Riset Google-Temasek tahun lalu menyebut ekonomi digital Asia Tenggara bisa mencapai US$ 100 miliar pada 2019 dan naik tiga kali lipat pada 2025. Dengan adanya pandemi corona, apakah trennya masih sama?
Kalau kita lihat berdasar fakta yang ada, trennya masih sama. Ada perubahan-perubahan angka, tetapi tak signifikan.
E-commerce, pada kuartal I 2019 kebanyakan C2C, angkanya US$ 3 miliar lebih. Tapi di kuartal I 2020 angkanya menjadi US$ 7,1 miliar. Jd naik 85% setahun, padahal kuartal I lalu sudah ada Covid-19. Nanti harus lihat lagi di kuartal II.
Tren e-commerce masih tumbuh, bagaimana prospek sektor kesehatan dan pendidikan?
Kenapa saya masih optimistis, kita secara makro ekonomi didorong oleh konsumsi masyarakat. Negara-negara lain lebih terpuruk dibanding Indonesia karena bergantung pada pasar ekspor dan investasi. Jadi saat ekonomi dunia lesu, ekspor merosot, mereka jadi sangat tertekan.
Di sektor e-commerce, jumlah penduduk Indonesia yang memiliki akses internet mencapai 180 juta jiwa. Sebanyak 65 juta di antaranya biasa berbelanja online. Ini hampir sama dengan jumlah penduduk Thailand, Prancis, dan Inggris. Ini potensi luar biasa.
(Baca: Prediksi Pemulihan Ekonomi Pasca-Corona, dari Kurva V sampai Logo Nike)
Bagaimana Anda melihat fenomena belanja online produk-produk grocery yang meningkat drastis?
Peluang ini tidak datang tiba-tiba. Orang mau membeli sayuran segar, tapi bagaimana pengirimannya?
Maka yang melesat juga berkaitan dengan logistik dan transportasi. Perusahaan seperti Gojek sekarang jasa ride hailing-nya terganti oleh pengiriman barang. Ini menjadi peluang karena ekosistem kita kan belum lengkap.
Secara makro, logistik kita kurang efisien. Sebanyak 23% dari Produk Domestik Bruto (PDB) habis di logistik, dan 90% di antaranya logistik di darat.
Model bisnis startup berkembang dari valuasi berpatokan pada GMV (gross merchandise value), kemudian EBITDA positif, dan sekarang dipaksa cash flow yang positif. Apakah model bisnis startup saat ini dipaksa menuju konvensional secara cepat?
Secara alamiah mereka harus berubah dari GMV play ke cash flow play. Tetapi sebelum pandemi, ada kejadian yang mempercepat perubahan itu yakni kasus Uber dan Wework. Saat mereka memasuki bursa saham, orang tidak hanya melihat valuasi perusahaan, tetapi juga dividen. Pandemi Covid-19 mempercepat itu.
Tetapi secara umum appetite atau pun demand investor untuk investasi di Indonesia masih bagus, meski tidak seperti sebelum pandemi. Akan lebih selektif.
Sepanjang Januari-Maret di Indonesia setidaknya ada 20 transaksi, investor masuk ke perusahaan startup dalam tingkatan seed capital, pre series atau seri tinggi. Bahkan ada yang seri F seperti Gojek. Investor juga masuk ke Kopi Kenangan.
Baru-baru ini saya bicara dengan investor besar, dana yang dikelola lebih dari US$ 30 miliar. Single fund, fleksibilitasnya tinggi dan dia rajin. Yang bersangkutan sedang mencari aset di Indonesia. Sekarang menurutnya justru harus masuk. Setelah pandemi Covid-19 lewat, justru terlambat.
(Baca: Kopi Kenangan Dapat Pendanaan Rp 1,62 Triliun meski Ada Pandemi)
Jadi masih ada peluang besar dana akan masuk ke startup?
Investor tidak pernah berhenti. Uang kan harus cari tempat untuk menghasilkan return yang bagus. Daripada disimpan di bank, pendapatannya 0% atau bahkan negatif.
Bagaimana strategi menangkap berbagai peluang itu?
Secara umum, fokus ke cash. Kedua, kalau memang ada kesempatan, investasi sekarang. Contoh yang bagus, tahun 1997-1998, saat orang tidak investasi, Telkomsel investasi besar-besaran, sehingga setelah krisis ekonomi, infrastrukturnya ada di mana-mana.
Tidak semua perusahaan bisa begitu. Tetapi perusahaan yang terdampak minimal, seperti infrastruktur internet, digital, sebaiknya kita jeli dan harus investasi sekarang. Jadi saat rebound harus sudah siap.
Investasi sumber daya manusia terutama terkait digital juga penting. E-commerce untuk sektor tertentu seperti produk elektronik seperti ponsel sekarang memang susah, tetapi setelah pandemi Covid-19, ada 5G, demand-nya pasti naik lagi. Tidak ada matinya itu e-commerce.