Investasi di Sektor Batu Bara Perlu Dukungan Regulasi Pemerintah

Ilustrator: Betaria Sarulina | Katadata
Penulis: Tim Redaksi
11/6/2018, 06.45 WIB

Dalam beberapa tahun terakhir, investasi di sektor pertambangan batu bara terus meningkat. Yang menarik, investasi langsung dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) justru lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman modal asing (PMA). Hal ini menunjukkan perusahaan-perusahaan batu bara lokal mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Di sisi lain, ada kecenderungan investor asing memilih mengurangi investasinya di sektor ini karena ketidakpastian regulasi dari pemerintah. Kebijakan pemerintah yang kerap berubah-ubah dan pajak yang relatif tinggi dikhawatirkan menghambat perkembangan sektor pertambangan batu bara di Indonesia. Padahal, sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) sepanjang tahun lalu menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 40,6 triliun, meningkat 25% dibandingkan 2016. Sektor ini juga menyerap jutaan tenaga kerja.

Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Garibaldi Thohir mengatakan, sektor pertambangan batu bara membutuhkan dukungan kepastian regulasi agar mampu meningkatkan daya saing di kancah global. Indonesia sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia saat ini menghadapi persaingan yang ketat dengan Australia, Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan produsen batu bara lainnya.

"Yang kita perlukan adalah support pemerintah sehingga iklim investasi ini menjadi kondusif dan kita mampu berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan tambang di seluruh dunia," kata Boy Thohir, sapaan akrab Garibaldi Thohir.

Dalam wawancara khusus dengan Metta Dharmasaputra, Arnold Sirait, dan Hari Widowati dari Katadata beberapa waktu lalu, Boy Thohir mengungkapkan perlunya kebijakan dan iklim investasi yang kondusif bagi perkembangan sektor batu bara.

Menurut pelaku usaha, bagaimana bisnis batu bara di Indonesia saat ini?

Ada dua hal di bisnis batu bara di Indonesia. Seperti kita ketahui, 30 tahun lalu sektor pertambangan hampir 100% dikuasai investor asing. Kalaupun tidak 100%, sekitar 20% itu hanya nominee lokal karena Pak Harto (Presiden RI Kedua M Soeharto) memberikan nominee kepada Jusuf Merukh dan Ishak Juwarsa.

Saya mulai masuk ke bisnis pertambangan dengan bendera PT Allied Indo Coal pada 1992 di Sawah Lunto, Sumatera Barat. Kemudian muncul otonomi daerah pada 2005. Di tahun itu juga, saya bersama konsorsium pengusaha Indonesia yakni Edwin Soerjadjaja, T.P. Rahmat dan Benny Subianto mengambil alih PT Adaro Indonesia dari New Hope Corporation (perusahaan asal Australia) di Kalimantan Selatan.

Ini peluang untuk kita sebagai pengusaha lokal untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Investor asing pusing dengan otonomi daerah, pusing dengan tuntutan masyarakat seperti corporate social responsibility (CSR), dan lain-lain. Belum lagi dengan kebijakan pemerintah pusat yang ingin mendorong peran perusahaan nasional.

Akhirnya investor asing bilang, this is the time to sell karena sebelumnya mereka sudah untung. Pengusaha lokal mengambil peluang ini. Saya bilang, saya bisa (mengambil alih) teknologi dan pekerja yang ada di perusahaan tambang adalah pekerja lokal, alat berat sudah tersedia. Ekspatriat juga kita pekerjakan yang terbaik dari seluruh dunia. Jadi, peluangnya besar sekali untuk kami masuk dan menjadi pemain di tambang batu bara.

Peraturan mana yang perlu diperbaiki untuk mendukung iklim investasi di sektor batu bara?

Kami bayar pajak (PPh Badan) 45%. Di luar negeri mana ada seperti ini? Kami baru membeli perusahaan tambang di Australia (Adaro dan EMR Capital membeli tambang batu bara Kestrel dari Rio Tinto), pajaknya tidak 45%. Mereka prinsipnya tender, siapa yang menjadi highest bidder, dilihat kemampuan pendanaan ada, kesiapan, dan pengalaman. Akuisisi gampang saja, kalau di sini kan tidak (segampang itu).

Poin saya, inilah saatnya. Pengusaha nasional sudah membuktikan bahwa kami bisa (mengelola aset tambang nasional). Bakrie bisa, Boy Thohir bisa, Arifin Panigoro bisa, Grup Kiki Barki dan grup lainnya bisa.



Seandainya ada peluang, bisa mengambil alih Freeport juga?

Insya Allah bisa karena menurut saya Freeport memang lebih sophisticated dari sisi risiko dan size. Yang namanya bisnis, kita tidak perlu berantem. Saya mengambil aset eks BHP Biliton yang di Kalimantan Tengah, sekarang jadi Adaro Met Coal. Bekas pegawai BHP kami rekrut lagi, profesional saja. Mereka digaji lebih tinggi dan tidak perlu pusing urusan eksternal dengan pemerintah.

Yang kami perlukan adalah dukungan pemerintah sehingga iklim investasi menjadi kondusif dan pada akhirnya kita mampu bersaing dengan perusahaan tambang di seluruh dunia. Yang jual batu bara kan bukan Indonesia saja. Kami harus bersaing dengan perusahaan tambang dari Australia, Tiongkok, India, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan lain-lain.

Kalau iklim investasinya tidak mumpuni, bagaimana bisa kita bersaing dengan mereka? Kesimpulannya, saat ini waktunya tepat, prospek bagus. Yang kami perlukan dukungan dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, seperti masyarakat, pemerintah daerah karena bisnis pertambangan ini multiplier effect-nya banyak.

Kebijakan pemerintah ini termasuk kebijakan domestic market obligation (DMO)?

Prinsip saya, kepentingan nasional harus diutamakan. Kalau ini demi kepentingan yang lebih besar, tarif listrik untuk masyarakat bawah tidak boleh naik. Ini kebijakan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), apapun yang beliau putuskan, saya ikut.

Tetapi, saya juga mengatakan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Unfortunately, di Indonesia dan seluruh dunia itu menganut mekanisme pasar. Bila ada intervensi dari pemerintah terhadap harga (batu bara untuk pasokan listrik PLN), pasti terjadi distorsi. Biasanya distorsi itu tidak sustain. Itu saja tolong pikirkan baik-baik. 

Dampak distorsinya seperti apa?

Dengan ada distorsi harga ini, misalnya harga batu bara acuan masih di atas US$ 100 per ton. Begitu ada kebijakan domestik HBA US$ 70 per ton, pembeli kita yang di luar negeri apalagi yang tidak punya kontrak jangka panjang akan menawar harga lebih rendah.

Saya bilang harga batu bara US$ 100 per ton, mereka menawar US$ 80 per ton. Saya bilang tidak bisa. Mereka bilang, jual saja batu bara Anda di pasar domestik dengan harga US$ 70 per ton. Kalau ada selisih US$ 20 per ton dari penjualan kami berkurang US$ 40 juta per bulan. Opportunity loss dalam setahun dikalikan saja 12 x US$ 40 juta.

Apakah kebijakan itu yang membuat investor menahan investasi ke depan hingga 2019?

Menurut saya bukan saja sampai 2019. Investor asing akan berpikir, Newmont is selling out. Ada investor baru atau tidak di sektor tambang, terutama dari luar negeri? Tidak ada. Saya melihat ini peluang untuk perusahaan Indonesia. Saya menganut right or wrong it's my country, apapun yang diputuskan pemerintah, kami ikut. Cuma kami berharap dapat dukungan lagi dari regulasi dan iklim investasi yang kondusif sehingga bisa berkompetisi.

Dalam jangka panjang, DMO ini justru mendistorsi dan membahayakan industri?

Saya tidak menolak DMO, yang saya tidak sependapat adalah soal harga. Kalau cuma DMO, kepentingan nasional yang utama. Kalau pasar domestiknya besar, buat apa ekspor? Cuma kan sekarang pasar domestiknya belum besar dan kita masih membutuhkan devisa. Kita balance saja, domestik kita penuhi dan ekspor kita ambil peluangnya. Kami bayar pajak dan PNBP, Adaro itu kontribusinya 70% untuk negara. Tahun lalu pajak yang dibayarkan Adaro hampir US$ 750 juta, salah satu yang terbesar di Indonesia.

Opportunity loss itu bukan hanya untuk perusahaan tetapi juga untuk Indonesia?

Ada distorsi harga, belum lagi penyelundupan. Orang dagang pasti menghitung kalau harga US$ 70 per ton, biaya US$ 70 per ton buat apa dagang? Supaya biaya enggak mencapai US$ 70 per ton, stripping ratio dikurangi jadi biayanya US$ 65 per ton. Akibatnya, aset yang tadinya bisa ditambang berkurang dan cadangan hilang.

Apakah penyelundupan itu mungkin terjadi?

Pasti lah. Kalau beda harga US$ 20-US$ 30, jangankan batu bara, mobil saja diselundupkan.

Transaksi akuisisi tambang Kestrel dari Rio Tinto, apakah Adaro ingin mengulang kisah Bakrie mengambil alih Arutmin dan KPC?

Mungkin agak beda. Visinya itu katakanlah di thermal coal itu Adaro sudah cukup mapan. One of the best, efficient. Tapi, saya juga melihat selain thermal coal itu coking coal punya nilai tambah yang tinggi untuk bahan bakar industri baja. Sekarang era disruptif jadi kami juga harus mendisrupsi diri sendiri. Sebelum terkikis zaman, kami harus diversifikasi bisnis. Dalam kemampuan kami adalah ke coking coal, 5-6 tahun lalu kami sudah mulai dengan mengambil alih aset BHP di Kalteng.

Akan seberapa besar komposisi coaking dan thermal di Adaro?

Saya mimpi cukup besar. Mungkin ke depan katakanlah thermal coal mencapai puncaknya. Kami juga tidak mau menambah produksi, melihat keekonomiannya. Kami hitung memang tambang Adaro Indonesia itu puncaknya 50 jutaan ton seperti sekarang. Dengan produksi 50 juta ton, saya bisa menambang 20 tahun sehingga saya bangun juga pembangkit listrik. Kemudian saya melihat ada peluang di coking coal, saya akan tumbuhkan produksi coking coal dari 1 juta ton menjadi 3 juta ton lalu 10 juta ton.

Bisa dibilang bisnis masa depan Adaro ada di coking coal?

Sangat bisa dibilang begitu. Pemain coking coal di dunia tidak banyak. Sebelumnya dikuasai Rio Tinto dan BHP Billiton. Di luar itu ada Tiongkok dan Rusia. Di Indonesia ada Adaro, apalagi setelah kami ambil lagi aset Rio Tinto yang di Australia, dengan kombinasi itu kami bisa bersaing.

Kalau transaksi ini tuntas, Adaro akan menjadi salah satu pemain utama di coking coal?

Harapannya begitu. Adaro menjadi salah satu dari top five pemain coking coal dunia.