Koran Radar Banyumas, Sabtu (14/5) menulis headline: "Najwa Shihab Sukses 'Sihir' 23.000 Penonton". Koran ini menceritakan betapa penonton acara Mata Najwa On Stage, yang membeludak di alun-alun Kota Purwokerto bergeming, bahkan ketika hujan deras mengguyur arena. Mereka seperti tak hendak beringsut sedikitpun, tak ingin kehilangan momen selama pertunjukan berlangsung.
Boleh jadi Mata Najwa On Stage memang sebuah pertunjukan. Boleh jadi juga sebagian penonton rela berbasah-basah, hingga kering lagi, memang hendak menonton artis pujaannya seperti Gita Gutawa atau Endank Soekamti, band yang di kalangan anak muda Jawa Tengah dan Yogya sedang ngehit. Tentu saja popularitas Najwa Shihab yang amat terampil, cerdas, dan cantik sebagai tuan rumah Mata Najwa, menjadi magnet tersendiri.
Tapi, perhelatan besar itu bisa jadi sebuah ikhtiar pendidikan. Empat bupati muda dan unik ditampilkan. Bupati Banyumas Achmad Husein, alumni Teknik Sipil ITB meninggalkan dunia korporasi yang telah lama digelutinya. Bupati Tegal Ki Dalang Enthus Susmono, harus kehilangan pendapatan ratusan juta rupiah per-pekan sebagai dalang kondang. Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, peraih Bung Hatta Award 2015, pensiun dini sebagai perwira Angkatan Darat. Adapun Bupati Trenggalek Emil Dardak, doktor ekonomi yang masih muda, cerdas dan santun, memilih meninggalkan dunia konsep dan terjun ke tengah rakyat.
Saya, bersama dua legislator muda: Budiman Sudjatmiko dan Mutia Hafidz menjadi bagian dari acara Mata Najwa On Stage, tampil sesudah keempat bupati tersebut selesai diwawancara Najwa.
Mendengar keempat bupati itu bertutur, setidaknya ada empat kata kunci yang menjadi benang merah mengapa orang-orang ini dipilih rakyatnya: reputasi, kejujuran, kompetensi, dan ketulusan.
(Baca: Menteri ESDM Minta Pemda Maluku Awasi Calo Tanah Proyek Masela)
Lamanya mereka bertugas bervariasi, ada yang sudah masuk periode kedua, ada yang baru tahun ke tiga, ada pula yang baru dilantik tiga bulan lalu. Tapi keempatnya menyuarakan hal yang sama. Mereka datang bukan menawarkan diri, tetapi diminta rakyat karena reputasinya. Mereka menawarkan kejujuran, kelurusan, dan kompetensi, bukan money politics, menyuap rakyat agar dipilih. Mereka juga menjalankan amanah dengan ketulusan, mengajak rakyat menghadapi dan menyelesaikan masalah bersama, bukan janji surga yang melenakan.
Dalam obrolan sambil menunggu giliran tampil di panggung, saya mendengar kegelisahan mereka soal korupsi. Saya menangkap keinginan kuat mereka untuk memajukan daerahnya, menyejahterakan dan membuat pintar warganya. Dari Mas Yoyok, Kang Enthus, Mas Emil, dan Mas Achmad Husein, tertangkap jelas niat luhur menjadi pelayan rakyat, jauh dari euphoria kegilaan pada kekuasaan dan simbol-simbol kebesaran sebagai pejabat publik. Dari mereka, saya belajar bahwa kesederhanaan dan kesantunan yang berpadu dengan visi dan kerja keras, niscaya akan membuahkan kemanfaatan bagi banyak orang.
(Baca: Dituding Setya Bersaksi Palsu, Sudirman: Lihat Saja Siapa yang Bohong!)
Sepanjang jalan kembali ke Jakarta dari Purwokerto menggunakan kereta api, saya diingatkan oleh dua hal. Pertama, cita-cita para pendiri bangsa kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan turut serta dalam membangun ketertiban dunia -- seperti tercantum dalam teks Mukadimah UUD 1945. Dalam skala wilayah yang mereka urus, para bupati ini sesungguhnya sedang mengamalkan apa yang dicita-citakan pendiri bangsa kita, para founding fathers.
Kedua, saya teringat teori kepemimpinan Jim Colins penulis buku “Good to Great” yang terkenal itu. Riset Jim Collins mencatat dari ratusan institusi hebat yang dapat menjaga kelangsungan kehebatannya, biasanya dipimpin oleh seorang yang disebutnya sebagai Pemimpin Level 5. Pemimpin Level 5 adalah pemimpin yang memadukan kerendah-hatian personal (personal humility) dan kekuatan profesionalisme (strong professional drive).
Kombinasi ini disebutnya sebagai paradoks: di satu sisi dia tidak menonjolkan diri, selalu rendah hati, santun, dan bersahaja. Di sisi lain, pemimpin seperti ini menunjukkan kegigihan dan kekuatan tekadnya untuk sukses menghadirkan kemanfaatan bagi lingkungan yang dipimpinnya. Empat bupati yang tampil di Mata Najwa di alun-alun Purwokerto adalah sosok pemimpin yang memiliki karakter sebagai Pemimpin Level 5.
Menerawang jauh ke seantero negeri, otonomi daerah, demokratisasi, dan budaya meritokrasi telah dan akan memberi kesempatan lahirnya pemimpin baru seperti empat bupati tersebut. Kita punya Bima Arya di Bogor, Ridwal Kamil di Bandung, Walikota Risma di Surabaya, Bupati Nurdin di Bantaeng, dan lainnya.
Di Bojonegoro ada Kang Yoto, tokoh Muhammadiyah yang dicintai warga NU karena kejujuran dan prestasinya. Di Banyuwangi kita punya Abdulllah Azwar Anas yang berhasil membuat mata dunia menengok kota paling timur di ujung Jawa.
(Baca: Sudirman Beberkan Rekaman Kongkalikong Calo Freeport ke Kejaksaaan)
Pada tingkat provinsi, Indonesia tentu punya sejumlah gubernur progresif, jujur dan pekerja keras yang memberi harapan bagi rakyatnya.
Di fungsi legislatif, saya yakin Budiman Sudjatmiko dan Mutia Hafidz punya banyak kolega dengan semangat yang sama: melayani, memfasilitasi, dan memajukan bangsanya.
(Baca: Sudirman Said Beberkan Jejak Setya Novanto dalam Skandal Freeport)
Di seluruh Indonesia kita punya sekitar 3.000 institusi penting, mulai dari Kementerian/Lembaga, Lembaga Non Kementerian, Pemda, partai politik, BUMM, BUMD, perusahaan swasta di bursa saham, hingga ormas dan media berpengaruh.
Saya berfikir jika Indonesia memiliki 3.000 saja pemimpin yang memiliki karakter dan semangat seperti para bupati itu, maka kita akan menjadi bangsa yang maju dan mampu berdiri sejajar, bahkan mengungguli bangsa lainnya. Kita butuh 3.000 pemimpin yang paham dan bersedia bekerja untuk mewujudkan cita cita para pendiri bangsa. Mereka yang mampu menjadi teladan dari dua karakter luhur: kerendah-hatian pribadi dan kekuatan profesional.
Di Purwokerto, saya belajar dari Mas Enthus, Mas Yoyok, Mas Emil dan Mas Achmad Husein.
Dari seantero Nusantara kita akan belajar lebih banyak hal. Meskipun tampaknya ada sejumlah kasus dimana uang menjadi pemenang, yakinlah bahwa itu suasana temporer saja. Pada akhirnya, kebenaran, kebaikan, dan perbaikan akan menjadi pemenang sejati. Seperti sejarah mengajarkan pada kita.
*Opini ini berdasarkan tulisan Sudirman Said berjudul “Catatan dari Purwokerto” yang ditulisnya di Jeddah, Arab Saudi, 17 Mei 2016, yang diterima oleh Redaksi Katadata. Pemuatannya sudah atas sepengetahuan dan seizin yang bersangkutan.