Setahun lalu Menteri Eenergi dan Sumber Daya mineral menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap. Beleid ini dikeluarkan untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dan masyarakat memasang penel surya.

Pemerintah menargetkan 3,6 GW PLTS Atap terpasang hingga 2025. Namun, hingga Juli 2022 realisasinya baru mencapai 62 MW.

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan dalam implementasinya PLTS Atap menghadapi banyak kendala. Salah satunya karena saat ini terjadi kelebihan kapasitas listrik sehingga PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) cenderung kurang mendukung.

“Memang banyak komplain dari masyarakat dan industri terkait total kapasitas yang bisa dipasang,” kata Dadan, saat berbincang dengan Katadata.co.id

Menurut Dadan, saat ini pihaknya sedang duduk bersama dengan PLN untuk menyelesaikan persoalan ini. Salah satu solusi yang akan diimplementasikan yakni penggunaan hitungan beban dasar untuk menentukan total kapasitas panel surya yang bisa dipasang.

Selain membicarakan soal PLTS, Dadan juga banyak bercerita soal regulasi-regulasi terkini di sektor EBT yang sedang dipersiapkan pemerintah. Salah satu yang signifikan adalah RUU EBT yang saat ini sedang menjadi pembahasan di DPR.

Seperti apa wawancara dengan Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana? Berikut petikan wawancaranya. 

Saat ini ada beberapa peraturan di sektor energi terbarukan yang sedang digodog oleh pemerintah dan DPR, bagaimana status masing-masing regulasi tersebut?

Saya mulai dari yang sudah lama kita siapkan yakni Perpres tarif EBT yang sekarang namanya Perpres Percepatan EBT. Ada beberapa hal yang diatur beleid ini termasuk soal tarif dan proses transisi energi. Ini sudah kita finalkan dan para menteri juga sudah paraf. Sekarang dalam proses ke Presiden. 

[Catatan Redaksi: Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, sudah diterbitkan pada 14 September 2022, setelah wawancara ini dilakukan].

Di situ kita harapkan nanti ada upaya-upaya percepatan bagaimana menggeser pembangkit berbasis fosil, khususnya batubara kepada EBT. Jadi intinya itu akan dilakukan bertahap. Itu yang ditargetkan selesai di 2060 atau lebih cepat kalau ada bantuan internasional.

Kemudian yang kedua adalah aturan soal konservasi energi. Kita sudah punya PP sebetulnya, tetapi ingin lebih mempercepat proses ini. Jadi selain menyediakan energi bersih, kita juga harus melakukannya dengan lebih efisien. PP Konservasi Energi sudah beberapa kali harmonisasi. Jadi ini dalam proses akhir. 

Di dalam konservasi tersebut, kita mendorong supaya penghematan energi bisa berjalan di seluruh level, baik di sisi penyediaan maupun penggunaan. Baik di rumah tangga maupun industri. Di situ beberapa mekanisme disusun termasuk penetapan pelaporan dan kewajiban untuk menunjuk yang kita sebut Manajer Energi. 

Jadi pelaksanaan prinsip-prinsip manajemen energi itu salah satunya ada manajernya, kemudian pelaporan. Kita atur berapa konsumsi minimum yang wajib dilaporkan. Kemudian di laporan itu disampaikan juga rencana tahun depan. 

Prinsipnya [konservasi energi] itu bukan bersifat pemaksaan. Tapi lebih mendorong supaya berhasil dari sisi teknis dan finansial. Kemudian beberapa hal juga kita dorong. Misalnya alat ini standarnya harus seperti ini dari sisi kinerja, tapi kita tidak memberi aturan bahwa produksi semen itu maksimum energinya sekian. Kita belum mengarah sampai situ ya, tapi alat-alatnya sudah diberikan standar kinerjanya.

Kemudian yang lebih besar dari itu, RUU tentang EBT. Ini inisiatif dari DPR sudah diserahkan kepada pemerintah. Ini saya terus berkoordinasi dengan Mensesneg memastikan seluruh menteri terkait sudah paraf. Namanya juga Undang-Undang, ini akan menjadi regulasi utama yang menjadi acuan dari sisi perusahaan, perizinan, teknikal, dan insentif. Sekarang sedang menyusun Daftar Inventarisir Masalah (DIM).

Ada berapa DIM RUU EBT yang dibahas?

Sekarang ada 600 DIM-nya.

Apakah Anda optimistis RUU EBT akan selesai tahun ini?

Kalau dari pernyataan DPR, semangatnya masih begitu ya.

Kembali ke Perpres, itu kan diubah dari Perpres Tarif EBT jadi Perpres Percepatan EBT, adakah ruang lingkup yang diperbesar?

Sebetulnya masih tentang tarif. Tapi karena ditambah dengan kebijakan terkait PLTU, makanya Perpres-nya jadi percepatan EBT. Yang PLTU-nya juga diberikan peraturan dalam sisi terms and conditions. Tidak boleh membangun PLTU baru kecuali untuk proyek strategis nasional yang belum siap dari sisi EBT-nya. 

Misalnya di Maluku itu baru ada tenaga surya tetapi tidak cukup untuk menopang industri. Nah, dalam konteks ini masih diperbolehkan untuk membangun PLTU, tapi juga ada syaratnya. Nanti setelah 10 tahun harus menurunkan emisinya. Selain itu PLTU itu hanya boleh beroperasi sampai 2050.

Kita juga mendorong untuk menggunakan teknologi yang bisa menangkap emisi karbon. Ini jadi cerita yang lain lagi nanti. 

Meskipun harga [teknologi penangkap karbon] masih mahal?

Ya, tapi kan teknologi itu kelihatannya akan semakin efisien. Efisiensinya meningkat, otomatis dari sisi biaya mungkin per unitnya akan turun. Memang sekarang itu dilihat menjadi sebuah alternatif, karena kita belum punya teknologinya. 

Mengapa PLTU untuk proyek strategis nasional dikecualikan dari moratorium PLTU?

Namanya proses transisi ya, tapi dari sekarang harus komitmen. Nanti kalau tidak diperbolehkan pakai PLTU produk kita juga tidak bisa bersaing. Komitmen kita terhadap dunia juga tidak akan tercapai. Jadi itu dua sisi, dari sisi ekonomi harus tetap berjalan, tapi dari sisi yang lain orang bilang ini jangka panjang, tapi menurut saya ini jangka pendek juga. 

Karena sekarang produk-produk industri itu sudah mulai dilihat dari sisi bagaimana sih cara produksi barang-barang tersebut? Malah negara Eropa mulai mengkaji penerapan pajak karbon tambahan dari luar. 

Jadi mereka akan melihat bagaimana seluruh dunia itu harus sama dengan Eropa. Kalau di sana tidak ada pajak karbon, masuk ke negara dia ditambahin. Sehingga kalau begitu nanti produk kita menjadi mahal, tidak bisa bersaing dengan produk lain. 

Itu yang selalu pak menteri ESDM sampaikan. Ini sebetulnya nih visi nasionalnya, supaya kita tetap bisa meningkatkan dari sisi daya saing, bukan terbalik. 

Terkait dengan pajak karbon, pemerintah sudah dua kali menuda implementasinya. Mengapa?

Kalau pajak karbon sebenarnya bukan di sini ya [Kementerian ESDM]. Kebijakannya di Kementerian Keuangan. Pasti akan berlaku menurut saya, tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Seberapa krusial sebenarnya pajak karbon ini untuk PLTU?

Kita sebenarnya kalau melihat dari sektor energi ini, pajak karbon menjadi instrumen supaya para produsen energi yang mengemisikan CO2 itu berupaya untuk menurunkannya. Satu dari meningkatkan efisiensi. Kalau dulu satu ton bisa menghasilkan satu kWh, nanti satu ton bisa menghasilkan 1,2 - 1,3 kWh. Itu kan emisinya itu berbeda. Kemudian yang kedua kalau itu tidak bisa, mereka membangun penyediaan energi dari EBT atau offset

Kalau dari sisi pajak sebenarnya kita tidak terlalu ingin para emitor ini membayar pajak saja. Kalau begitu tujuan mengurangi emisi tidak tercapai. Kalau emisi diturunkan, pajak yang dibayar makin sedikit. 

Apalagi sekarang dengan tingkat harga yang kita dengar di angka seperti itu [Rp 30.000 per ton emisi karbon ekuivalen], barangkali akan memilih bayar pajak karena masih murah. Tapi Ibu Menkeu jauh lebih pintar untuk hal tersebut, kita lihat saja nanti.

Kira-kira mekanismenya yang pernah saya lihat di pemaparan Bu Menteri, nanti kan ada perdagangan karbon. Nah, misalnya pajak karbon Rp 30.000 per ton, nanti di perdagangan karbon harganya Rp 50.000. Tahun depan pajak karbonnya naik jadi Rp 50.000.

Jadi tetap dijaga perdagangan karbon akan lebih kompetitif daripada pajak karbon supaya orang bergeser ke situ.

PLTU BERKAPASITAS 2X50 MW DI MORAMO UTARA (ANTARA FOTO/Jojon/wsj.)

Idealnya hasil pajak karbon itu digunakan untuk membayar proyek EBT atau bagaimana, Pak?

Namanya pajak tidak bisa ditandai untuk apa. Pajak masuk ke sana [kas negara], nanti ikut aturan-aturan pemanfaatan APBN. Enggak bisa dipakai langsung.

Saat ini sektor industri sedang fokus menurunkan 76% sumber energi mereka yang berasal dari energi kotor, bagaimana Pemerintah mendorong hal tersebut?

Kita sudah duduk bersama dengan Kementerian Perindustrian soal ini. Jadi soal bagaiamana nanti industri menghasilkan produknya, kemudian energinya dari apa, dan konsumsinya berapa. Konsumsinya dari aspek konservasi, kemudian dari produksi, dan dari sisi penyediaan energi. 

Sekarang itu yang kita dorong itu misalnya PLTS Atap meskipun tidak akan bisa mengganti seluruhnya [energi fosil]. PLTS atap bukan energi utama tetapi hanya sebagai tambahan saja.

Nah sekarang bagaimana supaya itu bisa berjalan? Misal di pabrik itu tidak ada sumber panas bumi, PLTA, atau EBT lainnya. Lantas bagaimana caranya? Sekarang kita dorong kalau bangun pabrik baru misalnya, bisa gunakan 100% EBT dari PLN. Bisa juga beli listrik dari tempat lain dari jaringan PLN. Saya bilang mungkin karena secara regulasi sudah ada, tapi kita belum pernah lihat ada contohnya. Itu salah satunya yang kita dorong lewat RUU EBT ini supaya bisa lebih kuat. 

Di sisi lain, sudah banyak beberapa contoh perusahaan memanfaatkan limbah organik sebagai sumber energinya. Kalau dilihat di perusahaan yang basisnya pertanian, menurut saya mereka sudah bukan 73% [bauran energi fosil]. Mungkin sudah kebalilk. Angka 73%-nya mungkin tetap valid, tetapi pemanfaatan EBT-nya mereka udah tinggi. 

Pabrik kertas misalnya, limbahnya itu kan besar, dipakai, dan dibakar kembali. Itu kan biomassa. Atau pabrik yang terkait dengan kelapa sawit atau pabrik-pabrik pangan yang lain, karena limbahnya organik, simpel saja dibakar dalam bentuk biogas atau dipadatkan. Yang agak besar dan cukup sulit, adalah pabrik semen. 

Semen kan energinya besar, sekarang kita sudah ada beberapa contoh di mana batubaranya dicampur dengan sampah kota. Sampahnya dikeringin, kita sebut RDF (Refuse-Derived Fuel). Itu Ini win-win solution: kotanya bersih, kemudian pabrik semen juga bisa menggunakan energi yang lebih bersih.

Terkait PLTS sepertinya targetnya sulit dicapai tahun ini, apa kendalanya secara umum?

PLTS ini sudah berjalan sekitar satu tahun, sejak kita menerbitkan Permen PLTS Atap yang lebih menarik bagi pengguna. Sekarang kita mengalami kendala karena dari sisi PLN memang kurang support. Dalam artian sekarang sedang terjadi kelebihan suplai.

Kita juga dapat komplain dari industri dan masyarakat yang katanya kapasitas pemasangannya dibatasi. Sebetulnya kalau dalam Peraturan Menteri, batas pemasangan itu itu maksimum kapasitas terpasangnya. 

Kita sedang berdiskusi dengan PLN. Kita sepakat yang akan dipakai nanti itu nanti beban dasarnya. PLTS atap itu sebenarnya bukan untuk cari duit, bukan untuk transaksi. Tapi kebijakan yang disusun pemerintah agar masyarakat dapat memasang PLTS dan kualitas listrik di rumah juga tidak terganggu.

Jadi sekarang sepakatnya dengan PLN itu beban dasar. Misalnya kalau di rumah 2.200 Watt, tapi di jam jam tertentu kan enggak sampai segitu. Misalnya nanti hitungannya 1.000 Watt, maka nanti yang boleh dipasang PLTS ya segitu. 

Dengan begitu, isu kelebihan kapasitas PLN tidak akan terganggu. Jadi sekarang akan seperti itu, akan diformalkan dalam bentuk petunjuk teknis. 

Bagaimana mekanisme hitungan beban dasarnya?

Kalau untuk industri, yang konsumen besar mereka pasti punya hitungan itu. Industri hotel pasti punya kurvanya, PLN juga bisa dengan cepat untuk mengetahui. Beban dasar industri mungkin berbeda-beda setiap sektor. Tapi yang ingin cepat kita selesaikan itu rumah tangga.

Nah, ini yang agak rumit karena memang harus dihitung. Kan enggak mungkin kita mengukur satu-satu setiap pelanggan rumah tangga. Nah, nanti dengan PLN kita akan mengambil sampel rumah tangga untuk mengetahui profilnya seperti apa sehingga nanti akan keluar angka persentase. 

Sekarang misalnya ada perusahaan punya gudang, menaikkan kapasitas PLTS yang tinggi padahal pakainya cuma sedikit. Tapi karena atapnya besar, dia bisa pasang PLTS dengan sangat besar. Ini ada tendensi jualan, meski menurut saya jualan listrik dari PLTS itu tidak memungkinkan secara regulasi. PLN juga tidak mau dan aturan sekarang tidak mengizinkan. 

Walau itu hanya masuk ke sana [penyimpanan listrik], nanti di waktu tertentu simpanan harus diambil, kalau enggak diambil akan hilang. Itu yang mungkin kurang dipahami oleh para penggerak, bahwa dengan masang setinggi-tingginya seakan-akan bisa jual, padahal enggak. 

Memang ada sisi yang lain, kalau bisa menyimpan [listrik], malamnya bisa diambil. Kalau untuk rumah tangga mungkin ada pertimbangan ke sana.


Ini akan diimplementasikan tahun ini?

Menurut saya dalam waktu dekat. Mungkin beberapa minggu ke depan.

Ini menjadi kabar baik untuk industri dan rumah tangga?

Terutama rumah tangga. Ini yang kita belum keluar angka beban dasarnya. Jangan-jangan memang cuma 15%. Kita akan lihat

Kalau 15% dari kapasitas terpasang bukankah terlalu kecil?

Sebetulnya bukan urusan kecil besarnya, karena prinsipnya untuk penggunaan sendiri. Tapi saya rasa terlalu kecil juga. Coba kalau 2.200 W dikali 15% kan hanya 300 W. Sekarang satu panel saja bisa menyuplai 500 W. Kan kurang efisien cuma masang satu panel di rumah. Ini harus ada win-win solution. Tapi saya kira ini bisa jadi solusi jangka pendek. Nanti mungkin akan lebih dinamis ketika isu kelebihan kapasitas ini berkurang. 

Bagaimana dengan rencana pensiun PLTU?

Ya, itu kan masuk dalam Perpres. Kita lagi banyak persiapan dengan PLN. Komandannya sih dari Kemenko Marves dan Kemenkeu untuk mekanisme pendanaan. Karena implisit sebetulnya itu harus ada uang gratis ya, terus kita lagi cari-cari. 

Sekarang sih pemahaman kami bahwa nanti akan ada lembaga pendanaan yang membawa dana murah, bukan gratis, sehingga ini bisa mempercepat proses pensiunnya. Jadi bisa pensiun lebih awal tergantung seberapa besar perbedaan pendanaan existing yang sekarang untuk PLTU dengan dana yang baru. 

Jadi kalau dulu misal pinjam uangnya 11%, sekarang ada pendanaan yang lebih murah misal 3%, kan kita ada spread 8% yang dimanfaatkan untuk mempercepat. Tidak menimbulkan dampak keekonomian terhadap apapun, baik harga listrik dan keekonomian dari pembangkit. 

Guna menghitung soal mekanisme perdagangan karbom tentu dibutuhkan carbon cap untuk tiap-tiap industri, siapa yang akan menghitungnya?

Sekarang Kementerian Perindustrian sedang menyiapkan hal tersebut. Sudah ada beberapa angka sih saya lihat. Untuk industri semen misalnya nanti arahnya energi per ton, kira-kira begitu. Jadi aturan itu kan harus bisa berjalan ya, kalau aturan itu ada tapi enggak bisa dimanfaatkan berarti salah tuh pembuat peraturannya. Jadi peraturan harus tetap berjalan, stakeholder tetap bisa hidup di situ, nanti secara bertahap semua itu akan semakin efisien.

Reporter: Rezza Aji Pratama