Indonesia Fintech Society (IFSOC) memaparkan tujuh hal yang perlu dicermati dalam lanskap fintech di sepanjang tahun 2022. Pertama, IFSOC mengapresiasi pemerintah dan DPR atas pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Penerbitan UU PDP diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemrosesan data pribadi, serta membangun kepercayaan publik pada layanan digital.
Ketua Steering Committee IFSOC Rudiantara mengatakan pengaturan pelaksana UU PDP yang akan disusun nanti, harus mengedepankan aspek tingkat kepatuhan bagi pihak yang memroses data pribadi.
Ia juga menyoroti Lembaga Penyelenggara Data Pribadi, sebagaimana diamanatkan UU PDP, harus mampu mengawal implementasi UU PDP dengan skema pengawasan yang mendorong kepatuhan pengendali data.
“UU PDP membawa Indonesia pada era baru tata kelola data pribadi. Penyusunan peraturan turunan UU PDP ke depan harus diarahkan untuk meningkatkan mitigasi dan kepatuhan pelindungan data pribadi dibandingkan hanya berfokus pada pemberian sanksi,” tambahnya.
Kedua, QRIS Antarnegara menjembatani UMKM dengan wisatawan mancanegara. Inisiatif ini sudah diimplementasikan dengan Thailand, dan akan diperluas dengan beberapa negara lain di Asia Tenggara. Inisiatif ini menggunakan skema Local Currency Settlement (LCS) di mana transaksi antarnegara tak lagi bergantung pada kurs dolar AS.
Steering Committee IFSOC Dyah N.K Makhijani menyatakan inisiatif ini dapat mendorong sektor pariwisata dengan menghubungkan UMKM dan ekonomi kreatif ke 6,2 juta wisatawan Asia Tenggara yang datang ke Indonesia. Namun, hal itu perlu didukung dengan edukasi dan sosialisasi yang masif untuk turis asing dan merchant QRIS di Indonesia.
Ketiga, terbukanya peluang kolaborasi lebih luas antara bank dan fintech. Kolaborasi penyaluran dana perbankan melalui fintech lending terus meningkat dan mendominasi di 2022. Hal ini dibuktikan dengan proporsi outstanding pinjaman fintech lending kategori lender perbankan dalam negeri mencapai kontribusi tertinggi 46% pada Oktober 2022.
Kolaborasi tersebut sejalan dengan upaya Bank dalam memenuhi kewajiban penyaluran modal untuk UMKM paling sedikit 20% pada 2022 dan secara bertahap meningkat menjadi 25% di 2023.
Dalam upaya mendorong perkembangan sektor keuangan digital, sepanjang 2022 telah terbit UU PPSK dan POJK 22/2022 yang diharapkan dapat mempermudah inovasi melalui pemanfaatan teknologi dan kolaborasi dengan penyertaan modal Bank terhadap Fintech.
Keempat, upaya kolaboratif berhasil meningkatkan trust terhadap P2P lending di mana penyaluran P2P lending tumbuh hingga Rp18,7 triliun per Oktober 2022. Penutupan pinjol ilegal mengindikasikan semakin kuat upaya pencegahan aktivitas pinjol ilegal di Indonesia.
Di samping itu, Ekonomi senior sekaligus Steering Committee IFSOC Hendri Saparini menekankan perlunya penguatan manajemen risiko untuk menjaga kualitas pinjaman di tengah meningkatnya kredit tidak lancar dan kredit macet.
“Kolaborasi lebih dalam di area peningkatan kualitas risiko kredit dan peningkatan literasi masyarakat perlu didorong secara masif, misalnya dengan sektor jasa keuangan lainnya seperti BPR dan BPD,” ujarnya.
Kelima, industri startup Indonesia masuk ke babak baru. Meskipun nilai pendanaan startup fintech di Indonesia meningkat 8,4% pada 2022, tetapi jumlah deals menurun 28% (UOB, 2022).
Kondisi inflasi dan ekonomi global mendorong investor lebih selektif dalam mendanai startup yang fokus pada profitabilitas dibandingkan growth. Startup melakukan efisiensi dan optimasi biaya dalam mempersiapkan cash flow untuk memperpanjang runaway.
“Tahun ini ekosistem startup fintech mengalami transformasi yang mendorong penyesuaian terhadap model bisnis yang commercially viable. Perubahan ini mendorong iklim persaingan perusahaan fintech startup menjadi lebih sehat dan inovatif,” kata Hendri.
Keenam, praktik investasi ilegal masih menjadi tantangan serius dalam pengembangan sektor keuangan digital di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) sepanjang 2022, total kerugian akibat praktik investasi ilegal mencapai Rp109 triliun, atau naik 44 kali dari total tahun sebelumnya.
Steering Committee IFSOC Tirta Segara menyampaikan di sektor keuangan nasional, terdapat ruang rentan akibat masih lebarnya jurang inklusi dan literasi keuangan di Indonesia. Menurutnya, perlindungan konsumen dan penindakan tegas sebagai upaya mitigasi juga sangat dibutuhkan untuk menutup kemungkinan kerugian yang lebih besar.
Ketujuh, IFSOC berpandangan penerbitan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) telah menjawab permasalahan relevansi regulasi di sektor keuangan sebagai dampak perkembangan teknologi.
IFSOC mengapresiasi penerbitan UU PPSK yang telah menyediakan payung hukum yang mengedepankan pendekatan principle-based, adaptif dan integratif, serta memberikan jaminan independensi otoritas-otoritas di sektor keuangan.
Khususnya terkait aset kripto, UU PPSK telah memberikan pengaturan yang fundamental dengan penguatan kerangka pengawasan dan perlindungan konsumen. UU PPSK telah memberikan kepastian hukum pada pengembangan fintech ke depan, dengan diakuinya klaster fintech sebagai salah satu pilar dalam sektor keuangan di Indonesia.