H ingga kini, perkebunan kelapa sawit kerap diperhadapkan pada dua hal yang berbenturan. Sebagai komoditas utama, crude palm oil dan industri turunannya berkontribusi cukup besar bagi ekonomi nasional. Devisa yang dihasilkan tak kurang dari Rp 300 triliun per tahun. Rantai tenaga kerja yang terserap hingga 5,2 juta orang.
Di sisi lain, total lahan sawit yang membentang hingga sekitar 16,3 juta hektare sering disorot para aktivis lingkungan. Masifnya pengembangan komoditas ini dituding turut memicu krisis ekologi, pemanasan global, hingga konflik agraria.
Menyikapi hal tersebut, sebuah organisasi nirlaba global berdiri pada 2004, Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO. Anggota pendirinya yakni World Wildlife Fund, Malaysian Palm Oil Association, Unilever, AAK, dan Migros. Tujuan utamanya untuk mengubah industri kelapa sawit agar berkelanjutan.
Mereka mengembangkan kriteria lingkungan dan sosial yang harus dipatuhi oleh perusahaan untuk menghasilkan minyak sawit berkelanjutan yang bersertifikat RSPO. Harapannya, langkah ini akan meminimalkan dampak negatif dari produksi minyak sawit terhadap lingkungan, satwa liar, dan masyarakat.
Untuk menjaga komitmen sustainability, RSPO menggelar agenda tahunan atau Round Table (RT), yang tahun lalu bertajuk “Scaling Up The Sustainable Palm Oil Value Chain Through Collective Action”. Acara ini diselenggarakan dari 28 November sampai 1 Desember 2022 di Shangri La Hotel Kuala Lumpur.
Beberapa bulan sebelum RT dilaksanakan, RSPO baru memiliki CEO baru yaitu Joseph D’Cruz. JD, sapaan akrab Joseph mengatakan dalam wawancara khusus dengan Katadata (1/12/2022) bahwa RSPO berkomitmen untuk menjadi organisasi terdepan di dunia dalam bidang sustainability.
Bagaimana visi dan misi Anda memimpin RSPO dengan latar belakang sebelumnya di Badan Program Pembangunan PBB, UNDP?
Bertahun-tahun saya bekerja di UNDP yang berbasis sustainability. Ketika memutuskan mengambil bagian dalam perjalanan RSPO, hal pertama yang saya tekankan yakni saya bukan orang industri sawit, pengusaha sawit, petani sawit, juga bukan pelobi. Saya orang yang bergerak dalam sustainability.
Bertahun-tahun RSPO diakui sebagai lembaga yang kuat dalam sertifikasi perkebunan sawit. Ketika orang memikirkan sertifikasi sawit, kredit sawit, serta rantai pasok yang tersegregasi, itu merujuk pada RSPO. Pekerjaan rumah kami yaitu mempromosikan sustainability bukan hanya pada anggota RSPO, tapi juga pelaku perkebunan sawit lainnya.
Bagaimana implementasi keberlanjutan seharusnya dilakukan?
Menurut saya, keberlanjutan haruslah multidimensional, mulai dari lingkungan, sosial, juga ekonomi. Secara lingkungan, kami memiliki target no deforestation, net zero karbon, memanfaatkan air dengan bijak, serta menerapkan good agricultural practices (praktik berkebun secara berkelanjutan).
Selain itu, penting memerhatikan sisi sosial, seperti kondisi yang baik untuk pekerja, menjaga komunitas yang bekerja di industri sawit, mempromosikan hak-hak kesetaraan gender, tidak ada eksploitasi, dan tentu saja sustainable secara ekonomi.
Hal penting lainnya yakni meningkatkan kehidupan petani swadaya. RSPO mulai membuat strategi agar petani swadaya bisa mendapatkan profit yang bagus, kondisi berkebun yang layak, anak-anak mereka terjamin pendidikannya, dan dalam waktu yang bersamaan juga melindungi lingkungan.
Untuk itu, RSPO perlu memperkuat banyak hal. Salah satunya terkait data untuk melihat implikasi positif bagi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Jadi, visi RSPO ke depan adalah menjadi yang terdepan dalam menyuarakan sustainability dan terdepan dalam mempraktikkannya.
Petani swadaya mengelola lebih dari 40 persen perkebunan sawit di Indonesia. Namun masih banyak persoalan yang dihadapi petani, khususnya soal kesejahteraan. Bagaimana RSPO memandang hal ini? Apa yang menjadi prioritas RSPO dalam meningkatkan kesejahteraan petani swadaya?
Salah satu hal terpenting agar perkebunan petani swadaya berkelanjutan adalah meningkatkan produktivitas. Hasil kebun mereka cukup sedikit, kadang setengah bahkan kurang dari hasil perkebunan besar. Padahal sangat mungkin bagi pekebun swadaya untuk menghasilkan produktivitas yang sama. Sayangnya mereka tidak punya akses terkait skills, teknologi, serta finansial.
Karena itu, dalam sistem RSPO, kami mendorong petani swadaya untuk berlembaga. Melalui kelompok tersebut, kami bisa support untuk bisa bersertifikasi, untuk berproduksi dengan standar sustainability.
Ketika petani swadaya menerapkan standar RSPO, mereka akan mendapatkan pendapatan tambahan dengan harga premium atau kredit pada hasil kebun mereka. Dan yang paling penting, mereka bisa berkebun secara sustainable dan meningkatkan produktivitas.
Bagaimana kondisi terkini para petani yang masuk jangkauan RSPO?
Saat ini secara global, kami memiliki 162 ribu petani swadaya beserta dengan keluarganya. Sedangkan di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,6 juta petani swadaya. Masih banyak sekali petani yang belum masuk jangkauan kami.
Kami memikirkan cara yang tepat untuk bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia agar semakin banyak petani swadaya bisa menerapkan praktik berkebun secara berkelanjutan. Dengan Direktorat Jenderal Perkebunan, misalnya, kami akan berkolaborasi meningkatkan produktivitas perkebunan.
Kami juga bekerja sama dengan pemerintah daerah. Contohnya, kami membantu Pemda Jambi meningkatkan sertifikasi ISPO pada petani swadaya. Apabila di antara mereka mau menindaklunjuti sertifikasi dengan RSPO dan menjadi anggota, bisa kami tindaklanjuti. Kolaborasi dengan berbagai stakeholder ini menjadi penting, sebab RSPO tidak bisa bergerak sendiri.
Apakah sudah ada MoU untuk ini?
Untuk MoU belum ada. Namun, beberapa waktu lalu kami berdiskusi dengan tim ISPO dalam acara G20 di Bali. Kami menyampaikan bahwa jika RSPO dan ISPO berkolaborasi, ini merupakan hal yang baik. Kami mendiskusikan hal-hal teknis, berbagi pengalaman, membandingkan standar masing-masing, untuk melihat peluang kami bisa bekerja sama.
Menurut kami penting untuk bisa berkolaborasi dengan ISPO sebab tujuan kami sama. ISPO menginginkan industri sawit di Indonesia lebih berkelanjutan, mau mendukung petani swadaya. Ini hal yang sama seperti yang RSPO lakukan.
RSPO dan ISPO juga mirip sebab memiliki anggota yang sama, sebut saja Musim Mas, Asian Agri, Golden Agri, dan lainnya. Mereka punya banyak pengalaman. Menurut saya, ini bisa jadi peluang untuk kolaborasi.
Deforestasi di Indonesia masih jadi topik yang banyak dibicarakan. Seringkali deforestasi dihubungkan dengan industri sawit. Bagaimana RSPO menjaga anggotanya untuk tidak melakukan deforestasi?
Kami memiliki PalmTrace sebagai sistem untuk melacak rantai pasok dan kemungkinan deforestasi oleh anggota kami. Ada juga organisasi lain yaitu Chain Reaction Research. Mereka melakukan banyak analisis menggunakan remote sensing terkait deforestasi.
Rata-rata deforestasi di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini sudah banyak berkurang. Dalam beberapa tahun terakhir, harga minyak sawit naik, permintaan untuk minyak sawit juga meningkat. Ketika permintaan minyak sawit meningkat, deforestasi juga biasanya meningkat.
Tapi dalam dua sampai tiga tahun terakhir, kajian dari Chain Reaction Research menunjukkan bahwa meski permintaan meningkat, deforestasi tidak langsung meningkat. Ini merupakan tanda positif bahwa konektivitas antara permintaan dan deforestasi tidak lagi sekuat dulu.
Dari sisi kami, standar RSPO memberikan impact yang besar bagi para anggota. Sejak 2018, tidak ada lagi member kami melakukan deforestasi. Kebijakan nasional seperti moratorium sawit juga memiliki efek yang kuat bagi para member.
Terkait market, orang masih berpikir Eropa adalah target market terbesar. Bagaimana seharusnya Indoensia menanggapi ini?
Terkadang, produsen dan pihak-pihak dalam industri sawit terjebak pada narasi bahwa sustainability dilakukan agar bisa masuk pasar internasional. Padahal nilai sesungguhnya dari penerapan sustainability ini untuk penduduk di negeri itu sendiri.
Ketika produsen sawit Indonesia menerapkan praktik berkelanjutan, itu sedang menjaga lingkungan Indonesia. Jika melindungi hak-hak buruh dalam industri sawit, itu sedang menjaga pekerja Indonesia. Jika menjadikan produksi sawit lebih menguntungkan, penghasilan itu pun untuk produsen di Indonesia.
Pola pikir itu menjadi penting untuk dipahami konsumen minyak sawit Indonesia, sehingga mereka juga bisa melobi produsen sawit untuk menerapkan praktik berkebun secara berkelanjutan.