini hanya berlaku untuk memenuhi kebutuhan hingga akhir 2025. Sedangkan untuk tahun depan, SPBU swasta sudah dapat mengajukan kuota impor pada Oktober.
Meski begitu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan, tarik ulur soal kuota impor ini menghilangkan pilihan konsumen untuk produk BBM nonsubsidi. Ini juga memperkuat dominasi pasar Pertamina.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan, pasokan yang terbatas mengurangi pilihan konsumen di pasar. Selain itu, aktivitas ekonomi masyarakat dan pelaku usaha terganggu.
Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi mengatakan, kekisruhan mengenai kelangkaan stok BBM SPBU swasta berpotensi memperburuk citra Pertamina. Apalagi Pertamina sudah diterpa isu bensin oplosan dan sedang berusaha meningkatkan kepercayaan publik.
Kekisruhan ini seakan-akan menunjukkan Pertamina menggunakan kekuasaan untuk mengambil pasar swasta. Politikus Partai Gerindra ini mengatakan kepercayaan terhadap Pertamina berpotensi turun lagi karena terlihat seperti memaksa swasta.
“Kami tahu Dirut (direktur utama) Pertamina kader kami (Gerindra), tapi kami tidak ingin juga Pertamina jadi korban,” katanya saat memimpin RDP, Rabu, 1 Oktober 2025.
Lebih lanjut, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, persoalan ini menjadi contoh ketidakpastian berinvestasi di Indonesia. Menurutnya, ketidakpastian tidak hanya dirasakan investor asing, melainkan juga domestik. “Kalau investor dalam negerinya nggak nyaman di negara sendiri kan sulit juga,” katanya kepada Katadata, Senin, 6 Oktober 2025.
Dia menilai tawaran pemerintah untuk pengelola SPBU swasta untuk membangun kilang di Indonesia juga kurang tepat. Lantaran, investasi untuk kilang jauh lebih besar dibandingkan dengan membangun SPBU. “Kalau yang nilainya kecil (SPBU) saja diganggu begini, bagaimana nanti yang nilainya miliaran dolar?” kata Moshe.