Apa tantangan dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT)?
Konsumsi listrik Indonesia masih rendah, 700 kWh, di Malaysia 4000 kWh. Konsumsi listrik berkorelasi dengan tingkat taraf hidup manusia. Kalau orang naik sepeda, kan borosnya di nasi dan rendang. Kalau mobilnya banyak, boros BBM, emisi karbonnya lebih banyak. Nah, yang rumahnya gubuk, tidak pakai AC, sudah pasti emisi karbonnya kecil.
Sedikit tantangannya, kita masih ada di pipeline dari pembangkit 35 GW yang akan masuk dan itu berbasis pada batu bara. Untuk itulah, kita membangun roadmap angka karbon netral di 2060.
In the big picture, 1800 TWh di 2060 belum menghitung penambahan permintaan dari transisi transportasi yang tadinya berbasis BBM menjadi berbasis listrik. Artinya, ruang untuk menambah pembangkit berbasis EBT is not small. It’s huge! Insya Allah kami akan selesaikan satu per satu.
Dalam jangka panjang menuju karbon netral 2060, kami dengan konsultan melakukan modelling, penambahan kapasitas on top dari yang sekarang 220 - 250 GW, belum menghitung transisi transportasi yang akan masuk ke sistem kelistrikan. Kalau dihitung, lebih dari 2000 TWh.
Apa bedanya investasi pembangkit fossil fuel dan renewable energy? Pembangkit fossil fuel itu investasi Capex-nya menengah, tidak terlalu mahal. Tapi ada biaya fuel cost yang harus kita bayar selama pembangkit itu beroperasi. Gas itu per megawatt-nya murah, PLTU lebih mahal sedikit. Tapi fuel cost dari gas itu lebih mahal, PLTU lebih murah. Kalau EBT bagimana? Capex EBT agak tinggi, tapi biaya fuel cost-nya hampir 0, hanya maintenance sedikit-sedikit.
Seberapa besar investasi yang diperlukan dalan transisi energi menuju yang baru dan terbarukan?
Karakter investasi untuk EBT akan berbeda dengan DNA investasi untuk fossil fuel thermal, yaitu front loaded investment. Ke depan, biaya Capex-nya semakin turun dengan perkembangan teknologi.
Kami estimasi kebutuhan biayanya US$ 500 - 600 miliar sampai ke 2060. Tapi andaikan tidak melakukan transisi energi, kita harus spending juga. Bukannya karena tidak ada transisi energi tidak spend. Daripada kita spendning menggunakan suatu kapasitas pembangkit yang kemudian ada emisi GRK dengan jumlah yang sangat besar, kenapa tidak sekalian membangun suatu kapasitas pembangkit yang betul-betul ramah lingkungan?
GDP kita sekarang Rp 15.000 triliun. GDP ini agregat product and service produce within the boundary of the country. Cara mengukurnya dari konsumsi, bisa dari produksi. Saya tanya ke BPS, menghitungnya darimana? Dari produksi, bingung mereka, hitungnya susah. Kayaknya dari konsumsi, plus investment, plus government spending, plus export minus import.
Kalau GDP Rp 15.000 triliun, impornya Rp 150 triliun, berarti minusnya ke pertumbuhan ekonomi 1 %. Kita impor minyak dan BBM Rp 400 triliun setahun. Sekitar 2,5 % pertumbuhan ekonomi turun karena itu. Kalau itu diproduksi domestik, pertumbuhan ekonomi kita bukan 5 % tapi 7,5 %. Begitu impor-ekspor kita naik dengan harga komoditas yang naik, pertumbuhan ekonomi otomatis naik, enggak perlu volumenya naik.
Karena ekspor adalah plus. Ini juga untuk energi terbarukan. We need to be mindful when we talk about US$ 500 - 600 miliar. Saat ekspansi infrastruktur listrik, mau diimpor atau ada kapasitas nasional yang memproduksi?
Kalau ini diimpor semua dan kita meningkatkan persentase renewable energy, yes we can. Tapi kita akan menjadi suatu pangsa pasar dari produk internasional semua. Untuk itu, transisi energi has to take place. Kita berbicara nasib generasi masa mendatang, di saat itu juga ini kesempatan membangun kapasitas nasional. Bagaimana dalam proses transisi energi ini kita bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, memberikan kemakmuran bagi rakyat.
Apa PLN juga sudah berencana mengembangkan pembangkit EBT sendiri?
Kami tidak punya ruang untuk membangun EBT karena mengalami over supply. Tapi kami sudah punya 20,6 GW program EBT yang masuk RUPTL. Kami harus disiplin melaksanakan itu, dari sekarang sampai 2030.
Tentu saja kami juga harus membangun strategi lain, yaitu retirement of coal fired power plant. Makanya ada energy transition mechanism, bagaimana menggunakan investasi green financing, kemudian pembangkit bisa kita pensiunkan dini. Ini tidak mudah karena pensiunnya 2044, apa bisa jadi 2034? Lumayan, 1 GW kan 6 juta ton, kalau 10 tahun 60 juta ton. Tapi juga harus dipahami ini adalah aset negara.
Pertanyaannya, apa bisa dihapus? Nilai pembangkit masih Rp 15 triliun, kemudian dalam tiga tahun akan expired, depresiasinya akan habis. Per tahun depresiasinya Rp 5 triliun. Kalau aset ini dihapus, langsung dikurangi Rp 15 triliun, ya perusahaannya langsung bangkrut.
Kemudian ada global bond. Investornya seluruh dunia. Begitu bicara global bond itu ada perjanjiannya. Kalau aset perusahaan dikeluarkan, tidak bisa tidak harus dibayar cash. Dan cash-nya enggak boleh digunakan selain untuk bayar utang. Jadi ini semuanya early retirement dari batu bara.
Lalu, apa jalan keluar dari masalah pembiayaan dalam mempensiunkan dini pembangkit tersebut?
Untuk itulah kami membangun energy transition mechanism. Ada dua program: sekitar 5 GWh sebelum 2030, itu harus menggunakan grant. Sesudah 2030 ada yang menggunakan green financing. Kami juga melakukan effort yang luar biasa.
Terus ada pembangkit IPP, yang diakuisisi pihak ketiga yang kami fasilitasi dengan Asian Development Bank dengan low cost fund. Yang tadinya payback, misalnya, 24 tahun menjadi 15 tahun, langsung kami pensiunkan.
Ke depan, kami juga sudah melakukan moratorium pembangunan PLTU. Dalam planning sudah tidak ada lagi, yang sudah ada Jawa 3 kami batalkan. Tapi yang lain, saya tidak dalam kebebasan untuk berdiskusi. Karena itu legally binding dan itu ada dampak legal.
Langkah apa lagi yang dilakukan PLN?
Kami melakukan de-dieselisasi, yang diesel kami ubah ke renewable energy. Kami melakukan cofiring. Kami fully committed. RUPTL itu satu per satu kami jalankan, ada dimensi waktu, kapasitas, dan lokasi. Kami membangun tapping into renewable energy dari bayu, angin, matahari, panas bumi, hydro, ombak, dll. Kami lakukan itu dengan sangat agregatif.
NDC juga kami siap lakukan, tapi tentu saja this is a global problem? Tidak mungkin PLN melakukan ini semua dengan kesendirian. Kami bicara kolaborasi kebijakan, strategi, teknologi, inovasi, investasi, kebutuhan dananya juga besar sekali.
Bagaimana Anda melihat transisi energi di sektor transportasi?
Konsumsi minyak kita 1,5 juta barel per hari, minyak dan produk. Konsumsi minyak semakin meningkat karena tol Trans Jawa, Trans Sumatera, jalan nasional dibangun. Ada bandara, pelabuhan, dan ini menciptakan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru yang meningkatkan konsumsi energi dalam hal ini minyak.
Impor minyak Rp 300 triliun per tahun, tergantung harga minyak. Kalau harga minyak naik bisa sampai Rp 400 triliun per tahun. Ketahanan energi kita menjadi rendah. Dengan pertumbuhan 5 %, konsumsi minyak dan BBM 2,3 samppai 2,5 juta barel per hari pada 2030. Sekarang, produksi minyak kita 660 ribu barel per hari dan prediksi di 2030 hanya 400 sekian ribu barel. Jadi, tren konsumsi meningkat, tren produksi menurun. Itu masalah pertama.
Yang kedua, dengan satu liter bensin, kalau kita naik Innova itu menempuh 10 kilometer. Itu ekuivalen dengan berapa kWh listrik? Sumber listrik kita dari domestik: batubara, gas. Artinya, dari minyak ke listrik itu shifting dari import base to domestic base.
Satu liter bensin Rp 15 ribu atau Rp 13 ribu. Kalau pakai listrik, satu liter bensin setara dengan 1,2 kWh listrik. Jarak tempuhnya sama kalau baterainya baru. Kalau baterainya tidak baru mungkin 1,5 kWh, yang harganya sekitar Rp 2000. Jadi, biaya memakai listrik jauh lebih murah daripada menggunakan BBM.
Mengapa bisa begitu bila sama-sana memakai gas atau minyak?
Ada hukum kekekalan energi. Dalam satu ekosistem yang tertutup, energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan. Tapi energi itu bisa diubah ke energi lain.
BBM bisa diubah menjadi energi kinetik menggunakan piston. Energinya diubah menjadi energi gerak, sisanya diubah menjadi energi panas karena ada pembakaran. Berapa persen yang menjadi energi kinetik? Hanya 12 - 15 %, sisanya menjadi energi panas. Makanya knalpot pasti panas.
Energi listrik diubah menjadi energi kinetik menggunakan kumparan, induksi medan magnet. Ada panas sedikit sekali, hangat, tapi tidak ada pembakaran, maka konversinya sangat efisien. Itulah hukum kekekalan energi
Nah, efisiensi dari BBM menjadi energi kinetik sangat rendah, efisiensi dari energi listrik menjadi energi kinetik sangat tinggi.
Bagaiamana dengan emisi yang dihasilkan?
Masih ingat periodic table? Di sebelah kanan Helium, Neon. Menghitungnya gampang. Berapa persen karbon bensin? 90 sekian persen, tergantung RON. Anggap 90 %, berati berat karbonnya sekitar 750 gram. Kalau karbon itu lebih kecil daripada oksigen, 750 gram karbon dikalikan oksigen sekitar 1,6 kg, itu jadi CO2. Makanya, 750 gram karbon tambah 1,6 kg O2 menjadi 2,3 - 2,4 kg CO2 dalam satu liter bensin.
Lalu berapa emisi karbon listrik 1,2 kWh? Kalau dari batubara supercritical, itu 900 gram. Kalau subcritical, 1,1 kg, karena boros. Kalau gas, itu 500 gram per kWh, kalau EBT 0.
Kita sudah punya karbon netral 2060, tidak ada lagi emisi karbon dari sektor ketenagalistrikan. Tapi sekarang, emisi karbon dari PLN 850 gram. Ada pembangkit gas, panas bumi, PLTU, rata-rata 850 gram kalikan 1,2 atau 1,5, ya sekitar 1,3 kg CO2 per 10 km kalau menggunakan kendaraan listrik.
Jadi pergeseran dari mobil berbasis BBM ke berbasis listrik, emisi CO2-nya sudah separuhnya kalau listriknya dari batubara.
Apa yang masih menjadi halangan dalam pergeseran tersebut?
Saya termasuk first mover pengguna mobil listrik. Sekali charge bisa untuk 360 kilometer. Mobil lsitrik itu 90 % menggunakan home charging, bukan SPKLU karena untuk commute. Tapi untuk perjalanan antarkota, itu yang menjadi tantangan. Makanya kami sudah membangun electronic vehicle digital system untuk EV home charging.
Apa yang menjadi tantangan? Saya beli mobil Ionic Rp 770 juta. Itu setingkat apa? Honda City Rp 400 juta, artinya saya membayar Rp 300 juta lebih mahal, tapi biaya operasinya murah. Lalu bagaimana payback Rp 300 jutanya? Ini yang harus diselesaikan dengan banyaknya insentif di negara maju.
Kami sudah membangun ekosistem luar biasa, demikian juga dengan motor listrik. Tapi kalau motor listrik hanya untuk 60 kilometer, jadi perlu battery swap system, kita butuh ekosistem untuk itu. Pertama memberi fasilitas agar warga mobilnya lebih murah. Kami jemput bola kalau ada warga yang mau beli mobil listrik, pasukan kami langsung datang ke rumah, kapasitasnya ditingkatkan, dll.