Komunikasi Risiko Dorong Cakupan Vaksinasi bagi Kelompok Rentan

Katadata
Penulis: Sahistya Dhanesworo - Tim Publikasi Katadata
31/8/2022, 17.00 WIB

Isu kesehatan masih menjadi salah satu prioritas dunia, terutama karena pandemi Covid-19 belum juga usai. Sikap waspada terhadap bahaya virus yang masih mengintai masih perlu terus disuarakan, terutama karena banyak masyarakat rentan yang belum terlindungi, karena belum dapat mengakses vaksin Covid-19. 

Berkaca pada kondisi tersebut, diperlukan strategi komunikasi risiko berkelanjutan untuk mendukung penyelenggaraan vaksinasi dan layanan kesehatan lainnya bagi kelompok rentan yakni perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas. 

Membahas hal ini, Katadata bekerja sama dengan Kemitraan Australia – Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP), Kementerian Kesehatan, didukung oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menggelar diskusi bertajuk “Komunikasi Risiko untuk Mewujudkan Vaksinasi Covid-19 yang Inklusif”. Diskusi terbatas ini digelar pada 15 Agustus 2022 pukul 13:00-15:00 WIB/14:00-16:00 WITA secara hybrid di mana peserta dapat hadir langsung di hotel Four Point Makassar atau melalui aplikasi Zoom. 

Mewakili pemerintah Australia, Konsul Jenderal Australia di Makassar Bronwyn Robbins, mengapresiasi segala upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam penanganan pandemi. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa tingkat vaksinasi untuk kelompok rentan di Indonesia masih terbilang rendah. 

“Sampai saat ini cakupan sebesar 86,5 persen dari populasi telah dicapai dengan dosis vaksin pertama, dan 72,6 persen dengan dosis kedua. Secara keseluruhan lebih dari 430 juta dosis telah diberikan.” terang Robbins. 

“Terlepas dari keberhasilan ini, cakupan beberapa populasi yang paling rentan terhadap Covid-19 seperti lansia dan penyandang disabilitas masih tertinggal, pemberian dosis ketiga atau booster yang penting untuk memberikan perlindungan terhadap varian Covid-19 baru masih terbilang cukup lambat dengan total cakupan saat ini di seluruh Indonesia hanya 26 persen” tambah Robbin dalam pernyataannya. 

Lebih lanjut, Robbin menyatakan bahwa komunikasi risiko yang baik kepada kelompok rentan perlu diikuti dengan akses vaksinasi inklusif yang mudah dan nyaman. Ia menjadikan program kesuksesan vaksinasi lewat kerjasama AIHSP dan pemerintah Sulawesi Selatan serta pihak-pihak lainnya sebagai contoh. 

“Hasil kerjasama tersebut terwujud dalam pelaksanaan Gebyar Pekan Vaksinasi inklusif di lima kabupaten, antara lain Kabupaten Maros, Pinrang, Enrekang, Bone, dan Gowa. Dalam kegiatan tersebut setidaknya ada 760 orang yang divaksinasi, termasuk 371 perempuan, 186 penyandang disabilitas, dan 32 lansia,” pungkas Robbins. 

Terkait komunikasi risiko Plt Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan dr.Arman Bausat. Sp.B, Sp.OT menyatakan bahwa komunikasi merupakan kunci pengendalian pandemi Covid-19, khususnya di era digital di mana informasi, baik yang valid maupun hoax, dapat beredar bebas dalam hitungan detik. 

“Dalam situasi saat ini komunikasi risiko sangat tepat digunakan dalam memberikan informasi guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap risiko penyakit yang belum ada sebelumnya,” ujar Arman. 

Arman berharap informasi yang tersedia dapat membantu masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat dan juga mampu mempersiapkan berbagai upaya dalam menghadapi penyakit-penyakit yang akan datang. 

Dalam diskusi tersebut narasumber-narasumber lain yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia turut berbagi mengenai upaya komunikasi risiko yang dilakukan di daerahnya masing-masing.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Dr. dr. I Nyoman Gede Anom, M.Kes, misalnya, yang menuturkan bahwa pemangku kepentingan di Bali menggandeng tokoh-tokoh adat dalam upaya komunikasi risiko. 

“Sedangkan untuk kegiatan komunikasi risiko yang secara khusus mendukung vaksinasi yang telah kami lakukan juga adalah dengan membuat poster KIE agar (masyarakat) tidak khawatir dengan vaksinasi, sehingga mereka mau melakukan vaksinasi Covid-19,” ujar Anom.

“Selain itu kami juga membuat dan menyebarkan poster seruan oleh tokoh-tokoh masyarakat di Bali kepada masyarakat umum untuk memberikan pendampingan kepada kelompok disabilitas." 

Metode komunikasi risiko serupa diterapkan di Jawa Tengah berdasarkan penuturan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Yunita Dyah Suminar, SKM, M.SC., M.Si. Dalam keterangannya, Dyah menuturkan bahwa vaksinasi dan komunikasi risiko tak lepas dari peran gubernur yang proaktif turun ke lapangan, serta kolaborasi pemangku kepentingan dengan tokoh-tokoh masyarakat dan berbagai organisasi dan komunitas. 

“Kalau yang utama di Jawa Tengah itu ada Pak Gubernur yang sangat concern terhadap vaksin khususnya lansia dan disabilitas. Beliau setiap kali kunjungan ke lapangan yang disasar adalah nenek-nenek atau para lansia,” terangnya. 

“Kemudian kolaborasi atau kemitraan, kami dengan AIHSP, kemudian dengan organisasi keagamaan (seperti) Fatayat, Muslimat, kemudian ‘Aisyiyah, karena mereka adalah orang-orang yang kemudian sering berhubungan dengan sasaran kita,” ujar Dyah melanjutkan. 

Komunikasi risiko sendiri tak melulu berjalan mulus, salah satu hambatan yang diungkapkan oleh dr. Arman Bausat adalah informasi hoaks terkait pandemi dan vaksinasi lebih dulu berkembang daripada informasi yang benar. Hal ini membuat masyarakat sudah lebih dahulu ragu akan informasi yang disampaikan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. 

“Kita baru sadar setelah berbagai hoax tentang dampak vaksinasi yang mulai timbul di masyarakat. Sehingga kita menemui hambatan-hambatan pada saat baru memulai melaksanakan komunikasi risiko. Harusnya, sebelum melaksanakan vaksinasi Covid-19 itu sudah diantisipasi.” ujarnya. 

Dalam hal keterlibatan kelompok rentan, ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PERDIK) Nur Syarif menyatakan bahwa dalam hal ini kelompoknya lebih banyak melakukan pendekatan. 

“Selama ini memang kebanyakan itu adalah organisasi disabilitas yang menyuarakan, baik itu melakukan pendekatan atau audiensi ke pemerintah. Kemudian dari proses itu melahirkan sejumlah kebijakan,” tutur Syarif. 

Menurutnya, pendekatan kepada kelompok rentan terutama disabilitas masih menemui kesulitan karena tidak semua orang memahami bagaimana metode pendekatan dan interaksi yang tepat kepada kelompok disabilitas. 

Lebih lanjut, Syarif berharap ke depannya kelompok difabel turut dilibatkan dalam proses perencanaan atau penyusunan strategi atau kebijakan. 

“Selama ini penyandang disabilitas sering dilibatkan ketika sudah mencapai implementasi program, tidak dari awal saat proses perencanaan, hanya pada implementasinya saja,” ujarnya. 

“Jadi, kami berharap mulai saat ini sudah harus dibiasakan melibatkan teman-teman difabel, mulai dari proses perencanaan, implementasi, bahkan mungkin sampai ke monitoring dan evaluasi.”