Indonesia sudah mengalami tiga kali shock atau krisis dan selalu bisa pulih dan mengatasi berbagai macam krisis tersebut.
Pertama, ketika terjadi krisis keuangan pada 1998-1999, kedua saat terjadi krisis ekonomi global pada 2009-2010 dan terakhir adalah pandemi COVID-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang bisa belajar dari krisis.
Pada krisis ekonomi 1998-1999 yang melahirkan era reformasi, negara hadir dengan memberikan jaminan untuk menyelamatkan sektor perbankan.
“Tahun 1998-1998 itu shock yang luar biasa. Biaya dari shock itu adalah bailout (dana talangan) yang menjadi the most expensive bailout in the world. Indonesia dapat tagihan dari penangana krisis yang luar biasa besar,” kata Sri Mulyani di acara IDE Katadata 2023 pada sesi The Long and Winding Road, di Jakarta, Kamis (20/7).
Akibat dari krisis itu, Indonesia berubah total dalam mengelola keuangan negara.
Selanjutnya, kata Sri Mulyani, krisis ekonomi global terjadi pada 2009-2010, di mana negara melakukan sejumlah langkah untuk menciptakan stabilisasi di sektor keuangan dan nonkeuangan.
“Krisis global pada 2009-2010 membuat pemerintah belajar menyempurnakan regulasi di sektor perbankan, lembaga keuangan bukan bank, dana pensiun. Setiap pelajaran itu pasti painful tapi itu harus kita tempuh,” ungkap Sri Mulyani.
Krisis terakhir yang dihadapi adalah pandemi COVID-19. Kata dia, pemerintah membuat sejumlah langkah nonkonvesional seperti melebarkan defisit anggaran.
Hasilnya, perekonomian Indonesia bisa pulih dan tumbuh di atas 5 persen dalam enam kuartal secara beruntun.
“Defisit APBN yang tadinya di atas 3 persen sekarang sudah turun dan berada di angka 2,38 persen. Ini adalah konsolidasi fiskal tercepat dan banyak anggota G20 yang senang mendengar ini, ada sebuah negara yang bisa me-manage dengan baik serta performed well di masa pandemi,” jelasnya.
Sri Mulyani menambahkan, Indonesia termasuk sedikit negara yang bisa pulih dan mengatasi krisis dengan baik. Namun, Indonesia harus siap untuk menghadapi krisis berikutnya. Contohnya adalah krisis perubahan iklim.
Pemerintah, kata dia, tidak bisa hanya tinggal diam dalam mengantisipasi krisis perubahan iklim. Karena itu, di setiap krisis negara akan selalu hadir dan tentunya harus didukung oleh keuangan negara yang mumpuni sebagai instrumen utama dan pertama dalam menghadapi krisis.
“Dua hari lalu saya bertemu dengan Menteri Keuangan Singapura, ketika terjadi peralihan dari pandemi ke endemi dia mengatakan kita harus siap untuk menghadapi the next pandemi. Belajar dari pandemi kemarin, bagaimana kita semua berhadapan dengan penyakit menular,” tegas Sri Mulyani.
Belajar dari tiga krisis yang terjadi dalam perjalanan Indonesia yang Long and Winding Road, Sri Mulyani optimistis Indonesia bisa menghadapi krisis yang akan terjadi berikutnya.