Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan komitmen Indonesia dalam mempercepat transisi energi. Hal itu dilakukan demi mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2060.
Luhut optimistis target tersebut bakal terpenuhi, mengingat potensi energi baru terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia cukup besar, yaitu mencapai 437 gigawatt (GW). Menurutnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo pernah mengingatkan tentang potensi investasi EBT sekitar US$ 700 miliar hingga tahun 2060.
“Jadi ini kue besar. Makanya saya sangat percaya diri bahwa Indonesia bisa mempercepat transisi energi, karena begitu banyak potensi yang bisa kita lakukan di negara ini jika kita kelola dengan baik,” ungkapnya dalam siaran pers, dikutip Minggu (13/11/2022).
Besarnya potensi EBT di Indonesia dapat menjadi peluang kerja sama global untuk menurunkan emisi karbon. “Dan, kembali, saya yakin kita bisa mewujudkan hal itu lebih cepat. Teknologi dan teamwork, dan kami belajar,” ujarnya.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menilai langkah transisi energi perlu dilakukan untuk menjamin masa depan bangsa. Hal ini menjadi nilai yang diusung PLN untuk berkomitmen dalam transisi energi.
“Kita melakukan bukan hanya karena ada perjanjian internasional, bukan hanya karena suatu kebijakan. Kita melakukan itu karena kita betul-betul peduli,” kata dia.
Berbagai upaya telah dilakukan PLN dalam agenda transisi energi. Selain gencar membangun pembangkit listrik berbasis EBT, PLN juga mengembangkan ekosistem kendaraan listrik untuk menurunkan ketergantungan pada energi fosil, di tengah tantangan target nol emisi karbon dan krisis energi.
“Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa dalam waktu dekat, energi bersih akan menjamin ketahanan dan keterjangkauan energi,” imbuh Darmawan.
Dalam jangka pendek, penggunaan gas alam merupakan salah satu strategi penting dalam transisi energi, selain pengembangan EBT. Sementara dalam jangka panjang, PLN fokus pada pengembangan EBT skala besar yang dikombinasikan dengan penyimpanan energi dan interkoneksi.
“Kita sudah berhasil menghapus 13 GW pembangkit listrik batu bara dalam fase perencanaan. Artinya apa, kita sudah bisa menghindari CO2 emisi sebesar 1,8 miliar ton selama 25 tahun,” ungkap Darmawan.
Selain itu, PLN juga mengubah perencanaan pembangunan pembangkit batu bara sebesar 1,1 GW menjadi pembangkit berbasis energi bersih, sementara 880 MW pembangkit batu bara dikonversi menjadi pembangkit berbasis gas.
PLN membuat rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang sangat agresif dalam menambahkan EBT, yakni sebesar 20,9 GW, atau 51,6 persen dari rencana penambahan pembangkit untuk periode 2021-2030. Menurut Darmawan, ini adalah RUPTL terhijau dalam sejarah.
Upaya tersebut telah mampu menurunkan emisi hingga 35 juta ton pada tahun ini. Namun, jika upaya ini tidak dilanjutkan dengan maksimal, emisi karbon bisa menembus 240 juta ton. “Jadi ini penting sekali. Bagaimana semua ini bukan hanya dalam satu high level strategy, tapi bisa di-translate menjadi operasional yang efektif di lapangan,” tuturnya.
Oleh karena itu, perlu inovasi teknologi, pembiayaan, dan regulasi yang memungkinkan EBT dikembangkan secara masif. Untuk itu, PLN telah mengembangkan peta jalan yang komprehensif untuk mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2060.
“Di masa lalu bisnis utama kami adalah menyediakan listrik bagi pelanggan. Namun, ke depan tugas utama PLN adalah menjaga lingkungan yang baik, dan, listrik menjadi salah satu produk bisnis perseroan,” pungkas Darmawan.