Hadapi Risiko Resesi Global, Ekonomi Indonesia Masih Stabil

Katadata (Courtesy of BNI)
Hadapi Risiko Resesi Global, Ekonomi Indonesia Masih Stabil -- Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro, Mantan Menteri Keuangan (2013-2014) Chatib Basri, Gubernur Bank Indonesia Periode 2013-2018 sekaligus Komisaris Utama BNI Agus Martowardojo, dan Lead Economist World Bank Habib Rab dalam SOE International Conference di Bali Nusa Dua Conference Center, Selasa (18/10/2022).
Penulis: Dicky Christanto W.D - Tim Publikasi Katadata
19/10/2022, 11.48 WIB

Dunia tengah menghadapi ketidakpastian yang dapat mengarah pada resesi global. Resesi akibat multi krisis mungkin saja terjadi akibat Inflasi yang terlalu tinggi, pasokan bahan pangan yang terganggu, likuiditas global yang mengetat, hingga krisis geopolitik yang terus memanas.

Kesulitan global itu bisa ditekan dampaknya apabila seluruh negara bergandengan tangan saling membantu.

Namun, di saat yang sama, Indonesia masih berada dalam kondisi lebih baik dibanding negara - negara lain. Kinerja ekonomi nasional justru tampak semakin menguat. Utamanya didorong oleh tren positif pertumbuhan ekonomi yang tetap terjaga di sekitar 5 persen, stabilitas nilai tukar, serta inflasi yang masih sangat terkelola.

“Ini menunjukkan bahwa stabilitas domestik terbukti masih kuat dengan fundamental ekonomi yang semakin kuat,” kata Gubernur Bank Indonesia Periode 2013-2018 sekaligus Komisaris Utama BNI Agus Martowardojo dalam SOE International Conference di Bali Nusa Dua Conference Center, Selasa (18/10/2022).

Agus melanjutkan, kondisi perbankan di Indonesia saat ini sangat baik karena memiliki permodalan yang kuat dengan penerapan manajemen risiko yang semakin baik.

Bahkan, pemerintah masih yakin pertumbuhan ekonomi 2022 mampu menembus angka 5 persen karena konsumsi nasional yang kuat serta kinerja ekspor Indonesia yang semakin baik.

“Kita memang melihat ada potensi inflasi naik. Namun, kinerja ekspor yang semakin kuat akan membuat kestabilan mata uang yang juga berdampak pada kestabilan ekonomi dalam negeri,” katanya.

Agus berpendapat, dukungan kebijakan fiskal dan moneter sejauh ini telah mampu mendorong ekonomi pulih dari pandemi Covid-19. Meski menghadapi tantangan yang berat, dia berpendapat otoritas fiskal dan moneter telah mampu menjalankan kebijakan pre-emptive dan forward-looking yang sangat baik.

“Namun, memang dengan banyaknya otoritas moneter dunia seperti the FED, ECB, dan Bank of England nampak memperketat kebijakan sehingga terus menekan mata uang negara berkembang. Kerja ke depan semakin tidak mudah,” katanya.

Ke depan, Menurut Agus keseimbangan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter perlu terus dijaga untuk membuat struktur ekonomi yang tengah mengalami pertumbuhan ini semakin kuat.

Semua pelaku ekonomi juga tidak boleh melupakan adanya kesempatan yang sangat besar dari penguatan kinerja segmen ekonomi berkelanjutan yang dapat memberi kesempatan pertumbuhan, baik bagi pelaku ekonomi riil maupun pelaku di sektor finansial.

“Percepatan transformasi digital juga menjadi kunci. Terlebih, kebutuhan terhadap solusi digital dari generasi masa depan terus meningkat,” katanya.

Sebelumnya, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar menyampaikan, perbankan relatif lebih siap menghadapi situasi seperti saat ini. Justru di tengah era suku bunga rendah yang mulai berlalu, perbankan proaktif menjaga agar tidak terjadi shock yang terlalu cepat dan mengganggu transmisi pertumbuhan ekonomi.

“Jadi teman-teman di industri perbankan sudah siap untuk merespons kenaikan suku bunga saat ini. Eranya suku bunga rendah sudah lewat. Kita tidak akan kembali lagi,” katanya.

Royke pun menyampaikan, BNI belum otomatis langsung menaikan baik deposito maupun bunga kredit. Bahkan, kinerja ekonomi dari nasabah loyal akan menjadi prioritas BNI dalam kebijakan suku bunga akomodatif.

“Nasabah baru tentu dengan price baru. Nasabah lama loyalitas menjadi penting. Disampaikan bahwa, ekonomi Indonesia fundamentalnya juga cukup bagus jadi kita gak buru-burulah naikkan suku bunga,” katanya.