Masela Jangan untuk Kenikmatan Orang Jakarta

Arief Kamaluddin | Katadata
Penulis: Amien Sunaryadi
7/3/2016, 10.20 WIB

Soal membangun sistem, Amien Sunaryadi dikenal sebagai jagonya. Sebelum menjadi Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, akuntan senior ini pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi jilid I (2003-2007). Dari pemikirannyalah lahir sistem surveillance dan pemberantasan korupsi yang progresif, khususnya dalam menangani kasus-kasus korupsi high profile.

Kini, ia kembali dihadapkan pada persoalan pelik menyangkut pembangunan kilang gas alam cair (LNG) di Lapangan Abadi Blok Masela, Maluku, yang menyulut kontroversi. Amien bersama Menteri ESDM Sudirman Said memilih kilang terapung atau Floating LNG (FLNG) sebagai opsi terbaik. Sebaliknya, Menko Kemaritiman Rizal Ramli condong pada opsi kilang darat atau Onshore LNG (OLNG).

Kubu Rizal berpendapat, OLNG yang terbaik karena memberikan efek berganda bagi masyarakat Maluku. Asumsi ini yang kini dibantah oleh Amien. Belajar dari pengalaman kekurangberhasilan di Aceh, Kalimantan, dan Papua, ia kini kembali menelurkan konsep baru development fund, yaitu alokasi dana khusus hasil migas untuk pembangunan daerah yang terencana.

Dalam wawancara khusus dengan Katadata di kantornya pekan lalu, selama lebih dari dua jam Amien menuturkan berbagai pemikirannya tentang rencana pengembangan Blok Masela dan kawasan Maluku. Sembari menyantap makan siang dalam boks yang telah disajikan, dengan telaten ia memberi penjelasan sambil menayangkan materi presentasi dan sesekali menampilkan gambar di laman youtube.

Rencana pengembangan Blok Masela mengundang kontroversi. Bagaimana Anda melihatnya?

Banyak orang yang memiliki asumsi dan menyampaikan pendapat soal ini tanpa tahu persis duduk persoalannya. Saya sudah berkunjung dan melihat langsung kondisi lapangan di sejumlah tempat di Maluku. Ada yang bilang onshore bisa menciptakan Bontang di Aru. Kondisinya secara geografis jauh berbeda. Maluku terdiri atas kepulauan-kepulauan kecil, yang berbeda dengan Kalimantan. (Ia sambil menunjukkan peta pada googlemap).

Benarkah bahwa mayoritas kabinet awalnya lebih mendukung skema kilang darat?

Awalnya memang begitu. Sebab, yang disampaikan kepada mereka hanyalah pertimbangan bahwa jika menggunakan skema onshore, maka dampak ekonomi yang akan dinikmati rakyat Maluku lebih besar ketimbang offshore. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Setelah saya jelaskan, pandangan mereka pun berubah.

Siapa saja para menteri yang berubah pandangan itu?

Di antaranya adalah Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Lingkungan Hidup-Kehutanan. Mereka akhirnya bisa memahami sejumlah pertimbangan yang saya sampaikan.

Tanggapan dari Pemerintah dan tokoh masyarakat Maluku?

Saya memberikan penjelasan satu per satu kepada mereka. Termasuk dengan memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud dengan kilang di darat dan di laut melalui tayangan video di youtube ini. Dari situ bisa terlihat bahwa untuk proyek onshore dibutuhkan lahan yang sangat luas. Bukan hanya untuk kilang, tapi juga kawasan pendukungnya. Saya sampaikan, jika memang mau onshore, silakan. Tapi, apa mau Maluku nantinya menjadi seperti ini? (Amien menunjukkan tayangan youtube yang menunjukkan luasnya areal pembangunan kilang darat).

Juga disebut-sebut ada kerawanan soal penduduk?

Potensi konflik antara penduduk lokal dan pendatang perlu diperhitungkan. Taruhlah, nantinya akan diperlukan tenaga kerja sekitar tujuh ribu orang. Dari jumlah itu, mungkin sekitar lima ribu akan datang dari luar Maluku. Saya tanyakan kepada para pemimpin daerah di Maluku, apa Anda siap menghadapi kehadiran pendatang dalam jumlah besar ini? Apalagi ini di kepulauan-kepulauan kecil yang berpenduduk sedikit. Mungkin mereka pun datang dengan membawa keluarganya, lalu berdagang di sana. Dan setelah proyek selesai, sebagian dari mereka bisa jadi akan tetap menetap di sana. Ingat, di Ambon pernah terjadi konflik berdarah.

Apa lagi yang dijelaskan?

Soal isu bahwa kilang laut mudah dibawa kabur ke luar negeri. Lagi-lagi saya tunjukkan video di youtube (Amien kembali memperlihatkan tayangan di laman tersebut). Coba lihat itu, satu mata rantainya saja sebesar orang, dan supaya kapal kilang ini tidak goyang di laut ada beberapa rantai yang digunakan untuk menambatnya. Bagaimana mungkin dengan mudah dibawa kabur?

Penjelasan ini bisa dipahami Pemda Maluku?

Tampaknya bisa dipahami. Mereka pun mungkin baru punya gambaran lebih utuh, setelah melihat berbagai tayangan di youtube itu. Persoalan lain jika di darat, di mana proyek ini akan dilaksanakan. Bayangkan dalam sebuah rapat, saya terjepit di antara para bupati yang memperebutan lokasi kilang. Bahkan, sempat terlontar, jika bukan daerahnya yang dipilih, maka lebih baik merdeka dari Indonesia.

Menimbang berbagai hal tadi, skema offshore memang yang terbaik?

Dengan skema offshore atau kilang di laut, diperkirakan jumlah penerimaan negara akan jauh lebih besar dibandingkan skema onshore. Dengan skema offshore, diperkirakan negara selama 24 tahun akan mendapatkan penerimaan sebesar $51,8 miliar. Sedangkan dengan skema onshore hanya $39,6 miliar. Ini berarti terdapat selisih sekitar $12 miliar.

Teknologi kilang apung diragukan, karena belum ada satu pun yang beroperasi di dunia saat ini…

Sampai saat ini memang baru ada tiga kilang FLNG yang sedang dibangun dan masih dalam tahap penyelesaian. Tapi, kalau pun Indonesia nantinya membangun FLNG Masela, sudah yang nomor tujuh di dunia. Sebab, saat itu sudah beroperasi sejumlah FLNG, dua di antaranya di Malaysia milik Petronas dan juga Prelude di Australia.

Tapi ada pandangan bahwa kilang darat lebih mendatangkan manfaat ekonomi bagi daerah setempat?

Jika dinyatakan bahwa dengan kilang darat akan ada manfaat ekonomi bagi pihak Indonesia, misalnya dari pembangunan pipa oleh perusahaan nasional, pertanyaannya adalah apakah yang menikmati ini rakyat Maluku? Yang mungkin terjadi adalah keuntungan dari proyek ini larinya justru ke Jakarta. Sedangkan rakyat Maluku tidak mendapat apa-apa.

Bedanya dengan kilang terapung?

Persoalan pokoknya adalah bagaimana mencari pola yang paling optimal bagi pembangunan wilayah Maluku. Kita harus belajar dari pengalaman di Aceh, Kalimantan dan Papua. Dana yang ada ternyata tidak termanfaatkan secara maksimal untuk pembungan riil di daerah tersebut. Sementara itu, ada contoh bagus pembangunan Aceh pasca tsunami oleh BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi). Hasil yang dibangun sangat riil. Pola ini yang juga bisa diterapkan untuk pembangunan Maluku dan wilayah-wilayah lainnya.

Halaman: