Ikhtiar BRGM Melakukan Restorasi Gambut, Dihadang Kebakaran Berulang

Katadata/Bintan Insani
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmadja
Penulis: Dini Pramita
21/2/2024, 08.51 WIB

Sejak dibentuk pada 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, Badan Restorasi Gambut mendapatkan mandat untuk merestorasi gambut kritis di tujuh provinsi prioritas, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. Kejadian kebakarahan hutan dan lahan (karhutla) besar-besaran pada 2015 yang menghanguskan 2.611.411 hektare, yang 34% di antaranya merupakan lahan gambut.

Strategi yang dikedepankan untuk melakukan restorasi ini dikenal dengan istilah 3R yaitu rewetting, revegetation, dan revitalization. Rewetting merupakan tindakan pembasahan kembali, revegetasi merupakan tindakan untuk menanami kembali lahan melalui persemaian, penanaman dan regerenasi alami, sedangkan revitalisasi bertujuan untuk meningkatkan ksejahteraan dan perekonomian masyarakat melalui pengelolaan lahan berkelanjutan.

Mandat BRG dalam Perpres 1/2016 selama jangka waktu lima tahun diperpanjang melalui Perpres Nomor 120 tahun 2020 dengan ditambah satu tugas lagi untuk merestorasi mangrove. Melalui Perpres 120/2020 ini BRG kemudian menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang akan bertugas selama lima tahun hingga 2024.

Menjelang berakhirnya masa tugas BRGM, Indonesia mengalami karhutla hebat dan di antaranya disumbang dari lahan gambut. Menurut berbagai catatan organisasi sipil dan hasil liputan di lapangan oleh Katadata, kebakaran berulang di lahan gambut masih ditemukan.

Lalu, bagaimana sesungguhnya kinerja BRGM selama ini? Simak wawancara Katadata bersama dengan Kepala BRGM Hartono Prawiraatmadja berikut ini:

Selama bertugas sejak 2016, apa saja pencapaian BRGM?
Saat dibentuk, Badan Restorasi Gambut (BRG) memiliki target untuk memfasilitasi restorasi gambut seluas dua juta hektare selama lima tahun. Selanjutnya, BRG membuat Peta Indikatif Restorasi Gambut dengan mengklasifikasikan gambut pascaterbakar dan gambut lindung berkanal. Adapun luas totalnya 2,6 juta hektare yang terbagi lagi menurut status lahannya. Luasan yang berada di dalam kawasan berizin adalah 1,7 juta hektare dan di luar kawasan berizin atau disebut kawasan nonberizin 892 ribu hektare.

Capaian restorasi gambut pada periode BRG (2016-2020) antara lain telah mengintervensi gambut di kawasan non berizin seluas 834 ribu hektare. Sedangkan untuk kawasan berizin, BRG telah melakukan beberapa upaya seperti supervisi pelaksanaan konstruksi, operasi, dan pemeliharaan infrastruktur restorasi gambut.

Presiden Joko Widodo melakukan perpanjangan tugas melalui Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 yang menjadi pijakan bagi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) untuk melakukan fasilitasi percepatan restorasi gambut dan mangrove yang disertai dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Target yang diemban adalah restorasi gambut seluas 1,2 juta hektare dan rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare dengan jangka waktu empat tahun. Target-target tersebut ditetapkan pada 2021 ke dalam Peta Indikatif Restorasi Gambut seluas 1,6 juta hektare yang berada di areal nonkonsesi.

Sampai 2022, area yang telah diintervensi seluas 514 ribu hektare. Capaian luas ini masih terus dikonsolidasikan.

Apakah target-target BRGM akan tercapai di akhir masa tugas, mengingat ada beberapa kali pemangkasan anggaran BRGM?
Sesuai mandat Perpres, target restorasi 2021-2022 adalah seluas 660 ribu hektare. Kami menganalisis area intervensi kegiatan rewetting seluas 514 ribu hektare, sehingga belum mencapai target. Kekurangan itu disebabkan antara lain adanya penghematan anggaran dan analisis dampak sosial-ekonomi yang belum berjalan.

Pada 2023, target restorasi yang dimandatkan dalam Perpres adalah seluas 300 ribu hektare. Kami memenuhi target ini dengan melakukan pembangunan 369 unit sekat kanal, 195 hektare revegetasi, dan 151 kegiatan revitalisasi ekonomi masyarakat. Berdasarkan analisis dari kegiatan rewetting, luas area yang telah diintervensi adalah 228.258 hektare.

Dalam beberapa tahun terdapat kekurangan dalam memenuhi target. Bagaimana upaya BRGM untuk mengakselerasi kegiatan restorasi dengan jendela waktu terbatas hingga 2024?
BRGM berupaya melibatkan berbagai pihak mulai dari organisasi sipil, lembaga donor, perusahaan pemegang perizinan berusaha, dan berbagai instansi terkait lainnya, dalam pembangunan infrastruktur restorasi gambut seperti sekat kanal, kanal timbun, sumur bor dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan aspek sosial-ekonomi masyarakat.

Apa yang menjadi tantangan terbesar BRGM dalam melakukan kegiatan restorasi?
Salah satu mandat yang diberikan kepada BRGM adalah pencegahan kebakaran hutan dan lahan secara permanen. Kebakaran di lahan gambut yang masih terjadi membutuhkan peran berbagai pihak untuk bersama-sama aktif melakukan perlindungan dan pengaturan tata air di lahan gambut. Dengan begitu, kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, dapat dicegah.

Pencegahan kebakaran ini sangat penting mengingat kebakaran di lahan gambut menyumbang emisi yang cukup besar dan menjadi tantangan terkait dengan target pengurangan emisi Indonesia.

Tantangan lainnya terkait erat dengan laju subsidensi. Dalam proses pembentukan gambut, dekomposisi akan terus terjadi secara alami yang mengakibatkan subsidensi atau penurunan permukaan tanah gambut. Ini tentu saja akan berdampak kepada keberadaan ekosistem gambut setempat. Oleh karena itu, laju subsidensi menjadi tantangan tersendiri dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem lahan gambut.

Selain itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mendiami ekosistem gambut menjadi tantangan tersendiri di samping restorasi gambut secara fisik. Pemanfaatan di lahan gambut secara bijak dan lestari merupakan tantangan dalam merestorasi gambut jangka panjang.

Bagaimana BRGM mengukur keberhasilan program restorasi yang dijalankan melalui 3R dan apakah sudah tercapai?
Untuk indikator rewetting, salah satu indikator penilaian keberhasilan pemulihan fungsi ekosistem gambut adalah muka air tanah di lahan gambut kurang dari 0,4 meter di bawah permukaan gambut. Sampai 2023, BRGM sudah memasang alat pemantau tinggi muka air tanah sebanyak 168 unit di tujuh provinsi prioritas.

Sedangkan indikator keberhasilan revegetasi gambut adalah perbaikan tutupan lahan dengan kriteria jumlah tanaman yang tumbuh sehat paling sedikit 500 batang per hektare pada tahun ketiga. Untuk indikator revitalisasi, BRGM mengukur keberhasilannya melalui indeks Desa Peduli Gambut (DPG) yang merupakan modifikasi dari Indeks Desa Membangun dengan variabel ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya.

Ada perubahan tren di mana Papua terutama Papua Selatan menjadi penyumbang utama karhutla di samping Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Ketiga wilayah ini merupakan wilayah intervensi BRGM. Menurut analisis BRGM, apa yang menyebabkan tren ini?
Dinamika kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor iklim seperti El-Nino. Luas kebakaran yang terjadi Kebakaran yang terjadi di lahan gambut pada saat El-Nino tahun 2015, 2019, dan 2023 menunjukkan tren yang menurun. Penurunan luas areal terbakar di lahan gambut pada tahun 2023 sebesar 70% dibandingkan tahun 2019 dan sebesar 83,5% dibandingkan tahun 2015.

Papua merupakan provinsi yang mengalami tren kenaikan kebakaran gambut di tahun 2023, yang sebelumnya mengalami penurunan di tahun 2019. Identifikasi kami kejadian kebakaran yang terjadi Provinsi Papua karena adanya aktivitas perburuan tradisional.

Kalimantan Tengah merupakan provinsi terluas yang mengalami kebakaran di lahan gambut dibandingkan 6 Provinsi prioritas restorasi gambut, tetapi mengalami tren penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2015, 2019 sampai dengan 2023. Kebakaran yang terjadi di Kalimantan Tengah, hasil identifikasi kami berasal dari aktivitas pembersihan lahan, konflik lahan dan kelalaian masyarakat.

Sumatera Selatan merupakan provinsi terluas kedua yang mengalami kebakaran di lahan gambut, dan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2015, 2019 sampai dengan 2023. Identifikasi awal kejadian kebakaran di Sumatera Selatan diantaranya karena adanya aktivitas sonor (sistem penanaman padi di lahan gambut) yang biasanya dimulai membuka lahan dengan cara membakar, serta adanya areal konsesi yang sudah tidak diusahakan.

Meskipun kebakaran terjadi setiap tahun, terdapat tren penurunan yang signifikan, salah satunya menunjukkan keberhasilan upaya restorasi gambut.

Tren lainnya pada 2023 adalah adanya sejumlah wilayah baru terbakar sehingga terdapat kekhawatiran adanya perluasan lahan gambut kritis baru pada 2023. Bagaimana analisis BRGM?
Dalam menentukan target restorasi gambut, BRGM melakukan analisis indikatif prioritas restorasi gambut dengan menggunakan beberapa data dan informasi, salah satunya kebakaran hutan dan lahan gambut menggunakan sumber data dari KLHK. Kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut setiap tahunnya terjadi diarea yang berulang ataupun areal yang baru. Updating data dan informasi kebakaran hutan dan lahan gambut tersebut akan dijadikan dasar untuk pemutakhiran indikatif prioritas restorasi gambut.

Di lapangan, kami menemukan kebakaran berulang yang cukup tinggi di wilayah-wilayah intervensi BRGM. Mengapa hal tersebut masih terjadi? Apakah ada indikasi karena adanya perluasan konsesi perusahaan?
Berdasarkan analisis, kebakaran berulang di wilayah intervensi BRGM didapatkan data total luas lahan terbakar berulang 3x atau lebih seluas 38.263,45 hektare. Ini disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya pengelolaan lahan dengan budaya membakar, konflik lahan terkait klaim kepemilikan lahan, dan kawasan terlantar yang tidak dimanfaatkan.

Solusi permasalahan untuk menanggulangi budaya membakar salah satunya adalah dengan mendorong Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) melalui kegiatan pelatihan, pemberian bantuan berupa demplot. Adapun solusi permasalahan konflik lahan di lapangan, membutuhkan peran para pihak terkait dengan kepastian status dan fungsi lahan.

Kebakaran terjadi karena adanya bahan bakar, oksigen, dan sumber api. Dalam hal ini, gambut bisa menjadi bahan bakar, sehingga harus dijaga kebasahannya agar meminimalisir potensi terjadinya kebakaran. Beberapa hal yang menyebabkan kerawanan kebakaran di lahan gambut selain dipengaruhi oleh fenomena iklim (el nino), juga dipengaruhi oleh kondisi hidrologis gambut (kelembaban tanah, tinggi muka air).

Kondisi hidrologis gambut harus memerhatikan neraca air berbasis lanskap, untuk dapat diketahui wilayah yang surplus ataupun defisit cadangan air pada rentang waktu tertentu. Sehingga upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan perlu dilakukan melalui pengelolaan tata air para pihak berbasis lanskap.

Prof. Lailan Guru Besar IPB University dalam Pra-Orasi Ilmiah mengungkapkan karhutla gambut 100% disebabkan oleh manusia. Mitigasi untuk faktor alam, lebih ditekankan pada pengurangan risiko Karhutla. Tetapi yang paling penting adalah mencegah Karhutla oleh manusia. Edukasi dan sosialisasi yang bertujuan meningkatkan penyadartahuan masyarakat tentang bahaya api di lahan gambut harus terus dilakukan. Salah satu keluaran dari edukasi adalah pemahaman dan penerapan Pengolahan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).

Karhutla juga ditemukan di wilayah moratorium izin baru yang tertuang dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang merupakan wilayah gambut lindung utuh. Bagaimana analisis BRGM mengenai hal ini?
Kejadian kebakaran di wilayah PIPPIB baik yang berupa lahan gambut lindung berkanal atau pun gambut tidak berkanal (intact/utuh) akan menjadi pertimbangan dalam penentuan prioritas restorasi gambut ke depannya.

Bagaimana upaya BRGM untuk mengkonsolidasikan semua pihak yang berkepentingan dalam satu lanskap ekosistem gambut untuk ikut menjaga dan merestorasi gambut?
Dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut berbasis lanskap (KHG) di perlukan peran serta para pihak terkait. Pelibatan para pihak tersebut bagian dari upaya konsolidasi untuk dicapainya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut secara sistematis dan terpadu. Pada tahun 2021 BRGM menetapkan 7 KHG sebagai model pengelolaan KHG yang sistematis dan terpadu di 6 provinsi target restorasi gambut. Dalam kerangka pilot model tersebut, telah dilakukan rangkaian kegiatan mulai dari pemetaan stakeholder, analisis lanskap KHG, sosialisasi dan FGD untuk membangun komitmen bersama hingga penyusunan rencana aksi.

Bagaimana upaya BRGM memulihkan ekosistem gambut yang berada di wilayah kerja kementerian lain atau pemerintah daerah?
Bedasarkan mandat Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2016 penanggungjawab kegiatan restorasi gambut adalah pemerintah, pemerintah daerah dan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dan masyarakat. BRGM memiliki tugas koordinasi dan fasilitasi terhadap penanggungjawab kegiatan.