KATADATA ? Industri minyak dan gas Indonesia menghadapi tantangan berat. Produksi minyak terus menurun, cadangan terbukti kian merosot hingga di bawah 4 miliar barel dan kondisi sumur yang semakin menua. Ironisnya, di tengah situasi itu, kontraktor migas justru enggan berinvestasi untuk eksplorasi. Padahal, tanpa eksplorasi, tidak akan pernah ditemukan cadangan migas baru.
Sejatinya, menurut Presiden Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia atau Indonesia Petroleum Association (IPA) Craig Stewart, potensi migas Indonesia masih sangat besar. Sayangnya, Indonesia menghadapi berbagai masalah yang menghambat minat perusahaan migas berinvestasi di Indonesia.
Guna mengetahui potensi dan hambatan yang dirasakan oleh pelaku industri migas, sekaligus solusi yang harus diambil oleh pemerintah, Tim Katadata mewawancarai Craig Stewart di Jakarta pada April 2015. Berikut petikannya.
Apakah Indonesia masih tetap menarik bagi investor di sektor minyak dan gas?
Potensi Indonesia masih besar. Semakin besar wilayah sebuah negara maka semakin besar potensi sumber dayanya. Negara seperti Amerika, Cina, Kanada dan Rusia memiliki daerah luas dan sumber daya alam besar. Indonesia juga demikian. Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand, potensi Indonesia jauh lebih bagus. Apalagi jika kita melihat sejarah kesuksesan industri migas, Indonesia adalah penghasil migas terbesar di Asia Tenggara. Indonesia, terutama di wilayah Timur, sampai saat masih sedikit dieksplorasi. Padahal secara geologis, potensinya sangat besar.
Lalu mengapa saat dilakukan lelang blok migas sepi peminat?
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, eksplorasi di wilayah Timur Indonesia, kebanyakan di laut dalam. Biayanya sangat mahal. Skema production sharing contract (PSC) yang ada saat ini tidak menarik bagi kontraktor. Ketentuan PSC Indonesia saat ini terlalu keras, dan merupakan salah satu yang yang terberat di dunia, jika dibandingkan dengan prospek wilayah kerja yang ada. Apalagi ini diperparah dengan turunnya harga minyak dunia
Penurunan harga minyak juga berpengaruh terhadap minat eksplorasi. Ini karena dengan pendapatan menurun dan uang yang tersedia untuk investasi juga menurun, eksplorasi menjadi salah satu item budget pertama yang dihapus. Dalam situasi ini, perusahaan minyak akan lebih fokus melakukan investasi pengembangan blok migas yang sedang mereka kerjakan untuk meningkatkan pendapatan jangka pendek.
Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi minat investasi migas di Indonesia adalah masalah kepastian hukum. Misalnya, pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada masa eksplorasi. Sejak terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan Migas, wilayah eksplorasi mulai dikenai pajak pada kurun waktu 2012-2013. Ini untuk pertama kalinya dialami oleh industri migas. Padahal kerugian pada saat eksplorasi menjadi risiko perusahaan migas.
Tentu saja kebijakan ini mengejutkan bagi pelaku industri migas. Jumlahnya luar biasa besar. Total yang harus dibayarkan adalah US$ 220 juta (Rp 2,9 triliun) untuk 17 kontraktor migas. Masalah PBB ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam industri migas.Pemerintah memang menyadari pengenaan pajak eksplorasi tidak tepat dan tak lagi diberlakukan. Tapi pembatalan itu tidak berlaku surut sehingga pajak tetap dikenakan bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Kasusnya sampai saat ini masih berjalan di pengadilan pajak. Kontraktor migas yang menghadapi masalah ini diharuskan tetap membayar 50 persen dari pajak yang ditagihkan supaya bisa mengajukan keberatan di pengadilan.
Karena kasus ini, banyak perusahaan kemudian yang membatalkan penandatangan PSC. Lelang blok migas pada 2013 gagal terlaksana karena para peserta mundur di proses penawaran. Munculnya peraturan pengenaan pajak eksplorasi ini menimbulkan ketidakpastian di industri migas, sehingga sampai saat ini minat untuk melakukan eksplorasi di Indonesia belum kembali pulih.
Perlu juga dicatat, pengenaan pajak ini akan berdampak pada pengurangan bagi hasil keuntungan kontraktor migas. Ini tentu saja membuat PSC menjadi semakin tidak menarik. Padahal situasi situasi saat ini mengharuskan PSC bisa lebih mendatangkan minat kontraktor untuk melakukan eksplorasi menemukan cadangan migas baru.
Pada 2014, memang ada beberapa PSC baru yang ditandatangani. Tapi, dengan segala permasalahan yang ada, komitmen program kerja yang diberikan kontraktur pun berkurang.
Apa masalah lainnya?
Waktu komersialisasi semakin panjang. Di era booming minyak di Indonesia, waktu yang dibutuhkan dari masa penemuan migas ke komersialisasi 2 sampai 5 tahun. Saat ini waktunya mencapai 10 sampai15 tahun.
Semakin panjangnya masa pengembangan ini berdampak pada beberapa blok migas besar di Indonesia saat ini yang sedang dikembangkan atau menunggu untuk dikembangkan. Beberapa contoh temuan besar itu seperti proyek Chevron IDD (Indonesia Deepwater Development) yang ditemukan pada awal 2000 saat ini pengembangannya menunggu proses perpanjangan PSC. Begitu juga Lapangan Abadi dengan kontraktor Inpex yang ditemukan pada 2000. Sedangkan lapangan Banyu Urip dengan kontraktor Exxon yang ditemukan 2001, baru berproduksi tahun ini.
Dengan rendahnya harga minyak dan biaya eksplorasi yang besar di wilayah Indonesia Timur, kontrak dengan durasi 30 tahun tidaklah cukup bagi perusahaan.
Sebaiknya berapa lama kurun waktu PSC?
Dengan kondisi bisnis saat ini, maka durasi kontrak yang ideal adalah 50 tahun. Atau tetap 30 tahun dengan otomatis perpanjangan 20 tahun. Tanpa adanya perubahan ini, investasi eksplorasi di Indonesia akan tetap menjadi tidak menarik.
Mengapa butuh waktu sangat lama?
Ada banyak sekali persoalan, mulai birokrasi perizinan yang rumit, otonomi daerah, pengambilan keputusan, pasar gas dan beragam masalah lainnya. Salah satu contohnya, di era otonomi ini, pemerintah daerah bisa mengambil kebijakan yang berdampak pada industri migas dan pemerintah pusat kesulitan mengontrolnya.
Ini semua diperparah dengan munculnya berbagai peraturan yang menghambat operasi perusahaan migas, seperti peraturan PBB saat eksplorasi, susahnya membebaskan lahan karena lemahnya penegakan hukum.
Pemerintah perlu segera merumuskan insentif bagi industri migas?
Saya kira pemerintah paham betul permasalahan industri ini. Maka, yang perlu dilakukan adalah revitalisasi eksplorasi. Rumus di bisnis hulu migas sangat sederhana, bila produksi berkurang maka harus ditemukan sumber baru. Jika tidak ada temuan baru, maka pemerintah harus mengimpor migas, dan itu akan banyak mendatangkan aspek negatif. Karena itu eksplorasi menjadi kunci masa depan industri migas. Untuk mengatasi persoalan ini Kementerian ESDM kemudian membentuk Satuan Eksplorasi yang personilnya berasal dari perwakilan pemerintah dan industri.
Konsep PSC sebenarnya sudah berjalan baik di Indonesia sejak diterapkan pada 1960. Konsep PSC ini sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan krusial yang dihadapi industri migas ketika berhadapan dengan stakeholders di Indonesia yang begitu beragam. Alasannya, dalam konsep PSC, perusahaan migas adalah kontraktor bagi pemerintah. Jadi yang kami kerjakan adalah proyek pemerintah untuk sebesar-besarnya manfaat bagi masyarakat.
Badan pemerintah, seperti SKK Migas, akan bekerjasama dengan kami untuk berkomunikasi dengan stakeholders dan membantu memecahkan berbagai permasalahan. Sehingga kontraktor bisa berkonsentrasi pada produksi. Toh, hasilnya, paling besar juga akan dinikmati oleh Indonesia.
Bagaimana soal perubahan Undang-Undang Migas?
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan BP Migas merupakan pendorong utama untuk perubahan UU Migas. Pemerintah ingin membuat UU yang solid sehingga tidak ada celah untuk dibawa ke MK. Dengan demikian akan tercipta kepastian hukum, termasuk bagi kontraktor. Nah, isu penting di RUU Migas adalah kerangka pengelolaan industri atau dalam hal ini kelembagaan dan bentuk lembaga pengelola hulu migas.
Apa yang diharapkan pelaku industri terkait pembahasan RUU Migas tersebut?
Sebenarnya yang kami butuhkan adalah kepastian dan konsistensi. Terkait lembaga yang akan mengelola (saat ini SKK migas), harapan kami adalah mampu mempersingkat birokrasi sehingga industri ini menjadi lebih efisien dan pengambilan keputusan yang cepat sehingga perusahaan bisa bekerja lebih baik.
Selain itu, UU yang baru hendaknya memberikan hak otomatis perpanjangan PSC minimal satu periode bagi perusahaan yang sudah eksis. Sebab, akan susah bagi sebuah perusahaan migas menemukan dan memproduksi migas dengan jangka waktu PSC seperti saat ini. Saya sudah jelaskan sebelumnya, bagaimana contoh beberapa kontraktor migas yang sudah menemukan migas tapi kesulitan untuk melakukan komersialisasi karena pendeknya jangka waktu PSC. Yang saya inginkan ada di UU Migas yang baru adalah kepastian bagi kontraktor untuk bisa memperpanjang secara otomatis PSC paling tidak satu periode.
Thailand bisa menjadi salah satu contoh. Di negara itu kontrak konsesi tahap pertama yang habis bisa diperpanjang otomatis . Apabila ingin memperpanjang kembali setelah kontrak tahap kedua selesai, barulah harus mendapatkan izin dari pemerintah.
Salah satu isu penting dalam industri migas di Indonesia adalah masalah hubungan perusahaan migas nasional (National Oil Company (NOC)) dan perusahaan migas internasional (International Oil Company (IOC)) yang cukup sensitif. Bagaimana hubungan ideal antara IOC dan NOC di Indonesia?
Saya rasa maksud pemerintah mengeluarkan UU No 22/2001, salah satunya adalah ingin menjadikan Pertamina sebuah entitas bisnis. Saya berpendapat tujuan itu berhasil. Saat ini pelaku industri migas lain menganggap Pertamina sebagai pesaing dan juga partner. Terkadang bersaing dalam mendapatkan hak pengelolaan blok migas atau malah bekerjasama mengelola blok migas tertentu.
Perusahaan migas internasional juga sadar bahwa Pertamina adalah perusahaan negara. Adalah hak pemerintah untuk memberikan keistimewaan kepada Pertamina di sektor hulu dan hilir. Termasuk keistimewaan bagi Pertamina menjadi operator di blok migas yang kontraknya berakhir.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pemerintah akan memberikan tanggung jawab sangat besar kepada Pertamina untuk mengelola blok-blok yang akan berakhir kontraknya. Padahal sebagian besar blok-blok itu tidak lagi memiliki cadangan migas yang besar. Bagaimana Pertamina bisa efektif bekerja dalam kondisi seperti itu? Kami perusahaan migas sering melakukan kerjasama mengelola blok migas. Ini dilakukan untuk membagi resiko, saling bekerjasama dalam ide dan pengadaan teknologi. Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab pemerintah.
Industri migas adalah bisnis dengan resiko besar. Eksplorasi laut dalam bisa menghabiskan US$ 200 juta (Rp 2,6 triliun) dan gagal. Pemerintah harus mempertimbangkan betul apakah Pertamina harus mengambil resiko menghabiskan uang begitu sebesar itu. Saya rasa, akan lebih baik Pertamina bekerjasama dengan perusahaan lain. Saat ini ada kebutuhan besar di bidang pendidikan, kesehatan dan infratruktur, akan lebih baik tidak menghabiskan uang pemerintah sangat besar untuk bisnis dengan resiko besar seperti di industri migas.