Ada Potensi Investasi Triliunan Dolar untuk Perusahaan Berbasis ESG

Katadata/Bintan Insani
Jeffrey Hendrik, Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI)
Penulis: Hari Widowati
11/6/2024, 10.27 WIB

Adopsi dan penerapan prinsip-prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) bagi korporasi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir terus meningkat. Riset PwC menunjukkan pandemi Covid-19 mengakselerasi tren ini. Sekitar 79% investor di Asia Pasifik meningkatkan investasi yang berbasis ESG pada kuartal ketiga 2020.

Selain pandemi, ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan tren ESG di Indonesia. Perkembangan teknologi dan pertumbuhan yang inklusif di ekonomi digital Indonesia, misalnya. Perusahaan-perusahaan teknologi finansial alias fintech mendukung akses masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan (unbanked) serta mempromosikan kesetaraan gender.

Target pemerintah untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 dan partisipasi aktif Indonesia di berbagai forum internasional, seperti G20 dan COP26 turut mendukung pelaksanaan ESG.

Untuk melihat lebih jauh mengenai perkembangan ESG, khususnya pada perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), Katadata Green mewawancarai Jeffrey Hendrik, Direktur Pengembangan BEI. Berikut ini petikannya.

Tren investasi berkelanjutan di Indonesia terus tumbuh. Semakin banyak investor yang peduli dengan perusahaan-perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip ESG. Bisa dijelaskan bagaimana perkembangan investasi ESG di bursa efek Indonesia?

Kita melihat tren investasi terkait ESG di Indonesia dari dua sisi, yakni sisi demand (permintaan) maupun dari sisi supply-nya (pasokan). Dari sisi demand, investor domestik maupun investor asing sudah semakin peduli kepada penerapan ESG. Mereka tidak lagi hanya melihat return tetapi melihat apakah instrumen investasi yang mereka beli itu menerapkan ESG dengan baik atau tidak.

Nah, permintaan itu tentu menumbuhkan sisi pasokannya. Kalau kita melihat exchange traded fund (ETF) atau reksa dana yang terkait dengan indeks ESG dari tahun 2016 itu, dana kelolaannya (asset under management/AUM) itu hanya kira-kira Rp 42 miliar.

Pada akhir 2023, (dana kelolaan reksa dana ESG) itu sudah lebih dari Rp 1,7 triliun dari 20 produk. Dari satu produk menjadi 20 produk dari Rp 40-an miliar menjadi lebih dari Rp 1,7 triliun. Itulah pertumbuhan investasi ESG yang ada di pasar modal kita.

Jeffrey Hendrik (KATADATA/FAUZA SYAHPUTRA)

Pertama kali indeks ESG di BEI kan ada Indeks Sri-kehati kemudian sekarang sudah ada Indeks ESG Leaders yang diluncurkan pada 2020. Sejauh ini sudah berapa saham yang masuk ke dalam Indeks ESG Leaders ini? Apakah bursa melakukan evaluasi secara konsisten terhadap indeks2 ini?

Kalau kita bicara tentang indeks yang terkait dengan ESG ini paling tidak ada lima. Yang bekerja sama dengan Yayasan Kehati ada tiga, yaitu Indeks Sri-kehati kemudian Indeks ESG Sector Leaders IDX Kehati, dan Indeks ESG Quality 45 IDX Kehati.

Sedangkan indeks yang disusun oleh Bursa Efek Indonesia adalah IDX ESG Leaders dan yang terbaru adalah LQ45 Low Carbon Index. Masing-masing indeks tentu ada konsituennya masing-masing dan dilakukan evaluasi secara berkala.

Untuk evaluasi mayor dilakukan setiap bulan Januari dan Juli. Untuk evaluasi minor di bulan April dan Oktober. Itu selalu dilakukan untuk memastikan konstituen di masing-masing indeks itu sesuai dan fit untuk masing-masing indeks tersebut.



Tadi Bapak sebutkan kalau pertumbuhan untuk reksa dana ESG sangat signifikan, dari sekitar Rp 40 miliar menjadi Rp 1,7 triliun. Tapi, kalau dihitung porsi terhadap dana kelolaan industri reksa dana yang Rp 500 triliun memang masih kecil, ya Pak. Bagaimana peran bursa mendorong supaya produk serupa ini lebih banyak lagi?

Tentu ini menjadi kepedulian semua pihak, bukan hanya Bursa. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memberikan perhatian. Sepetti kita ketahui belum lama ini OJK menerbitkan POJK Nomor 18 Tahun 2023 yang mengatur tentang Penerbitan Efek Green Bond maupun Sukuk. Di aturan tersebut juga mengatur tentang social bonds dan responsibility bonds. Jadi, variasi dari produk-produk investasi yang berbasis kepada ESG jadi akan lebih banyak lagi ke depannya.

Artinya, seiring dengan supply yang juga bertambah nanti produknya akan semakin beragam?

Iya, selain supply dan demand yang terus tumbuh, tentunya dari sisi regulasi akan terus adaptif terhadap kebutuhan dari industri

Untuk pelaporan dari keberlanjutan dari emiten Bursa Efek Indonesia apakah sudah menjadi kewajiban atau seperti apa ketentuannya?

Kewajiban untuk menyampaikan laporan keberlanjutan (sustainability report) sudah diatur dalam POJK 51 Tahun 2017 dan dibagi menjadi empat tahap. Ini dimulai dari 2019 sampai dengan tahun 2024 ini.

Kalau pada 2019 hanya beberapa bank besar sebagai emiten yang wajib menyampaikan laporan. Pada 2024 ini semua emiten sudah wajib menyampaikan laporan. Per 2023 itu sudah sekitar 842 laporan. Artinya, sudah 90% dari total emiten yang ada di BEI. Jadi, perkembangan dari pelaporan juga menunjukkan progres yang luar biasa bagus.



BEI sebagai bagian dari bursa regional sudah menjadi bagian juga dari sustainable stock exchanges sejak tahun 2019. Ini perkembangannya sampai saat ini seperti apa?

Kalau di tingkat internasional kami juga berperan aktif dan terus terlibat aktif dalam diskusi-diskusi pengembangan masing-masing bursa. Secara spesifik, Indonesia di bursa-bursa ASEAN (ASEAN Exchanges) bersama dengan Bursa Malaysia, Bursa Thailand, dan Bursa Singapura sudah membentuk ISE atau Interconnected Sustainability Ecosystem.

Jadi, beberapa bursa di ASEAN sepakat untuk kerja sama untuk sektor ESG ini mulai dari penetapan dan pelaksanaan core metrics ESG. Bersama-sama, kami berupaya agar laporan dan data ESG ini bisa memberikan manfaat kepada perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa ASEAN. Itu yang sedang kami bangun untuk memberikan benefit kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap pelaporan dan pelaksanaan ESG ini.

Artinya, perusahaan-perusahaan yang memenuhi ESG ini bukan hanya dikenal di bursa Indonesia tapi juga ada kerja sama dengan bursa-bursa lain. Dengan Singapura dan Thailand saya dengar sudah ada MoU?

Ke depannya perusahaan-perusahaan yang menjalani ESG dengan serius dan baik akan mendapatkan sorotan dan exposure terhadap investor global yang jauh lebih besar. Kalau saat ini mungkin perusahaan-perusahaan tersebut hanya mendapatkan exposure dari investor domestik maupun sebagian investor asing.

Akan tetapi, di luar sana di level global itu ada triliunan dolar dana yang siap diinvestasikan di intrumen-instrumen ESG. Itu adalah kesempatan bagi perusahaan-perusahaan tercatat kita untuk bisa memanfaatkan itu. Itu yang kami upayakan bersama bursa-bursa ASEAN maupun di tingkat global.

Reporter: Patricia Yashinta Desy Abigail