Indonesia Africa Forum Jadi Momentum Kolaborasi Strategis dengan Global South
Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Indonesia Afrika Forum Kedua di Nusa Dua, Bali pada 1-3 September 2024. Berangkat dari sejarah panjang Indonesia dan Afrika sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, forum ini ingin mendorong solidaritas dan kerja sama strategis di berbagai bidang.
Tim Katadata berkesempatan mewawancara Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Mansury untuk mengetahui lebih jauh mengenai penyelenggaraan Indonesia Africa Forum (IAF) Kedua ini. Berikut petikan wawancara tersebut.
Indonesia Africa Forum (IAF) telah resmi dibuka. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia sudah melakukan beberapa lawatan ke negara-negara Afrika. Bagaimana cerita di balik penyelenggaraan IAF Kedua ini?
Baik, jadi ini merupakan Indonesia Africa Forum Kedua. Memang dalam forum kedua ini kita berharap bahwa akan lebih banyak lagi kerja sama-kerja sama konkret antara Indonesia dengan negara-negara Afrika.
Forum ini bukan hanya melibatkan delegasi pemerintah saja, ada beberapa kepala negara yang hadir dan ada juga yang diwakili oleh para menteri. Tetapi yang lebih dari itu, kami juga berharap bahwa forum ini memang melibatkan sektor swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lembaga-lembaga lainnya.
Untuk itu, seluruh tim yang ada di Asia Pasifik dan Afrika melakukan beberapa kunjungan dan lawatan. Tujuannya, untuk memastikan bahwa para stakeholders yang ada di Afrika bisa memahami betul dan melihat bahwa ini merupakan sebuah kesempatan yang baik bagi Indonesia dan Afrika untuk bisa meningkatkan kerja sama kita, khususnya di beberapa sektor yang memang betul-betul strategis.
Negara Afrika mana saja yang sudah dikunjungi untuk mengkampanyekan forum ini?
Saya melakukan beberapa kali kunjungan ke Afrika. Tahun lalu, Bapak Presiden Joko Widodo juga melakukan lawatan ke empat negara, termasuk Tanzania, Mozambik, Afrika Selatan, dan Kenya. Pada saat itu sebagai bagian dari kehadiran beliau di BRICS Summit.
Dari hasil kunjungan Bapak Presiden dan beberapa kunjungan kerja lainnya, ini juga mendorong dan membangun momentum bagi kita dalam penyelenggaraan Indonesia Africa Forum Kedua. Pada event ini juga diselenggarakan High Level Forum dan Multi Stakeholders Partnership Forum (HLF MSPF).
Ini merupakan dua kegiatan yang kami harapkan akan menjadi momentum bagi kita. Seperti diketahui, pada 2025 Indonesia juga akan menjadi host untuk perayaan Platinum Jubilee yang ke-70 untuk Konferensi Asia-Afrika.
Seperti kita ketahui bersama bahwa Konferensi Asia-Afrika memang merupakan momentum yang sangat penting, khususnya bagi negara-negara Asia dan Afrika, yang pada waktu itu baru mempeloreh kemerdekaannya. Konferensi Asia Afrika membangun sebuah solidaritas antara negara-negara Asia-Afrika yang saat ini mungkin dikenal dengan Global South Countries.
Ini juga kita harapkan menjadi satu momentum bagi Indonesia untuk terus mendorong adanya kerja sama strategis antara negara-negara Global South atau South-South Cooperation tersebut.
KTT Asia-Afrika mengambil tema "Burning Spirit of Africa" di 2063. Ini kaitannya seperti apa, Pak? Bisa dijelaskan?
Kalau kita lihat antara Indonesia dan Afrika memiliki sebuah kedekatan yang sudah cukup panjang sejarahnya. Tadi, kita bicara mengenai Konferensi Asia Afrika yang melahirkan Bandung Principles dan Spirit of Bandung. Pada waktu itu, kita sebagai sesama negara yang mungkin baru saja memperoleh kemerdekaannya, memiliki solidaritas yang sama.
Kita memiliki tujuan yang sama. Bagaimana kita bersama-sama mendorong negara-negara lain untuk merdeka. Lalu, untuk negara-negara yang sudah merdeka mungkin memperjuangkan kepentingan kita masing-masing.
Nah, semangat dari Bandung Spirit ini yang kita harapkan untuk bisa kita bawa bersama-sama agar Indonesia dengan negara-negara Afrika bisa membangun sebuah kerja sama untuk mencapai visi kita bersama.
Indonesia punya visi Indonesia Emas 2045. Sementara, Afrika memiliki visi atau agenda untuk bisa menjadi negara dan juga kawasan yang boleh dikatakan akan menjadi kawasan yang sebagian besar negaranya akan menjadi negara maju yang dikenal sebagai African Agenda 2063.
Nah, dengan kesamaan visi dan cita-cita untuk mengisi kemerdekaan dan mengingat kembali bagaimana melalui Bandung Spirit kita bisa membangun sebuah kerja bersama, untuk memastikan bahwa negara-negara berkembang ini memiliki hak-hak yang sama dengan negara-negara lain. Saat ini kita juga melihat kerja sama konkret, ternyata ada beberapa agenda di mana kita memiliki kesamaan dan kepentingannya juga sama.
Salah satu kerja sama ini dalam pengelolaan sumber daya alam dan energi?
Negara-negara Asia khususnya Indonesia memiliki kekayaan alam yang cukup besar. Nah, bagaimana kita bisa memastikan bahwa jangan sampai sumber daya alam ini tidak bisa memberikan manfaat yang semaksimal mungkin kepada masing-masing negara.
Ini yang kita kenal sebagai the right to development, bagaimana sebetulnya kita bisa bukan hanya menjadi pengekspor bahan mentah saja tetapi kita bisa mendapatkan teknologi, pembiayaan untuk bisa melakukan pengembangan hilirisasi bagi kita di negara-negara yang memang memiliki kekayaan alam ini. Apalagi, nantinya kita akan lihat sendiri dengan adanya perubahan iklim ini.
Tentunya, kekayaan alam yang kita miliki ini bisa bermanfaat sekali untuk membantu dunia mencapai targetnya bisa menurunkan emisi, kalau misalnya diolah menjadi bahan-bahan seperti baterai (kendaraan listrik) dan lain sebagainya.
Yang kedua, kita juga berharap bisa bekerja sama dan memastikan bahwa saat ini kita memiliki kekayaan di bidang energi tetapi nantinya kita juga diharapkan untuk bisa melakukan transisi energi. Negara-negara di Afrika ini kekayaan energi dan migasnya betul-betul luar biasa. Diperkirakan antara 10 sampai dengan 15 persen dari cadangan energi dalam bentuk migas dunia ini ada di kawasan Afrika.
Agenda kerja sama transisi energi Indonesia dan negara-negara Afrika ini seperti apa?
Pada saatnya nanti kita perlu melakukan transisi energi. Akan tetapi, bagaimana transisi energi ini juga tidak membebani kita semua. Harus ada transisi energi yang berkeadilan atau just energy transition sehingga kita bisa mengoptimalkan nilai dari kekayaan migas tadi.
Dalam hal kerja sama pembangunan, dulu kita menjadi negara yang menerima bantuan dalam bentuk kerja sama pembangunan. Sekarang, di antara negara-negara Global South ini kita harus siap menjadi negara yang mulai memberikan bantuan.
Jadi, ini adalah perubahan mindset bahwa sesama negara berkembang pun kita harus siap untuk bisa sama-sama melakukan kerja sama pembangunan. Tentunya kerja sama pembangunan yang memang bisa scalable, bisa sustain ke depannya sehingga bukan hanya menjadi bantuan yang sifatnya satu kali saja. Tetapi, betul-betul mengena dan impactful, serta sustain (berkelanjutan) untuk bisa membangun ke depannya.
Itu mungkin beberapa hal yang kita harapkan juga dari kerja sama antara Indonesia dan Afrika ini dengan agenda setting yang sama. Itu bisa menjadikan adanya kerja sama yang strategis tetapi juga konkret pada saat yang sama.
Selain sektor energi, kerja sama di bidang lain yang akan dilakukan mencakup apa saja?
Kita melihat bahwa setidaknya kerja sama strategis yang konkret di bidang ekonomi ini ke depannya akan banyak difokuskan mungkin kepada empat sektor yang strategis. Pertama adalah di sektor energi, khususnya sektor energi migas mengingat bahwa saat ini Indonesia melakukan impor sekitar 500 sampai dengan 600 ribu barel per hari dalam bentuk minyak mentah dan produk bahan bakar minyak (BBM) lainnya.
Ketahanan energi ini menjadi lebih strategis lagi kalau kita lihat bagaimana Indonesia bisa membangun hubungan dengan negara-negara di Afrika tadi kita sudah sampaikan bahwa antara 10-15 persen cadangan migas dunia itu berada di Afrika.
Kalau kita lihat dari impor minyak mentahnya saja, mungkin antara 20-25 persen yang diperoleh Indonesia pada saat ini dari negara lain itu justru berasal dari Afrika. Ini yang membuat hubungan Indonesia dengan negara-negara Afrika itu, khususnya dalam bentuk migas ini bisa dikerjasamakan jadi ini dengan kita.
Kedua, ketahanan pangan. Pada saat ini Afrika dengan kurang lebih sekitar 1,5 miliar penduduk dan nantinya mungkin akan menjadi sekitar 2,5 miliar penduduk dalam kurun waktu 20 tahun mendatang, tentunya ketahanan pangan juga menjadi salah satu kebutuhan.
Saat ini Afrika mengimpor cukup besar dari negara-negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Nilainya sekitar US$15 miliar untuk impor pangan dari negara-negara lain, tetapi bukan hanya dalam bentuk pangan jadi. Misalnya dalam kebutuhan mereka untuk bisa meningkatkan sektor agrikultur dengan pupuk urea dan produksi amonia kita juga sudah mulai ekspor.
Ini yang sudah dilakukan sebuah perusahaan di Indonesia untuk membangun fasilitas produksi pupuk di Tanzania, ini akan mengurangi impor pupuk beberapa negara Afrika sambil memanfaatkan kekayaan gas yang dimilikinya.
Ketiga, di bidang kesehatan saat ini Indonesia sudah mengekspor kurang lebih sekitar 1 miliar vaksin ke berbagai negara di Afrika. Memang yang paling dominan ini adalah vaksin polio. Tapi, kita lihat juga banyak sekali kesempatan untuk bisa melakukan pengembangan di sektor kesehatan karena mengingat saat ini lebih dari 90% dari barang-barang dan kebutuhan kesehatan yang dibutuhkan oleh Afrika memang harus diimpor dari negara-negara lainnya.
Saat ini kita sedang menjajaki agar perusahaan-perusahaan Indonesia, seperti Bio Farma, DEXA, dan lain-lain bukan hanya mengekspor tetapi juga membangun fasilitas produksi di negara-negara Afrika.
Keempat, kerja sama dalam membangun rantai pasok di sektor mineral atau mineral kritis yang nantinya memang dibutuhkan untuk berbagai sektor lainnya, khususnya sektor yang terkait dengan baterai dan kendaraan listrik.
Indonesia ingin menjadi hub bagi produksi baterai di kawasan Asia dan bahkan dunia karena kita memiliki kekayaan nikel. Tidak cukup hanya tembaga, bauksit yang diolah menjadi aluminium tetapi kita juga membutuhkan litium, grafit, dan kobalt. Ini yang kami harapkan melalui kerja sama dengan negara-negara Afrika yang memang justru mereka kaya dengan berbagai mineral kritis tersebut.
Misalnya, saat ini 70% dari mineral kritis kobalt berasal dari Republik Demokrasi Kongo (DRC). Tanzania juga memiliki kekayaan mineral, khususnya grafit yang sangat dibutuhkan untuk memproduksi baterai. Dengan adanya hal tersebut, bagaimana kita bisa membangun sebuah rantai pasok yang efektif dan efisien untuk bisa sama-sama melakukan hilirisasi atas berbagai mineral kritis tersebut. Jadi, baik Afrika maupun Indonesia akan mendapatkan keuntungan yang sama kira-kira kerja sama ini.
Bagaimana kerja sama Indonesia-Afrika ini menjadi semakin signifikan di tengah kondisi geopolitik saat ini?
Kita berharap bahwa kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara Afrika didasari mindset bahwa kita ingin win-win, membangun kerja sama yang saling menguntungkan. Saat ini negara-negara lain atau kawasan-kawasan lain juga sudah melihat kekayaan alam dan potensi pasar yang luar biasa yang ada di Afrika, mereka juga mulai masuk ke berbagai sektor yang ada di sana.
Ditambah dengan situasi global geopolitik saat ini yang memang menunjukkan adanya tensi yang meningkat, Afrika mungkin kurang nyaman kalau harus memilih salah satu kekuatan saja. Indonesia yang memiliki angle global solidarity dan kerja sama self-help, moga-moga ini juga akan membuat lebih nyaman bagi negara-negara Afrika untuk membuka pintunya dan bekerja sama dengan kita.
Apakah ada target kerja sama yang akan ditandatangani di event ini dan berapa nilainya?
Sejak konsep awal di tahun 2018, kita berusaha supaya forum semacam ini bisa mendorong kerja sama yang konkret. Pada waktu itu nilai kerjasamanya kurang lebih US$ 586 juta. Pada 2019, sempat terselenggara Africa-Indonesia Infrastructure Dialogue dengan nilai kerja sama yang ditandatangani sekitar US$ 350 juta dalam bentuk kerja sama pembangunan infrastruktur.
Kita berharap bisa melakukan finalisasi dari kerja sama di forum ini dengan nilai kurang lebih US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 55 triliun yang sudah terkumpul. Untuk yang sudah siap kita lanjutkan ke tahap berikutnya US$ 2,76 miliar (Rp 42,97 triliun) dari berbagai bisnis forum.
Penjajakan ini juga tadi saya dapat kabar ada beberapa rencana kerja sama yang sedang difinalisasi dan akan ditandatangani dalam bentuk Memorandum of Understanding (MOU) pada 3 September. Ini antara Pertamina dengan perusahaan-perusahaan di Afrika Selatan kemudian ada salah satu perusahaan swasta perminyakan Indonesia dengan perusahaan yang ada di Mozambique.