Jatuh Bangun Geoforest Watu Payung Menjadi Ekowisata Andalan

C. Bregas Pranoto-Katadata
30/5/2023, 17.45 WIB

Langit mulai gelap di Desa Girisuko, Gunungkidul, Senin (24/1). Pohon-pohon tampak berjejeran dan berdiri menjulang di sepanjang jalan mendekati kawasan Geoforest Watu Payung, Dukuh Turunan.

Sepi melanda sesaat setelah masuk ke Dukuh Turunan. Di persimpangan jalan masuk ke tiga lokasi wisata misalnya, tak ada lalu lalang kendaraan bermotor. Hanya tampak seorang penduduk sedang berjalan kaki seraya memanggul hasil panen.

Menurut Ketua HKm Sidomulyo III, Subagyo, suasana sepi di desa dan dukuh ini merupakan imbas dari ketimpangan demografi antara generasi tua dan muda. Generasi muda di sana lebih memilih merantau daripada bertahan di desa.

”Sementara, generasi tua yang bertahan telah melewati usia produktif. Desa dan dukuh pun menjadi sepi,” ujar Bagyo saat ditemui tim Katadata, Senin (24/1).

Menurut Bagyo, generasi muda memilih merantau karena tidak banyak pekerjaan tersedia di dukuh mereka sendiri. Padahal,  lebih dari dekade sebelumnya, anak-anak muda memilih bertahan di desa dengan memanfaatkan panen kayu dari hutan jati setempat.

“Ada juga yang lebih memilih bersekolah di Yogyakarta,” ungkap Bagyo, sapaan akrabnya.

Pengurus Watu Payung-Subagyo (C. Bregas Pranoto-Katadata)

Saat tergabung dalam kelompok tani, Bagyo adalah salah satu anggota termuda di kelompok tani tersebut. Saat itu, Subagyo dan keluarganya merasa penghasilan dari panen kayu jati sudah mencukupi. 

Namun, kondisi tersebut berubah drastis sejak era reformasi. Bagyo bercerita, masyarakat merespons kejatuhan Presiden Soeharto dengan melakukan pembalakan liar pohon-pohon jati yang dikelola Perhutani.

“Saat itu kacau sekali. Para polisi hutan tidak bisa berbuat apa-apa karena penduduk setempat bersama-sama melakukan penebangan,” ujar Bagyo.

Pembalakan liar itu akhirnya berdampak buruk terhadap lingkungan Desa Girisuko. Lereng-lereng bukit menjadi gundul. Air sulit didapat. Kekeringan pun terjadi bertahun-tahun dan menyebabkan gagal panen.

Merespons kondisi tersebut, warga pun menggelar doa bersama. Selain itu, mereka juga rutin bermusyawarah untuk mencari solusi. Salah satunya dengan melakukan rehabilitasi lahan-lahan gundul. Para petani di sana berharap dengan keselarasan doa dan upaya, membuat kekeringan bisa lekas berakhir. Mereka ingin memulai aktivitas pertanian lagi.

Akhirnya lambat laun upaya rehabilitasi itu membuahkan hasil. Kelompok tani yang mengelola hutan di kawasan Geoforest Watu Payung akhirnya mulai bisa menanam lagi berbagai jenis tanaman pangan. Ini misalnya seperti ubi, singkong, dan jagung.

Akan tetapi, saat mulai ingin menanam bibit pohon jati, mereka tersandung aturan baru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Aturan itu berupa Surat Keputusan (SK) definitif pada 2007 tentang peralihan hutan produksi menjadi hutan lindung di sekitar Desa Girisuko.

Bagian Bawah Watu Payung (C. Bregas Pranoto-Katadata)

Dampak perubahan status itu membuat warga tidak bisa melakukan aktivitas pertanian, khususnya untuk komoditas seperti pohon jati. Mereka hanya diperbolehkan melakukan aktivitas jasa lingkungan atau membuka tempat wisata, seperti yang kini dilakukan lewat Geoforest Watu Payung.

”Ini yang membuat para petani di Desa Girisuko merantau keluar dari desa untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Sedangkan di anggota kami sebagian besar anggota keluarganya ikut merantau,” kata Bagyo.

Pengalaman Kegagalan dan Kesuksesan

HKm Sidomulyo III besutan Bagyo merupakan bagian dari Perhutanan Sosial (Perhutsos) dan menjadi salah satu angkatan pertama HKm di Indonesia. Usia HKm Sidomulyo saat ini sudah 16 tahun, tetapi menurut Bagyo, anggota mereka masih berjuang meraih kesejahteraan.

Pada masa awal SK turun, Bagyo mengungkapkan kelompoknya gamang menerapkan konsep ekowisata yang tepat bagi Geoforest Watu Payung. Mereka bahkan sempat mengalami kerugian besar setelah tergesa-gesa mendirikan homestay tanpa ketersediaan fasilitas penunjang wisata lainnya.

Homestay itu ternyata sepi karena tidak ada yang tertarik berkunjung ke Watu Payung. Kita bangun dua homestay, tapi gagal semua. Sampai puluhan juta ruginya,” kata Bagyo.

Merasa kesulitan mencari solusi, HKm Sidomulyo III lantas melakukan demonstrasi di depan kantor BDH (Bagian Daerah Hutan) Panggang, KPH setempat. Mereka mengutarakan segala kegelisahan sehubungan dengan kesulitan mengelola ekowisata.

Pengurus Watu Payung-Endarto (C. Bregas Pranoto-Katadata)

Meski tidak seketika berdampak, Bagyo mengungkapkan demonstrasi itu cukup efektif. Sebab, seiring berjalannya waktu mencuat beberapa kenalan dan bantuan untuk pengembangan Geoforest Watu Payung. BDH dan Kepala Desa menjadi perantara bantuan itu ke pengelola Watu Payung.

Berkat bantuan itu, pada 2018, kelompok seniman Pandai Ruang dari Yogyakarta datang mendirikan fasilitas seni instalasi sebagai penunjang daya tarik Geoforest Watu Payung. Bahan-bahannya infrastrukturnya didapat dari BDH Panggang dan warga setempat.

Dengan bahu-membahu bersama warga, khususnya anggota kelompok HKm Sidomulyo III, selama enam bulan mereka membangun seni instalasi. Mereka mengusung konsep instalasi seni dengan mengolah sisi sejarah, geografi, dan budaya di Watu Payung untuk menarik minat pengunjung.

”Kami sampai harus menggadaikan sertifikat rumah dan lain-lain. Saya berani melakukan itu karena saya optimistis dengan upaya tersebut,” ujar salah satu anggota HKm Sidomulyo III, Endarto.

Pada medio 2018, instalasi seni itu akhirnya selesai dibangun dan diberi nama Telek Oseng. Menurut penuturan Wishnu Aji, inisiator Pandai Ruang, Telek Oseng bermakna sebagai tempat mengasingkan diri di tengah riuh-rendah bising perkotaan.

”Maksud dari Mas Wishnu Aji itu, Watu Payung bisa menjadi tempat sarana meditasi dan menenangkan diri dari keriuhan dan kesibukan sehari-hari,” ujar Endar.

Menuai Hasil

Baru beberapa saat menuai hasil, pandemi Covid-19 menerjang. Bagyo mengatakan saat itu warga menutup akses wisata Watu Payung. Akibatnya, kas kelompok harus terus keluar demi menghidupi anggota yang tidak berpenghasilan.

”Tantangan saat pandemi itu yang sulit. Karena protokol kesehatan kami harus membatasi kunjungan dan akibatnya pendapatan kelompok jadi tidak ada sama sekali,” ungkap Bagyo.

Belum lagi tantangan lain menghantui kelompok, misalnya regenerasi pengurus yang sukar dilakukan. Terlebih Desa Girisuko saat ini mengalami krisis generasi muda lantaran mereka memilih merantau ke luar kota untuk mencari penghidupan yang layak.

Bekas atraksi wisata (C. Bregas Pranoto-Katadata)

Bahkan saat ini hanya tinggal satu orang pemuda saja yang bertahan di HKm Sidomulyo III. Itu pun putra Bagyo sendiri. Akan tetapi, pilihan tersebut ia lakukan untuk memberi contoh bagi anggota lainnya agar bisa mempertahankan anak-anak mereka di desa sendiri.

Kesulitan-kesulitan ini harus dihadapi oleh HKm Sidomulyo III di waktu pascapandemi dan di masa pemulihan ekonomi. Mereka kini berjuang keluar dari kemelut, berupaya menarik pendapatan lagi dari ekowisata, tetapi di tengah kondisi yang kian sulit dan kompleks.

Kendati demikian, berbagai ide pengembangan sudah muncul dalam benak Bagyo dan anggota HKm lainnya. Bagyo mengatakan Watu Payung akan dikembangkan menjadi wisata kuliner, atraksi baru, dan pembukaan camping ground.

”Sekarang kami harus optimistis dan bertaruh untuk menjalani masa depan kelompok, karena izin definitif ini berlangsung 35 tahun,” pungkas Bagyo.

Reporter: Muhammad Taufik