Menurut Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Anggota Dewan Penasihat TKN Prabowo-Gibran, politik adalah the art of possibilities. Politik adalah seni untuk mengambil pilihan-pilihan yang memungkinkan sehingga segala sesuatu bisa saja terjadi.
Sampai saat ini, Fadli Zon menilai tidak ada yang ideal dalam politik tetapi dia menyebut pasangan calon (paslon) nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendekati ideal. Berdasarkan beberapa survei terakhir, elektabilitas Prabowo-Gibran paling tinggi dibandingkan dengan dua paslon lainnya.
Dalam podcast Gultik - Pergulatan Politik- yang ditayangkan di YouTube Katadata, Fadli Zon optimistis elektabilitas Prabowo-Gibran akan semakin kuat, bahkan bisa di atas 50%. Oleh karena itu, kubu Prabowo-Gibran berharap Pilpres 2024 berjalan satu putaran.
"Kita berjuang juga untuk Pak Prabowo di 2014 dan 2019. Luar biasa perjuangan kita, memang belum takdirnya. Insya Allah, 2024 ini takdirnya Pak Prabowo," ujar Fadli Zon kepada Wahyu Muryadi atau Om Why, host podcast Gultik.
Ia juga bicara tentang peran Presiden Joko Widodo yang sangat penting dalam mengerek elektabilitas Prabowo-Gibran. Berikut cuplikan wawancara tersebut.
Pemilu tinggal sebentar lagi. Ada good news untuk Prabowo-Gibran? Beberapa survei CSIS, Indikator Politik, dan lain-lain itu mengunggulkan pasangan Prabowo-Gibran. Rata-rata di atas 40% (elektabilitasnya). Apakah ini kabar yang cukup menggembirakan sehingga tinggal kipas-kipas saja?
Good news lah. Justru harus kerja keras.
Oh, masih kerja keras? Untuk satu putaran?
Kalau bisa satu putaran lah. Pasti semua juga ingin menang, namanya juga kompetisi. (Paslon) satu, dua, dan tiga semuanya pasti pengen menang. Tapi, menurut saya dari indikator-indikator yang ada itu Prabowo-Gibran itu kan trennya selalu naik.
Saya kira sudah mulai diakui oleh masyarakat. Saat ini kita bicara mendapat dukungan yang cukup masif di berbagai tempat. Ada yang mungkin belum, seperti di Jawa Tengah. Mungkin juga di beberapa daerah lain.
Menurut saya trennya menarik. Indonesia semakin demokratis dibandingkan dengan 2019 yang cuma dua pasang. Sekarang ada tiga pasangan. Ini berarti ada kemajuan. Kami dari dulu sebenarnya ingin Pemilu itu presidential threshold-nya kalau bisa diturunkan.
Diturunkan atau dinolkan?
Kalau perlu ditiadakan. Artinya, setiap partai yang ada di parlemen kalau bisa mencalonkan, boleh mencalonkan. Kalau ada tiga paslon, ini berarti ada satu kemajuan, ada pilihan yang lebih luas.
Saya lihat Pak Prabowo ini basisnya kuat, artinya sebelum ada wakilnya, siapapun sudah cukup tinggi. Tampil dengan Mas Gibran lebih bagus lagi. Sejauh ini, respons di daerah-daerah cukup bagus. Kenaikannya cukup bagus, mudah-mudahan bisa satu putaran, Om Why.
Nah, tengok ini Mas Fadli. Ada hasil survei dari CSIS dan Indikator Politik tentang elektabilitas pasangan capres dan cawapres setelah debat pertama Pilpres 2024 pada Desember. Hasilnya: Prabowo-Gibran elektabilitasnya 43,7% dan 46,7%. Anda percaya dengan hasil ini?
Ya, ini kan indikator. Ini kan pollster surveyor yang selama ini dianggap mewakili, terutama Indikator Politik, CSIS, dan beberapa yang lain. Saya kira tidak terlalu banyak juga bantahan, ya. Indikator ini menurut saya penting. Saya percaya karena pasti metodologinya bisa dipertanggungjawabkan.
Nah, kalau yang lain mungkin juga menganggap ini tidak bisa dipercaya. Itu biasa lah. Kadang-kadang opini tergantung posisi, dulu kami juga begitu. Walaupun kadang-kadang bisa berubah.
Tapi dari banyak pollster, termasuk yang dibuat oleh mereka yang berada di kompetitor maupun independen, rata-rata kan hampir sama. Tidak ada yang beda ekstrem. Nah, itu artinya kecenderungan untuk satu putaran itu menguat.
Mungkin setelah debat ketiga, Pak Prabowo akan semakin kuat apalagi nanti pada waktu kampanye yang masif. Sekarang ini kan waktu kampanye dibatasi cuma 75 hari. Kenaikannya sih cukup signifikan itu. Jadi, mudah-mudahan nanti naik dari 46,7%, saya masih optimis bisa di atas 50%.
Jadi optimis satu putaran kan? Jadi bisa hemat semuanya?
Hematlah. Kemudian juga tidak ada lagi benturan-benturan yang seperti Pemilu yang lalu yang akhirnya merugikan situasi ekonomi kita.
Ada yang membedakan dari hasil CSIS dan Indikator Politik. Kalau CSIS itu yang keduanya ada runner up pasangan Anies-Muhaimin. Ganjar Mahfud yang ketiga. Sebaliknya, kalau dari survei Indikator Politik Indonesia, justru yang posisi kedua itu diduduki oleh Ganjar-Mahfud. Anies-Muhaimin yang ketiga.
Itu kan artinya pertarungan antara pasangan calon (paslon) nomor 1 dan nomor 3. Kalau menurut Anda, mana yang lebih kuat sebenarnya antara pasangan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin?
Kalau saya lihat, pasti masing-masing paslon mempunyai basis yang agak berbeda ya. Pemilih yang agak berbeda. Pak Prabowo berada di tengah. Ini kiri, kanan, dan tengah. Yang beririsan semuanya kebetulan di tengah.
Atau kebetulan karena ada di istilahnya Qodari itu kolam suaranya Pak Jokowi yang diperebutkan?
Betul. Pak Jokowi ke Prabowo-Gibran. Artinya, ada faktor yang penting juga. Kalau melihat pemilihnya atau relawannya Pak Jokowi yang bergabung dengan Pak Prabowo, itu jelas menambah suara yang signifikan. Dari data survei kan memperlihatkan seperti itu. Artinya, kita tahu bahwa baseline dari salah satu pihak itu tergerus.
Apa yang membuat faktor elektabilitas Prabowo-Gibran begitu tinggi, Anda bilang bahkan bisa tembus 50%?
Kalau menurut saya ada migrasi dari pendukung Pak Jokowi. Jadi, faktor Pak Jokowi sebagai incumbent yang sebagai current presiden apalagi sudah dua periode, itu juga sangat menentukan. Kemudian, kedekatan dari kiri-kanan ini kepada yang tengah.
Itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Jadi, pilihan-pilihan alternatif mereka kalau misalnya mereka memutuskan untuk tidak memilih yang kiri atau yang kanan mereka pasti akan ke tengah.
Pasti juga ada kecenderungan masyarakat kita itu bandwagon effect, ingin berada dengan yang menang. Ada juga yang underdog tetapi itu biasanya pemilih yang rasional, yang elite.
Kalau kita lihat secara keseluruhan, tiga-tiganya ini sebenarnya tidak ada yang terlalu berbeda dalam konteks ideologi dan lain-lain. Pasangan Prabowo-Gibran didukung oleh tiga koalisi pemerintah. Pasangan Anies didukung oleh dua partai koalisi pemerintah. Pasangan Ganjar juga didukung oleh dua partai. Jadi, tidak ada yang signifikan sebenarnya, ini Pilpres kekeluargaan.
Yang oposisi kan cuma Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat. Tapi, suara oposisinya lebih kecil di parlemen. Jadi, ini didukung dalam koalisi pemerintah. Baik 01 maupun 03 tidak ada yang keluar dari koalisi pemerintah, partainya tidak keluar, orangnya pun tidak keluar. Masih di kabinet.
Pilpres kekeluargaan ini artinya positif atau negatif, kalimat Anda ini bersayap atau memang realita?
Ini kan realitas. Terserah orang menilainya positif atau negatif, partainya saja masih di dalam koalisi pemerintah. Menteri-menterinya masih di situ, masih aktif.
Kalau mundur, mungkin rugi. Semakin rontok?
Makanya, ini masih Pilpres kekeluargaan. Tidak ada yang oposisi yang mau perubahan. Perubahan apa? Mereka semuanya masih di dalam koalisi, kok. Apanya yang mau berubah? Kalau mereka mau mengambil satu sikap, keluar dari koalisi pemerintahan. Nah, itu baru kita yakin akan ada perubahan.
Pasangan Anies-Muhaimin juga begitu?
Iya. Nasdem masih dalam koalisi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masih dalam koalisi. Menteri-menterinya semua masih ada di dalam, masih anak buahnya Pak Jokowi. Maksudnya mau isu perubahan apa? Saya yakin semua siapa pun pasti ada yang namanya keberlanjutan dan perubahan.
Change and continuity itu adalah suatu keniscayaan. Tapi, maksud saya itu masyarakat juga menilai. Jadi, sekali lagi ini konteksnya adalah Pilpres kekeluargaan.
Jangan-jangan Anda juga begitu maunya?
Nggak, kalau kita kan maunya ada kontestasi. Targetnya kalau bisa, ya satu putaran. Dulu kan kami berusaha di 2009, ada tiga kontestan. Ketiga kontestan itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Jusuf Kalla (JK)-Wiranto. Waktu itu kalau kita lihat kan satu putaran juga. SBY-Boediono itu 50-an persen, Mega-Prabowo 30-an persen, dan JK-Wiranto yang diharapkan besar ternyata masih belasan persen.
Kalau ada yang "oposisi" dalam tanda kutip itu, angkanya pun kecil. Nah, kalau begitu buat apa orang ribut-ribut seperti sekarang ini?
Makanya, nggak ada yang perlu diributkan. Di medsos (media sosial) orang sampai berantem.
Kalau misalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ambil sikap tegas, keluar dari pemerintahan bagaimana?
Kalau kita berandai-andai, mungkin akan jelas pembedanya. Kalau keluar dari kabinet berarti kan sudah mengambil satu jarak dan mengambil sikap, tapi kan tidak ada. Kalau mengambil itu, mungkin orang bisa menilai. Wah, ini memang mau melakukan perubahan, tapi ternyata tidak ada. Semuanya ini business as usual. Kesimpulannya, ini kekeluargaan dalam Kabinet Indonesia Maju.
Boleh ditafsirkan bahwa ini Pak Jokowi memang masih sangat kuat ya?
Ya, Pak Jokowi menurut saya memainkan perannya. Bagaimanapun kan beliau ini menjadi presiden dua periode dan tahu apa yang harus dia lakukan. Kira-kira begitu.
Sekarang mulai kagak enak ngomong Pak Jokowi. Dulu kan Anda kritikus hebat, seperti Fahri (Hamzah) juga?
Ha ha ha ha ha. Iya. Kalau dua periode menjabat itu, kalau sekolah itu ibaratnya dua PhD kali ya. Sedikit banyak, saya kan tahu Pak Jokowi 2009 dulu. Saya waktu itu Sekretaris Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo. Jadi kalau kampanye datang ke Solo, Pak Jokowi itu yang menyambut sebagai wali kota.
Kemudian saya juga berinteraksi sebagai semacam juru bicaranya waktu Pilkada DKI. Pak Jokowi juga rapat di perpustakaan saya waktu itu, di Jalan Danau, Bendungan Hilir. Jadi, saya kenal sudah lama dengan beliau itu.
Jadi, memang sudah garis tangan?
Memang takdirnya Indonesia itu harus begitu. Kita berjuang juga untuk Pak Prabowo di 2014 dan 2019. Luar biasa perjuangan kita, memang belum takdirnya. Insya Allah, 2024 ini takdirnya Pak Prabowo.
Ini bukan bisa diartikan bahwa Anda sekarang menjadi Jokower begitu juga ya?
Loh, ini kan sebuah perjalanan. Politik itu kadang-kadang perjuangan itu nggak bisa instan. Pasti ada jatuh bangunnya. Ada kalahnya, ada menangnya. Kalah lagi, biasa. Wah, dalam riwayat semua tokoh-tokoh besar itu pasti ada kalah, ada menangnya. Nggak ada lah yang menang-menang terus-menerus gitu ya.
Termasuk perubahan orientasi politik, sikap politik, segala macam bisa aja ya?
Iya karena the art of the possibility. Jadi, artinya seni untuk melihat sesuatu ya realitas kadang-kadang tidak hitam putih ya. Pilihan-pilihan kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan harapan kita, keinginan kita. Tapi mungkin bisa lebih baik, mungkin kurang baik, tapi itulah adanya.
Saya mengenal Pak Prabowo lebih dari 30 tahun, beliau itu jatuh bangun memang untuk republik. Dia sudah selesai dengan dirinya dan memang tahu apa yang akan dilakukan. Jadi dengan kapasitasnya pergaulan internasionalnya, pergaulan di dalam negerinya, dia tahu apa yang harus dilakukan. Supaya Indonesia ini melesat.
Menurut Anda, suara-suara kritik dari kalangan NGO, budayawan, komika, termasuk sebagian para jurnalis, dengan munculnya pasangan Pak Prabowo-Gibran, khususnya kandidat Gibran waktu itu dalam kaitan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), itu nggak ada pengaruh?
Saya kira ada lah pengaruhnya, tapi kecil sekali. Artinya, masyarakat sudah memahami apa yang menjadi prioritas. Kisah-kisah apa segala macam yang dikorek-korek dari masa lalu, udah 25 tahun lalu, orang-orang belum lahir, segala macam itu kan sudah lewat.
Penangkapan, penculikan, segala macam yang dituduhkan, yang tidak pernah ada buktinya. Apalagi digali-gali oleh lawan-lawan politik yang sebenarnya semuanya juga pernah bekerja sama. Kan lucu jadinya. Misalnya, Ganjar kan pernah menjadi tim sukses dari Mega-Prabowo.
Bagaimana dengan tuduhan curang, pemihakan dari aparat penegak hukum, dan segala macam?
Iya, kita kan pengennya netral dari dulu juga. Kita sembilan tahun teriak netral, sekarang kita dituduh.
Kalau Anda disuruh memilih, kalau satu putaran, alhamdulillah. Kalau kemudian harus dua putaran, ini rival yang sebaiknya Anda pilih antara Anies atau Ganjar, pilih mana, Mas?
Dua-duanya punya kaliber. Kalau menurut saya sih, biar rakyat yang menentukan. Dua-duanya nggak bisa kita yang memilih, mendingan lawan ini, mendingan lawan itu. Pak Prabowo ini selalu menghargai lawan-lawan politiknya, ini orang-orang yang sudah terseleksi. Mas Ganjar maupun Mas Anies, Pak Prabowo selalu positif, nggak pernah merendahkan.
Iya, tapi ada preferensi dong?
Nggak ada. Saya kira dua-duanya.
Ada yang bilang sebaiknya lawan Anies saja lebih gampang, benar tidak ya?
Tidak, lah. Dua-duanya berat, dua-duanya penting kalau (Pemilu) dua putaran. Tapi, komposisi irisan itu ada di tengah. Kami sangat optimis juga karena di tengah ini dari kiri ada irisan ke tengah, dari kanan juga ada irisan ke tengah.
Pak Prabowo ini figur yang bisa diterima kiri-kanan, begitu. Agak berbeda misalnya positioning dari yang lain. Itu kalau dua putaran tetapi dengan indikator-indikator tadi itu saya masih sangat yakin. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan, bisa satu putaran, Om Why.
Ini kan baru 43-45% nih (elektabilitas Prabowo-Gibran). Masih perlu 5% atau 7% lagi. Bagaimana caranya?
Caranya, ya harus turun ke bawah. Ini kan Koalisi Indonesia Maju. Caleg-calegnya, partai-partainya cukup banyak. Cukup besar. Pasti ini sebentar lagi ibaratnya maraton ini. Di lap terakhir sudah mulai agak sprint. Capres-cawapres pasti akan sprint, mendekati garis finish itu akan lebih kencang lagi dengan segala sumber dayanya.
Timnas Anies maupun TPN Ganjar pasti tidak akan tinggal diam ini. Apalagi tahu hasil polling polster seperti itu sepertinya meresahkan mereka. Anda yakin nggak dengan kerja keras mereka dengan inovasi, motion kreativitas yang akan mereka buat sehingga memperberat suara Pak Prabowo bisa naik lagi sehingga bisa satu putaran?
Menurut saya, pasti semua akan kerja keras. Kami pun harus kerja keras. Pak Prabowo-Gibran harus kerja keras. Itu seluruh elemen yang ada, tim kampanye, nasional, daerah, kemudian partai-partai yang berada di dalam koalisi. Caleg-caleg dari partai-partai itu yang saya kira relawan-relawan yang beragam jumlahnya.
Nah, ini yang akan menjadi mesin penggerak. Terutama, nanti terakhir, ya pasti di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ujung pertarungan itu ada di sana. Bagaimana di TPS itu kita bisa menjaga suara, membuat orang itu datang ke TPS. Jangan sampai hanya memilih-milih tetapi pada waktunya tidak datang, tidak hadir.
Kalau kapten timnasnya Anies sudah bilang harus diselesaikan di TPS. Jadi, tidak usah lagi dinaikkan ke atas sampai ke MK. Artinya, dia menangkap ada potensi kemungkinan ada kecurangan atau bagaimana itu?
Saya tidak tahu juga tapi kami yang selama ini mengalami, kami ingin juga apa adanya. Kita ingin suara itu betul-betul mencerminkan suara rakyat. Kita ingin suara itu benar-benar yang tercermin di dalam TPS-TPS itu. Dan selama ini itulah yang kami perjuangkan.
Untuk bisa satu putaran, ini mau tidak mau dukungan dari presiden penting kan?
Iya. Kalau sekarang ini masing-masing institusi sudah mengatakan netralitasnya. Saya kira itu bagus. Mudah-mudahan kualitas Pemilu kita lebih bagus. Kita mengalami beberapa kali Pemilu. Pernah menjadi victim juga.
Nah, untuk memenangkan dengan segala cara agar menang satu putaran itu mungkin enggak ya?
Enggak lah, saya kira semua melihat institusi-institusi itu kelihatannya sudah menyampaikan sikap tegasnya. Bahkan, ada misalnya yang terindikasi tidak netral tapi ini tidak berlaku.
Ini kan seolah-olah 02 saja. Tidak, ini kan semuanya kan bagian dari kekuasaan. Paslon 01 ya Koalisi Indonesia Maju, paslon 03 juga Koalisi Indonesia Maju. Semuanya keluarga besar, tidak ada yang oposisi. Jadi, tidak bisa dituduh bahwa ini penguasa akan curang.