Sebagai pelopor bank syariah di Indonesia, perjalanan Muamalat sangat berliku. Apa strategi perusahaan agar tidak terjerat krisisi seperti sebelumnya?

Value kami sekarang ada tiga; islami, modern, dan profesional. Jadi saya tidak lagi datang dengan tampilan keislamannya saja. Tapi saya harus bisa tampil rapi dan profesional, karena bank is all about trust. Orang lihat kemampuan Permana itu oke, dia bisa tidak hanya jadi imam sholat saja, tapi bagaimana kemampuan banking-nya.

Makanya di manajemen sekarang, saya mencari bukan orang-orang yang sembarangan. Talent yang di market bagus tapi dia juga punya aspirasi ingin bersyariah. Kami harus begitu karena bank itu bisnis kepercayan, tidak bisa hanya tonjolkan islaminya saja.

Apa rencana besar dalam beberapa tahun ke depan?

Kami ingin IPO di 2024, jadi ada waktu dua tahun lagi. 

BPKH akan melepas sebagian sahamnya dalam IPO mendatang?

Saat ini BPKH pegang 82% saham di Muamalat. Suatu saat harus dilepas karena untuk apa pegang sebanyak itu. BPKH harus punya partner lembaga keuangan lain yang bisa membantu. Karena bagimanapun BPKH bukan lembaga komersial. BPKH bisa jual sebagian dan pasti banyak yang mau berpartner dengan BPKH.

Di sisi lain, dia bisa meningkatkan capital gain. Jual sebagian sudah untung banyak. Nama BPKH sebagai partner saja sudah bagus. Cash mereka banyak, dan lembaga mana sih yang punya uang mengalir sebanyak itu?

Segmen islami yang jadi fokus Muamalat bukan hanya haji dan umrah, apa sektor lain yang menjadi incaran?

Banyak banget sekarang itu. Misalnya rumah sakit, yayasan, sekolah-sekolah. Sekarang islamic lifestyle sudah ke mana-mana. Mulai dari makanan, wisata, dan lain sebagainya. 

Saat ini segmen islami itu berapa persen dari pembiayaan Muamalat?

Sekarang sudah sekitar 15 % untuk segmen islami. Kalau haji sendiri masih rendah karena baru mulai tahun lalu.

Sisanya segmen apa saja?

Ada UMKM, korporasi, dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sekarang distribusi korporasi dan ritel masih 50:50. Kalau dulu fokusnya di korporasi, sekarang kalau pun masuk korporat harus ke BUMN atau yang AAA. Walaupun margin-nya tipis tidak jadi masalah.

Wisata Halal (Katadata)
 

Bagaimana dengan industri halal?

Tidak semuanya akan kami garap. Kita akan siapkan kriteria. Misalnya, Muhammadiyah pendekatannya enggak satu per satu. Tapi masuk dari Pengurus Pusatnya agar bisa memberikan layanan yang lebih masif.

Apakah saat ini Bank Muamalat terlibat dan pembiayaan sindikasi?

Sindikasi ada beberapa, bahkan dengan BPKH itu kami sindikasi. BPKH kan juga bisa melakukan direct investment. Itu salah satu alasan kenapa BPKH harus punya bank. Karena BPKH juga butuh risk department yang menilai risiko dari satu direct investment mereka. 

Model direct investment BPKH di segmen apa?

Sebenarnya tidak ada batasan khusus. Yang penting adalah masuk kriteria risiko mereka. Jadi tidak hanya urusan haji saja.

Bank syariah tumbuh solid beberapa tahun terakhir, bagaimana Anda melihatnya?

Saya pikir ada dua momentum dalam tiga tahun terakhir yang mendorong pertumbuhan industri syariah. Pertama, komitmen pemerintah melalui Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dan Kementerian BUMN yang membentuk lembaga khusus. Keseriusan pemerintah ini bisa dilihat dengan pencanangan pusat ekonomi syariah di sejumlah kota. 

Kedua, gaya hidup syariah sekarang sedang booming, dari industri halal seperti makanan dan wisata. Jadi yang kami gerakkan sekarang tidak cuma sertifikasi halal, tetapi akun banknya pun dihalalkan juga. Sekarang ada sertifikat halal buat makanan, tapi uang beredarnya masih boleh bukan di syariah. Coba kalau di syariah, dampaknya pasti bagus. Jadi dua hal itu yang membuat pertumbuhan industri syariah bisa sampai dua digit.

Lembaga ini merujuk ke apa? Bank Syariah Indonesia?

BSI kan salah satu komitmen pemerintah. Memang industri butuh anchor bank yang besar. Kami harapkan kehadiran BSI menjadi lokomotif di depan yang menggandeng kami di belakang. Jadi dia terobos di depan, misalnya dengan mengambil pembiayaan sindikasi sekian triliun lalu bagi-bagi ke belakang karena tidak mungkin dimakan sendiri. 

Jadi harapannya BSI bisa berkompetisi dengan bank konvensional. Misalnya untuk pembiayaan infrastruktur dan bersaing dengan BCA, Mandiri, atau BNI. Kemudian bisa membantu bank-bank menengah ke bawah untuk melakukan edukasi pasar. Isu di syariah itu tiga hal: literasi masih rendah, produk belum selengkap konvensional, dan yang ketiga mengenai jaringan.

Saat pandemi, bagaimana kondisi perbankan syariah? 

Kalau pandemi saya pikir itu berlaku ke semua industri. Pembiayaan tentu banyak jadi masalah sehingga OJK membantu kreditur dengan relaksasi. Sekarang sudah mulai naik lagi. Jadi pandemi kalau secara overall, financing manapun akan kena. 

Bagaimana dengan kondisi di Bank Muamalat secara khusus saat pandemi?

Sebenarnya indikator spesifik Muamalat itu spesialisasinya haji. Sebelum pandemi, kira-kira setahun yang daftar haji sekitar 110.000 orang. Tahun pertama pandemi, jatuh tinggal 50.000, tahun kedua drop lagi tinggal 30.000. Tapi sekarang sudah mulai naik lagi.

Jadi, sebetulnya itu mengindikasikan prioritas tabungan nasabah, saat pandemi prioritas mereka bukan berhaji. Saya merasa sekarang sudah mulai recovery. Memang kalau dibanding kondisi 2019 masih baru sekitar 60% lah. 

Bagaimana strategi agar bank syariah bisa berkompetisi dengan bank konvensional?

Dulu kan masih sangat tergantung pada physical presence. Kalau dia mau jual di Sorong tetapi tidak ada branch di kecamatannya bagaimana bisa bersaing. Nah sekarang, ada dampak dari pandemi sehingga digitalisasi itu menyebabkan kita sama dengan konvensional. 

Kalau bicara digital, kemana pun kita bisa terabas. Itu sebenarnya kesempatan buat bank syariah. Dulu itu, kenaikan market share bergantung pada physical branch yang ongkosnya tinggi. Sekarang kita sama-sama punya digital. 

Jadi digitalisasi menyebabkan bank syariah punya peluru yang sama dengan bank konvensional.  Dulu pelurunya beda. Bank konvensional ada ribuan branch, bank syariah hanya belasan, misalnya. Sekarang sama, namanya digital bisa nembak ke mana saja.

Sama seperti Bank Muamalat, kami menggunakan digital sebagai ujung tombak akusisi nasabah. Buka akun tanpa ke cabang, bahkan pendaftaran haji dan pelunasan haji itu pakai digital.

Saat ini hanya sebagian bank syariah masih terkendala modal yang kecil, bagaimana Anda melihatnya?

Parameternya kan CAR [capital adequacy ratio/rasio kecukupan modal] saja. Jadi meskipun dikasih modal banyak kalau misalnya tidak ekspansif buat apa juga. Jadi kalau sekarang CAR bank syariah masih bagus dibanding konvensional. 

Waktu saya di Permata [Bank Permata], dia konvensional, melihat bank syariahnya bisa dipakai sebagai produk yang berkompetisi dengan yang lain. Sehingga waktu itu kami bahkan dari kontribusi 1 - 2 bisa sampai 20 % terhadap total pendapatan.

Produk syariah itu dia pakai untuk menjaga nasabah muslim dan juga mengakuisisi customer muslim dari bank kompetitor. Jadi positioning itu yang menyebabkan beberapa bank konvensional memiliki unit usaha syariah (UUS) dan ini menurut saya salah satu hal yang bisa dijual.

Jadi modal tidak lagi menjadi masalah?

Enggak sih. Yang UUS saya tidak tahu. Tapi kalau pendekatannya mereka melihat UUS sebagai satu channel yang menyebabkan kompetitif, modal akan ke sana. Untuk pemilik bank, dia akan melihat melalui channel mana bisa berkompetisi dengan ongkos lebih murah dan pembiayaan lebih sehat. Jadi dia enggak melihat syariah atau non-syariah. Kalau bisa lebih kompetitif, dia akan pakai itu sebagai media untuk bersaing mengakuisisi nasabah

Menurut saya kalau mereka ada di Indonesia, the biggest moslem country dan tidak membangun itu [unit usaha syariah], sayang karena konvensional just another bank dan kompetisinya lebih ketat. Pangsa pasar syariah saat ini baru 6,5 %, jadi peluangnya lebih besar. 

Bagaimana dengan produk di bank syariah, apakah sudah beragam?

Kalau kita bandingkan dengan lima tahun lalu, hampir semua produk konvensional ada padanannya dengan syariah. Bahkan ada beberapa produk syariah yang justru bank konvensional enggak punya. Bagusnya sekarang adalah induk usaha konvensional memperbolehkan anak usaha syariah pakai infrastruktur induk usahanya. Misal BSI bisa pakai di BRI, BNI, Mandiri. Kalau dulu perencanaannya terbatas. Sekarang mobile banking sudah bagus. 

Bahkan saya berpikir mungkin ada produk syariah yang kami bangun dan tidak bisa dibuat oleh bank konvensional. Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT), misalnya. Modelnya seperti ini, kalau di konvensional itu pembayaran akan menyebabkan dia kena pajak. Tapi kalau ijarah itu adalah jual beli. Misal beli alat berat, tapi disewakan dulu. Jadi alatnya seolah-olah milik bank tetapi disewa. Di akhir pembayaran, bank berjanji memberikan barang itu sesuai dengan harga angsuran terakhir. Ini produk yang inovatif.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora