Puncak Corona Mungkin setelah Lebaran, Tergantung Orang Mudik

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Amin Soebandrio.
Penulis: Tim Redaksi
Editor: Sorta Tobing
19/4/2020, 07.00 WIB

Keraguan laporan jumlah kasus positif corona, yang dikeluarkan pemerintah bermunculan. Kajian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyebut jumlah pasien Covid-19 yang meninggal sebenarnya 4,25 kali lebih besar dari data pemerintah.

Pusat pemodelan yang berbasis di London, Centre for Mathematical Modelling of Infectious Diseases (CMMID), menilai total kasus virus corona yang dilaporkan di Indonesia baru 4,5 %. Rasio tes hingga awal April lalu yaitu 102 orang per satu juta penduduk. Bandingkan dengan negara Asia lain, seperti India (147 orang) dan Filipina (353 orang).

(Baca: Jokowi Minta Tes Corona Dilakukan Masif dengan Libatkan TNI-Polri)

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Amin Soebandrio mengatakan, persoalan jumlah kasus itu tergantung strategi masing-masing negara. “Ini bukan persoalan banyak-banyakan yang diperiksa,” katanya saat wawancara secara tatap muka melalui layanan Zoom dengan jurnalis Katadata.co.id,  Sorta Tobing dan Ameidyo Daud, Rabu lalu (8/4).

Strategi penanganan pandemi, menurut Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran UI itu, lebih penting ketimbang memperbanyak tes. “Tes tidak dilakukan untuk mengejar jumlah kasus,." Berikut petikan wawancara dengan Amin, yang berlangsug sekitar 30 menit itu.

(Baca: Tes Massal 45.227 Orang di Jakarta, Hasilnya 3,5% Positif Covid-19)

Berapa jumlah tes yang sudah dilakukan Lembaga Eijkman sejauh ini?

Saat ini, jumlah tes yang kami terima sudah mencapai lebih dari 3 ribu dan (kasus) positif sekitar 10% dari yang sudah kami periksa. Setiap hari kami bisa melakukan pemeriksaan sekitar 180 tes.

Sejauh mana rencana perluasan laboratorium Eijkman untuk meningkatkan jumlah tes?

Kami diminta (pemerintah) meningkatkan kapasitas seribu tes per hari. Kami harus meningkatkan kapasitas pada tahap pertama. Mudah-mudahan minggu depan sudah bisa beroperasi. Kami akan menambah satu alat PCR (polymerase chain reaction, pengujiannya dari sampel lendir tenggorokan, kerongkongan, atau hidung) `sehingga bisa sekitar 90 tes per hari, totalnya jadi 270 tes per hari.

Bersamaan dengan itu, kami akan mendatangkan mesin otomatis, yang diharapkan bisa memenuhi target pemeriksaan satu hari seribu tes.

Ada kendala dalam pemeriksaan tes Covid-19?

Saat ini reagen (senyawa yang ditambahkan untuk menciptakan reaksi kimia) masih mencukupi. Hanya yang masih terbatas adalah kapasitas PCR-nya. Karena satu mesin PCR hanya bisa memeriksa 90 tes. Sekarang sudah ada dua mesin dan akan datang satu lagi hingga bisa melakukan 270 tes. Reagen saat ini masih mencukupi tapi sudah menipis. Semoga sih tidak ada kekurangan.

Kapan rencana pengadaan reagen?

Sudah kami pesan.

(Baca: Positif Corona RI Tambah 325 jadi 6.248 Orang, yang Sembuh Kian Banyak)

BPOM Gorontalo uji spesimen Covid-19. (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/pras.)

Sempat terjadi penurunan jumlah tes Covid-19 pada 29-31 Maret 2020, apakah itu berlaku juga dengan Eijkman?

Kalau di internal kami semua berjalan rutin. Cuma ada satu hari, saya tidak ingat tanggalnya, mungkin salah satu dari 30 atau 31 Maret 2020, sempat kami tidak mengadakan pemeriksaan.

Apa penyebabnya?

Kami merapikan sistem ekstraksi RNA (ribonucleic acid, molekul polimer pada gen) dan sebagainya. Tapi hari berikutnya sudah berjalan kembali. Laporan hasilnya juga tetap berjalan.

Dari Kementerian Riset dan Teknologi akan ada tambahan anggaran Rp 14 miliar untuk Eijkman. Rencananya akan dipakai untuk apa?

Yang Rp 14 miliar itu kami ajukan ke BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan disetujui. Minggu lalu sudah dikeluarkan sebagian oleh BNPB. Dan itu memang kami usulkan untuk pembelian reagen yang tadi saya sebutkan.

Reagen ini untuk keperluan untuk beberapa minggu ke depan dan juga pengadaan beberapa alat untuk mempercepat prosesnya. Alat itu antara lain untuk mengekstraksi RNA dengan sistem robotik.

Bagaimana mengejar ketertinggalan jumlah tes?

Sebetulnya ini bukan soal banyak-banyakan yang diperiksa. Kalau di Indonesia yang diperiksa itu selektif, tidak seluruh penduduk. Kalau masuk dalam kelompok pasien dalam pengawasan, misalnya, nah itu yang diperiksa. Jadi, tidak sembarang orang bisa diperiksa.

Walaupun saat ini ada beberapa orang sebetulnya tidak ada gejala tapi ingin tahu, dia bisa datang ke salah satu laboratorium dengan membayar. Namun, bukan ke Eijkman. Kami hanya menerima sampel dari rumah sakit yang dikirim atas indikasi yang jelas.

(Baca: Pemerintah Datangkan 150 Ribu PCR untuk Percepat Pemeriksaan Corona)

Dalam artian sudah ada gejala?

Ya harus ada gejala dulu, harus ada kecurigaan. Kalau di negara-negara lain itu dalam bentuk namanya dirawat terbuka kemudian semua diperiksa secara random. Makanya jumlah yang dites jadi sangat besar.

Berarti tes dalam jumlah sedikit tidak masalah?

Artinya, cara membandingkan tidak hanya dengan angka absolut saja, tapi sebetulnya harus dengan strateginya. Strategi yang berbeda, tentu angka yang diperiksa akan berbeda.

Halaman: