Mendapat apresiasi dari dalam negeri hingga dunia, kini Citayam Fashion Week menjadi perebutan sejumlah pihak. Plt Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Razilu mengatakan sudah ada empat pihak yang mengajukan hak merek atas Citayam Fashion Week.
Tiga permohonan menggunakan nama Citayam Fashion Week, sedangkan sisanya hanya memakai merek Citayam. Di antaranya ada perusahaan Baim Wong, PT Tiger Wong dan Indigo Aditya Nugroho yang mendaftarkan merek tersebut melalui Kemenkumham.
“Orang Jakarta kaget melihat fenomena ini karena mereka tidak pernah melihat anak Jakarta kerumunan gitu dalam konteks kreatif. Udah lama Jakarta itu garing dengan budaya festival, kreatif, dan ini kan tanpa modal,” kata Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna saat dihubungi Katadata.co.id akhir pekan lalu.
Tak hanya menyoroti kehadiran Citayam Fashion Week, pengamat dan Dosen Universitas Trisakti ini juga menyoroti peran tata kota terhadap munculnya fenomena tersebut. Berikut rangkuman wawancaranya:
Apa yang tidak dimiliki kota penyangga, hingga remajanya beralih ke Dukuh Atas, Jakarta?
Jakarta punya segalanya, kalau Citayam, Bojonggede hanya kota kecamatan. Wilayahnya masih berbau rural, tapi pengaruh metropolitan begitu kuat, apalagi kalau dikaitkan dengan media sosial. Jadi kekuatan besar yang mendorong perubahan itu adalah media sosial seperti TikTok dan Instagram yang membuat orang tampil seperti Raja dalam seminggu, tapi juga bisa hilang dalam waktu cepat.
Anak-anak milenial di kawasan pinggiran itu tidak punya panggung untuk eksis. Selama ini, mereka mau eksis itu susah, karena tempat dan lingkungannya tidak mendukung. Panggung yang menarik itu ya di Jakarta, apalagi memilih di Dukuh Atas dengan transportation hub, simpul pertemuan antarmoda dari MRT, LRT, KA Bandara, Transjakarta, dan menjadi transitnya para pekerja komuter. Tempat itu benar-benar sangat ramai untuk dilihat.
Selanjutnya, tempat itu sudah lama vakum dari aktivitas anak-anak Jakarta. Trotoar yang dibangun selama ini tidak dimanfaatkan banyak remaja Jakarta. Jakarta Pusat itu adalah zona kawasan dengan jumlah penduduk sangat rendah, sehingga tidak banyak orang tinggal di tengah kota.
Apakah lahan eksistensi di kota penyangga menjadi prioritas saat ini?
Iya, tempat itu memberi makna, punya makna simbolis, nilai, prestise, hingga posisi. Di Dukuh Atas, Thamrin, atau Sudirman itu panggungnya besar banget, ada gedung-gedung besar, pencakar langit, ada bangunan tinggi, jalan lebar, banyak mobil. Itu menarik buat anak pinggiran melakukan mobilitas sosialnya, dari orang pinggiran tiba tiba menjadi orang kota.
Dalam artian dia bermain dalam strata sosial Jakarta yang tidak semua orang bisa seperti itu. Jakarta itu kelasnya tinggi, tidak semua orang bisa merebut tempat itu kecuali memiliki prestasi atau kemampuan. Menariknya anak-anak Citayam Fashion Week ini pemberani, mengambil inisiasi bersama teman-temannya, bersama gengnya.
Lebih menarik karena mereka berani tampil apa adanya walaupun dengan cara sederhana. Menggunakan pakaian dengan harga apa adanya tapi bisa tampil ala Amerika, ala Jepang, ala negara lainnya. Ketika ditanya kacamata harga berapa? Rp 20 ribu, belinya di Shopee.
Hal apa yang paling mendesak dalam perencanaan tata kota?
Kalau membuat ruang kota, janganlah membuat ruang yang standar, biasa-biasa saja. Jika ingin ruang kota ramai dikunjungi, minimal mendorong orang untuk update status di media sosial. Ketika mereka mengambil foto, maka tempat itu memiliki nilai tambah. Salah satu contoh yang viral sebelumnya, Tebet Ecopark.
Kenapa Ecopark itu menarik? Karena memberi sesuatu nilai lebih, nilai tambah dari yang lain.
Apa artinya Pemda sekitar Ibu Kota cenderung malas membangun tata kota menarik?
Iya bukan malas, enggak punya duit. Jangan bandingkan dengan Jakarta, jauh. Activity Kabupaten Bogor berapa, activity-nya Depok berapa? Enggak punya modal, Depok saja mau gabung dengan Jakarta.
Begini, kalau membangun kota itu kita perlu ruang terbuka, perlu alun-alun, perlu taman. Tapi sehebat apa taman-taman di pinggiran? Enggak ada yang punya nilai icon bagus, branding-nya lemah.
Ketika ditanya kamu tinggal dimana? Citayam, terus enggak ada nilai. Tapi Citayam rasa Jakarta Selatan kan menarik, jadi persoalan “bumbunya”, "bahannya" sama anak-anak Citayam, anak-anak ABG. Ketika masuk Jakarta, langsung ke jantung kota, orang-orang kaget.
Orang Jakarta itu kaget melihat fenomena ini karena mereka tidak pernah melihat anak Jakarta kerumunan gitu dalam konteks yang kreatif. Udah lama Jakarta itu garing. Dengan budaya festival, budaya kreatif, ini kan tanpa modal. Saat ini, modal kegiatannya itu, dari anak-anak itu.
Berkaca dengan kondisi sekarang, PR terbesar apa yang perlu dilakukan Pemda?
PR-nya satu, kota penyangga perlu mempersiapkan anak-anak kreatif, sementara Jakarta menyiapkan panggungnya. Remaja itu perlu dibuatkan sanggar, pusat pelatihan, pusat pendidikan, yang khusus untuk membuat satu atraksi budaya, ataupun atraksi lain. Kalau enggak, mati nanti “SCBD” karena begitu-begitu saja, orang bosan.
Kalau misal nanti anak Bekasi bisa tampil di Sudirman, anak Depok bisa tampil juga, anak Bojong, anak Bogor, anak Tangerang Selatan, mereka tampil. Karena bagi anak pinggiran kota seperti Bojong, Depok dan lainnya, berangkat ke Sudirman itu murah, hanya Rp 6 ribu naik kereta api. Buat mereka enggak masalah gitu-gitu, yang masalah justru tempat (kota asal) mereka tidak mendukung.
Beberapa anak “SCBD” mendapat penghasilan dari fenomena Citayam Fashion Week, seperti endorse. Apa ini akan memberikan dampak lanjutan bagi ekonomi kota penyangga juga?
Ada, bisa saja mereka di-endorse industri fesyen lokal, kemudian dijual di sana (kota penyangga). Jadi banyak hal yang bisa diinisiasi, tapi pertanyaannya siapa yang mau mengorganisir, siapa yang mau mengelola, dan siapa yang mau menyediakan dana?
(Pemda) bisa menyediakan dulu fasilitasnya atau ada pengusaha. Bisa juga di-endorse BUMN, seperti BNI, Bank Mandiri untuk berkontribusi memberikan sponsor bagi kegiatan-kegiatan di kawasan Citayam Fashion Week, itu akan lebih keren.
Seberapa besar fenomena Citayam Fashion Week untuk diaplikasikan ke kota-kota lain?
Bisa, tinggal kolaborasi kerja sama antar daerah saja. Bagus dari bocah-bocah (sebagai pionir atau penggerak). Para remaja bisa sebagai pengisi “panggung”, sementara nanti yang memfasilitasi pemerintah. Misalnya dengan menyediakan tempat, pembinaan, pendampingan. Kemudian menyediakan fasilitas dukungan, sarana, menjaga kebersihan, hingga ketertiban.
Untuk daerah luar Jakarta ada kemungkinan untuk ikut menduplikasi konsep Citayam Fashion Week?
Ada, misalnya Bogor. Depan Stasiun Bogor terdapat alun-alun Bogor. Jawa Timur juga ada, di Kota Lama Semarang, di Yogyakarta (konsep Citayam Fashion Week) bisa di Malioboro, kan sudah bersih.
Artinya enggak butuh waktu lama untuk menduplikasikan?
Enggak butuh waktu lama, enggak perlu. Tinggal mencari anak-anak kreatif, diwadahi, gitu aja. Sebetulnya, panggungnya sudah ada, hanya yang mengisi panggung yang enggak ada
APBD masih tipis, mana yang lebih penting, APBD atau kreatifitas Pemda?
Dua-duanya. Kalau orang Minang bilang, no pitih no ability, no pitih no motivasi, no pitih no prestasi, no pitih no kreasi, no pitih lama-lama mati (tidak ada uang tidak ada bakat, tidak ada uang tidak ada motivasi, tidak ada uang tidak ada prestasi, tidak ada uang tidak ada kreasi dan tidak ada uang lama-lama mati).