Risiko Terbesar Tahun Ini, dari Omicron, Bunga The Fed hingga Cina

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Penulis: Muchamad Nafi
12/2/2022, 06.30 WIB

Investor muda membanjiri instrumen portofolio dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan paling tinggi justru terjadi saat pandemi corona menerpa Indonesia. Data Otoritas Jasa Keuangan memperlihatkan, jumlah single investor identification (SID) di pasar modal mencapai 7,48 juta akun sampai akhir Desember 2021. Lebih separuh dari mereka berusia di bawah 30 tahun.

Pencapaian pada akhir tahun kemarin ini lebih dari dua kali jumlah pemodal retail di 2020 sebanyak 3,88 juta investor. Pertumbuhan di tarikh pertama Covid-19 menyapu Tanah Air itu sebagai tren investasi lanjutan. Mereka sebagian besar membenamkan dananya di saham dan reksa dana. Sisanya di surat berharga negara.

Gairah berinvestasi di pasar modal juga tercermin dari survei Katadata Insight Center pada awal September lalu. Dari 806 responden, mereka yang menaruh dana di saham dua hinga lima tahun terakhir sekitar 58 persen. Bahkan yang baru setahun mencapai 32 persen.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memprediksi tren pertumbuhan investor retail terjadi kembali tahun ini. “Semakin tinggi edukasi dan publikasi tentang pentingnya investasi, semakin besar pengaruhnya kepada appetite mereka,” kata Andry akhir bulan lalu. Selain itu, faktor makro berpengaruh, termasuk bagi investor asing. “Ekspektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik dibandingkan 2021.”

Bagaimana proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini di tengah lonjakan kasus Covid-19 varian Omicron? Seberapa menarikkah Indonesia di mata investor asing, juga pemodal retail dalam negeri? Berikut ini petikan wawancara khusus Katadata.co.id dengan Andry Asmoro.

Bagaimana proyeksi pertumbuhan ekonomi di 2022? Faktor apa yang akan dominan? 

Untuk melihat perkembangan ekonomi 2022, kita harus bicara data-data ekonomi 2021. Pertama, pertumbuhan private consumption saat ini. Di kuartal ketiga 2021, kosumsi rumah tangga 7,8 %, sebelumnya 5,12 %. Ekspektasi di Q4 menjadi 4 %. Pertumbuhan private consumption itu linearnya 2,3 % di 2021. Apakah akan recover dan berlanjut di 2022?

Kami memiliki leading indicator, namanya Mandiri Spending Index. Dari situ menunjukkan belanja masyarakat terus rebound, bahkan di atas 118 %. Kalau 100 %, level par-nya sama dengan Januari 2020, yang jadi basis pre-Covid-19. Artinya, masyarakat sudah berbelanja secara agresif mulai Agustus lalu, walaupun di beberapa segmen belum tinggi.

Apa yang mempengaruhi pulihnya belanja masyarakat?

Ada tiga hal yang saya catat penting. Kondisi belanja terus rebound bahkan mendekati posisi di bulan puasa. Hampir semua pulau indeks belanjanya lebih dari 100 %. Bentuk grafiknya seperti W, naik turun sesuai kondisi pembatasan mobilitas.

Yang selalu di bawah 100 itu hanya Bali dan Nusa Tenggara, bentuknya L-shape. Yang menarik, sepanjang Agustus-Desember, secara perlahan indeks belanjanya relatif mulai meningkat secara gradual. Kenapa? Tentu saja tidak lepas dari mobilitas masyarakat untuk meetingconference, dan liburan di Bali dan Nusa Tenggara.

Tahun ini ada momen global seperti G20 di Bali dan beberapa agendanya di kota besar lain. Seberapa besar pengaruh G20 ini?

Saya dengar akan ada 400-an lebih meetings terkait G20. Kalau mulai persistent ada meeting-meeting dan kedatangan dari foreign tourist atau foreign visitor tentu akan meningkatkan pola belanja di Bali dan Nusa Tenggara. Itu dari sisi event.

Dari sisi lainnya, G20 penting sekali karena Indonesia bisa menjadi leaders dan me-leading issue. Indonesia bisa mengarahkan beberapa isu yang masih macet, mendorong harmonisasi kebijakan fiskal moneter supaya perubahan kebijakan di AS tidak berdampak sangat negatif kepada emerging markets. Berikutnya terkait dengan green economy, sustainable development. Itu beberapa hal yang bisa di-lead dari presidensi Indonesia.

Sekarang tren konsumsi di luar makanan dan minuman mulai naik, spending-nya sudah ke situ?

Betul. Positifnya ketika bisa me-manage kasus, mobilitas meningkat. Ada spillover kepada sektor lain, bukan hanya fokus kepada sektor-sektor terkait dengan makanan minuman. Di tengah pandemi pun top three-nya itu terkait dengan hobi. Sekarang perjalanan, retail, gasoline, sudah mulai naik. Bottomline-nya adalah bagaimana kita mengendalikan kasus Covid-19.

Jadi masyarakat mulai melihat harapan positif atas situasi saat ini?

Ada key leading indicators menarik yang kami temukan, yaitu masyarakat mulai berbelanja untuk non-food consumption, belanja ke kategori di luar makanan, yaitu ke pakaian. Juga barang-barang lain yang durable goods. Ini mengindikasikan masyarakat mulai confident.

Bila konsumsi masyarakat mulai bangkit, bagaimana dengan investasi, terutama dari asing. Seberapa besar berandil dalam menopang pertumbuhan ekonomi 2022?

Investasi sekarang banyak masuk ke sektor tambang renewable energyelectric vehiclenickelbattery. Pada 2022 polanya akan ke sana. Akan tumbuh investasi terkait ESG (environmental, social, and governance), akan menarik investasi asing maupun domestik. Saya dengar beberapa perusahaan sangat tertarik pada hilirisasi tambang.

Yang menarik berikutnya ketika recover yaitu sektor yang tetap resilient, yang terkait dengan food and beverages. Seharusnya Indonesia bisa menjadi basis yang sangat penting untuk F&B kemudian menjadi eksportir. Apalagi, investasi di makanan dan minuman relatif baik, terutama dari FDI (foreign direct investment).

Investasi di telekomunikasi juga akan cukup besar, terutama dari domestic investment. Kebutuhan untuk memanfaatkan telekomunikasi akan penting, apalagi ada transisi 4G dan 5G. Ini sebenarnya menjadi peluang untuk peningkatan total investasi, bukan hanya foreign direct investment

Jadi investor asing masih melihat Indonesia menarik?

Ekspektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik dibandingkan 2021. Tentu saja underlying assumption adalah kondisi Covid-19. Kedua, konsistensi kebijakan moneter dan fiskal, yang sejauh ini relatif terukur. Ketiga, yang butuh statement dari pemerintah tentu saja UU Cipta Kerja. Kalau semua ini sudah jelas, bayangan saya akan menjadi pendorong investasi asing masuk.

Inflasi juga relatif manageable. Kalau dibandingkan dengan emerging market yang lain, seperti di South America dan Turki yang memiliki inflasi tinggi, itu relatif terjaga. Demikan juga volatilitas rupiah. Jadi investor sudah bisa memberi target di situ.

Dari perkembangan positif tersebut, masih adakah yang meresahkan, misalnya pandemi dengan varian Omicron sekarang? Masih menjadi game changer?

Pandemi adalah underlying utama, asumsi utama dari setiap forecast. Di 2021 kita sudah belajar banyak. Kita kehilangan dua momentum pertumbuhan. Pertama setelah libur nataru 2021, kasus naik drastis dan pemerintah mengetatkan mobilitas. Indeks konsumsi turun di Februari. Lalu rebound lagi di April-Mei saat bulan puasa menjelang Lebaran.

Yang kedua ketika varian Delta masuk, meledak di Juli. Momentum pertumbuhan turun drastis. Indeks belanja langsung ke teritori negatif. Kita kehilangan 16-20 % indeks konsumsi, salah satu yang terdalam sejak April 2020.

Dari situ kita belajar, kalau kasus Omicron meningkat dan diikuti dengan pembatasan mobilitas yang ketat, kita akan mengalami hal yang sama. Begitu juga nanti di cycle- cycle berikutnya.

Tapi ada hal positifnya. Waktu varian Delta dilakukan pengetatan, proyeksi kami dampaknya dua sampai tiga bulan. Ternyata satu bulan. Jadi begitu kasus bisa diturunkan, pada Agustus-September mulai recover. Saya tidak terbayang kalau kemarin berlangsung agak panjang, kita akan kehilangan satu kuartal.

Apa penyebabnya sehingga pemulihannya bisa lebih cepat?

Mungkin di 2020 masyarakat masih bertanya-tanya bagaimana kondisi waktu itu? Kemudian, terjadi di Februari 2021, masyarakat bisa baca. Lalu mulai banyak vaksinasi, mulai ada sedikit solusinya, dan relatif lebih pede. Tapi kepedean itu seringkali bisa bikin kasus makin tinggi lagi. Jadi kita perlu pertahankan protokol kesehatan.

Dulu ada perdebatan mengenai prioritas pemerintah, menangani kesehatan dulu atau ekonomi? Bagaimana dengan saat ini ketika ada Omicron?

Tentu saya berpendapat penanganan dari sisi kesehatan harus didahulukan. Secara relatif ekonomi tidak akan ke mana-mana kalau kondisi kesehatan masih seperti ini. Forcest pertumbuhan ekonomi 5,2 % kami di Bank Mandiri bisa direvisi ke bawah kalau kasus Covid-19 berpengaruh lebih besar di 2022.

Jadi, penanganan pandemi adalah faktor utama, sehingga yang paling penting itu pencegahannya. Ini pilihan berat karena harus mendahulukan kesehatan. Ekonomi tidak akan bergerak banyak kalau kasusnya tetap tinggi.

Robot Pengantar Pesanan di Kedai Kopi (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.)

Pandemi menjadi faktor internal yang kita hadapi. Bagaimana faktor eksternalnya, seperti percepatan pengetatan likuiditas di Amerika Serikat dan kemungkinan The Fed meningkatkan suku bunga acuan?

Dari sisi fundamental, saya urutkan faktor risiko yang paling besar di domestik itu Omicron. Selain itu, ada faktor-faktor lama yang harus kita benahi, misalnya masalah daya saing untuk investasi.

Faktor besar lainnya memang dari eksternal, seperti percepatan perubahan kebijakan moneter di negara maju. Bukan cuma di Amerika Serikat, Bank of England juga sudah menaikkan suku bunga acuan. Tinggal menunggu suku bunga acuan The Fed. Sebab ini akan berdampak pada aliran modal, terutama yang short term capital flows.

Berkaca dari pengalaman lalu, ketika ada kenaikan bisa saja ada announcement efek. Ada capital outflows besar. Dampaknya adalah kenaikan indeks dolar, lalu nilai tukar rupiah melemah. Kedua, potensi kenaikan imbal hasil obligasi, government bond yield akan naik. Ketiga volatility di capital market.

Seberapa besar dampak arus keluar modal itu?

Saat ini porsi kepemilikan asing di Indonesia sudah turun dari posisi 2013. Ketika terjadi taper tantrum saat itu, kepemilikan asing 33 %, yang tertinggi bisa di 38 – 39 %. Nah, saat ini, porsi asing di bawah 20 %.

Kenapa berkurang drastis? Karena sudah pergi banyak di 2020 dan belum kembali full di 2021. Dari 20 % porsi asing di SBN, sekitar 25 % disumbangkan kepemilikannya oleh foreign central bank dan foreign government.

Artinya saat ini relatif lebih aman dibandingkan 2013 bila kembali terjadi pelarian modal ke luar?

Ya, kalaupun ada capital outflows, tidak akan semasif di 2013. Simulasi kami, kepemilikan asing tinggal 14 %, itu sekitar US$ 20 miliar. Sementara BI saat ini memiliki cadangan devisa US$ 146 miliar. Pada saat taper tantrum, cadangan devisa hanya sekitar US$ 99 miliar. Jadi, sekarang sangat kuat untuk menahan ekspektasi pelemahan nilai tukar rupiah.

Kedua, tingkat inflasi relatif terjaga. Walaupun ekspektasi kami ada peningkatan inflasi di 2021 sekitar 1,8%, tahun depan perkiraannya 3 - 3,5 %, masih berada dalam range BI. Dengan inflasi yang terjaga tersebut, real interest rate masih relatif menarik dibandingkan rating BBB emerging countries lainnya.

Terakhir, tentu saja kita lihat current account deficit. Kita ingat, pada 2013 Indonesia dikategorikan sebagai the fragile five, yang vulnerable. Waktu itu transaksis defisit berjalan kita lebar. Saat ini, ekspektasi kami 0 sampai surplus 0,1 % dari PDB. Tahun depan, kalaupun defisit itu tidak lebih dari minus 2,5 %.

Selain Amerika, bagaimana posisi Cina pada tahun depan?

Ini faktor utama atau risiko ketiga setelah Covid-19 dan penyesuaian suku bunga acuan di Amerika. Konsensus di Bloomberg, suku bunga di Cina diekspektasikan flat tahun depan. Harapannya Cina tetap mendorong untuk penguatan perekonomian domestiknya. Risiko besar untuk Indonesia kalau pertumbuhan ekonomi Cina turun drastis.

Ekspor kita sekarang paling besar ke Cina. Jadi kalau pertumbuhan Tiongkok menurun, akan berdampak besar pada semua pergerakan di Indonesia?

Betul. Kekhawatiran ketiga kalau Cina mengalami penurunan drastis atau hard landing. Kita tidak berharap seperti itu. Kalau itu terjadi, akan ada penurunan dari harga komoditas, akan berpengaruh kepada ekspor. Walaupun, kami menilai harga komoditas di 2022 memang akan ada penurunan gradual, tapi masih cukup tinggi.

Terkait market, tahun lalu banyak investor milenial. Beberapa emiten juga mulai melakukan split saham sehingga nilainya kecil dan diharapkan pemain ritel banyak yang masuk. Bagaimana proyeksinya di tahun ini?

Investor ritel masih akan tinggi di 2022. Sekarang makin banyak edukasi tentang pasar modal, makin banyak teman-teman milenial tercerahkan di investasi. Bukan hanya di pasar modal, di equity market, tapi juga di fix income setelah pandemi. Peranan investor ritel makin besar. 

Sebenarnya sudah kami prediksi. Semakin tinggi edukasi dan publikasi tentang pentingnya melakukan investasi, baik dari otoritas maupun pelaku pasar modal lainnya, akan semakin besar pengaruhnya kepada appetite mereka untuk berinvestasi. Demikian juga di produk investasi lain, seperti kripto.

Memang belum masuk ke faktor fundamental seperti properti, masih limited. Sekarang lihatnya masih short-term, yang bisa di-trading. Menurut saya di 2022 masih tetap besar perubahannya.

Apa tips bagi para pemula agar tidak salah berinvestasi, terutama di portofolio?

Pertama, banyak belajar dari sumber yang benar ya, jangan hanya terpikat satu sumber. Misalnya, influencer yang tidak ada background mengeluarkan statement, kemudian langsung di-follow. Kalau seperti itu, jatuhnya hanya sebagai spekulatif, bisa naik tapi kemudian turun.

Pintar-pintar baca fundamental perusahaan, fundamental makro. Meski penting juga baca sentimen. Ketika berinvestasi, seberapa panjang horizonnya, kalau bukan untuk trading. Kalau masih merasa kurang, ya belajar.

Terakhir, perlu mencermati risiko. Pertama, untuk investasi yang bukan saving, apalagi yang level rating risikonya besar, gunakanlah uang yang berlebih, yang memang bukan untuk kebutuhan pokok. Harus ada manajemen aset portofolio. Jangan uang untuk kebutuhan pokok dipakai di high risk asset. Ketika lagi drop dan ada kebutuhan jatuh tempo, jadi terjebak dalam lilitan utang, misalnya.

Bagaimana dari sisi regulator, apa sudah cukup protectable untuk para investor, terutama pemula itu?

Peran besar regulator dua. Pertama pasti edukasi. Saya lihat OJK, BI, BEI, dan pelaku sudah masif untuk edukasi sebagai bagian dari consument protection.

Kedua yang harus dilakukan adalah mencegah kehadiran produk-produk ilegal. Seringkali dibasmi satu, muncul lebih banyak lagi. Ini perlu terus diawasi regulator. Tapi overall kalau dilihat dari kondisi terakhir, saya rasa pihak OJK sangat agresif mengedukasi dan mencegah institusi-institusi ilegal melakukan penetrasi ke masyarakat.

Terakhir, di saat semuanya serba online, yaitu private data protection. Ini penting. Security dari data perlu dikoordinasikan agar tidak ada breach dan data-data kita beredar ke mana-mana.

Sekarang uang kripto menjadi pilihan investasi yang banyak diminati anak muda. Di Indonesia, kripto masih dianggap sebatas komoditas, belum menjadi alat tukar. Bagaiamana mas depan uang kripto ini?

Satu prinsip yang harus dipegang adalah stabilitas dan sovereignty dari negaranya. Bank sentral tentu akan melindungi hal itu. Pertama, apakah kripto ada underlying-nya dan relatif stabil? Misal, saya melakukan transasksi lalu nilainya tiba-tiba berubah naik-turun, bagaimana? Yang seperti itu belum terpecahkan.

Saya rasa bank sentral sedang menggodoknya. Apakah nanti berbentuk central bank digital currency, itu penting. Karena arahnya akan ke banyak hal, misalnya untuk mengukur money supply, daya beli, dan tingkat inflasi satu negara. Jadi, saya rasa ke depan masih akan menjadi komoditas. Untuk menjadi alat pembayaran, saya rasa belum terlihat.

Selain saham dan reksadana, investor milenial juga berinvestasi di emas dan properti. Bagaimana di 2022 ini?

Emas ini sama seperti komoditas lain. Biasanya komoditas itu berkebalikan dengan kondisi likuiditas global. Kondisi likuiditas ke depan perlahan-lahan dikurangi dengan taper, suku bunga naik. Itu tendensinya harga komoditas akan turun.

Makanya, proyeksi kami, berbagai harga komoditas secara gradual akan turun, walapun dibandingkan dengan 2020 saat pandemi relatif masih tinggi. Harga batubara masih di atas US$ 100, harga CPO di atas US$ 1000 per metrik ton. Kalau emas, volatiliy-nya limited dibandingkan kondisi likuiditas yang sedang flush.

Nah properti, untuk investasi di bawah Rp 2 miliar, permintaannya tetap resilient. Kredit penjualan di bawah Rp 2 miliar meningkat. Tapi yang di atas Rp 2 miliar hanya untuk certain group of people. Bayangan saya, paling cepat semester kedua 2022, permintaan properti seperti landed house antara Rp 500 juta dan Rp 1 miliar sangat besar. Jadi kalau mau investasi atau jual-beli di sekitar itu