Terlalu Banyak Juru Masak di Sektor Migas

Donang Wahyu|KATADATA
Sudirman Said
Penulis: Sudirman Said
Editor: Yura Syahrul
21/3/2016, 17.27 WIB

KATADATA - Belakangan ini, Sudirman Said cenderung irit bicara, terutama kalau membahas masalah pengembangan Blok Masela. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini punya sebuah jawaban pendek: soal itu, saya menunggu kebijakan Presiden Joko Widodo.

Kalimat andalan itu pula yang disampaikannya dalam wawancara khusus dengan Tim Katadata, di sebuah restoran khas Manado di kawasan Jakarta Selatan, Rabu dua pekan lalu (16/3). Bisa dimaklumi, Sudirman enggan membahas terus pengembangan blok kaya gas di Laut Arafuru tersebut karena selama tiga bulan terakhir ini telah memicu kehebohan.

Sebagai pendukung skema pengolahan LNG di laut (offshore), dia berseberang pandangan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang pro-pengolahan LNG di darat (onshore). Perbedaan tersebut akhirnya memantik kegusaran Presiden yang kemudian meminta para menterinya berhenti berpolemik di media massa. Bahkan, terbetik kabar, perseteruan itu bisa berujung pada reshuffle.

Karena itu, dalam wawancara selama hampir dua jam, Sudirman memilih menjelaskan berbagai upayanya membangkitkan sektor migas di tengah rendahnya harga minyak dunia dan perubahan sistem kontrak kerjasama dengan kontraktor migas. “Industri migas sedang mencari situasi new normal,” kata bekas Direktur Utama PT Pindad dan pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) ini.

Ia juga menjelaskan soal peran Pertamina di sektor hulu migas, nasib kontrak Freeport, serta kebijakan di sektor hilir migas terkait harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, beberapa pernyataan dan informasinya bersifat off the record.

Di tengah kejatuhan harga minyak dunia, bagaimana pemerintah membuat industri hulu migas tetap menarik?

Situasi industri yang menekan itu tidak hanya di Indonesia, tapi di dunia. Tentu saja penurunan (harga minyak) dari yang dulu pernah US$ 100 per barel menjadi US$ 40-an dan sempat US$ 30, itu tekanan yang sangat berat. Meskipun, secara rata-rata biaya produksinya masih di bawah US$ 30 per barel. Saya melihat yang terjadi sebetulnya bukan kejatuhan betulan, tapi soal kebiasaan industri yang memperoleh margin sangat besar dan sekarang marginnya tipis. Beberapa (perusahaan) yang ongkos produksinya di atas US$ 30, jadi bermasalah. Jadi, saya selalu katakan, industri migas sedang mencari situasi new normal.

Bisa dielaborasi lebih jauh?

Saya kira setiap industri mengalami siklus seperti itu. Jadi jangan mendramatisir seolah-olah ini hanya terjadi di industri minyak, apalagi hanya terjadi di Indonesia. Saya harus mengkaji dampaknya dan apa yang harus dilakukan. Yang paling fundamental, apakah kita pada saat menyusun regulasi mengenai migas itu sudah memperhatikan amanat undang-undang energi? Bahwa energi itu bukan komoditas, tapi harus jadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari cara pandang itu adalah bagaimana caranya sumber daya energi diolah semaksimal mungkin, bernilai tambah bagi Indonesia, dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini turut mempengaruhi penerimaan negara dari sektor migas. Bagaimana mengatasinya?

Cara pandang tadi harus berkaitan dengan bagaimana fiskal diurus, bagaimana insentif diurus, bagaimana bagi hasil, split, dan sebagainya. Sebelum kondisi sekarang (harga minyak rendah), sudah banyak kajian dan regulasi yang ditata lagi supaya nyambung dengan UU tadi.

Saya melihat dua sisi, karena kita kebetulan impor sehingga (harga minyak rendah) ada plus-minus. Di satu sisi, kita memang kehilangan pendapatan negara. Di sisi lainnya, devisa yang dikeluarkan pemerintah untuk impor minyak juga turun. Sedangkan sikap kita ke industri jelas, dalam setiap policy kita ingin industri tumbuh dan kuat. Tidak mungkin pemerintah membiarkan industri bermasalah atau mati.

Halaman:
Reporter: Metta Dharmasaputra, Heri Susanto, Yura Syahrul, Arnold Sirait