Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berupaya memperbaiki Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Harapannya, minat masyarakat untuk memasang PLTS Atap bisa meningkat.
Sementara itu, PLTS Atap ini sangat diharapkan sebagai salah satu program yang didorong untuk mengisi gap pencapaian target energi terbarukan sebesar 23% hingga tahun 2025.
PLTS Atap merupakan salah satu program yang didorong oleh pemerintah untuk mengisi gap pencapaian target bauran energi terbarukan.
Selain itu, PLTS Atap juga menjadi solusi pemakaian energi terbarukan di perkotaan yang lahannya terbatas. PLTS Atap memberikan peluang bagi seluruh masyarakat untuk turut berkontribusi di dalam pengembangan energi terbarukan.
Hal tersebut disinggung oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Yudo Dwinanda Priaadi pada webinar bertema "Perubahan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, Mampukah Mendorong Capaian Energi Baru Terbarukan di Indonesia?" yang diselenggarakan oleh Orbit Indonesia, Rabu (6/9).
“Potensi PLTS Atap secara nasional mencapai 32,5 gigawatt dari pelanggan golongan rumah tangga, industri, bisnis, sosial maupun pemerintah. Kementerian ESDM menargetkan pembangunan PLTS atap secara bertahap sebesar 3,61 gigawatt sampai dengan tahun 2025. Tahun 2023 ditargetkan pengembangan PLTS atap sebesar 500 megawatt, dan tahun 2024 sebesar 1,8 gigawatt,” ujar Yudo.
Namun, ia mengakui di lapangan masih ditemukan beberapa keluhan dari para stakeholder. Keluhan tersebut antara lain, adanya pengaduan terkait pembatasan kapasitas tercatat dan penerapan skema ekspor-impor yang belum sesuai regulasi; kekhawatiran pemegang IUPTLU terhadap sistem pencatat; kondisi jaringan tenaga listrik existing yang tata waktu sesuai regulasinya belum terpenuhi.
“Untuk meningkatkan minat masyarakat memasang PLTS Atap dan meminimalkan dampak intermittency PLTS Atap terhadap sistem PLN, Kementerian ESDM tetap berupaya melakukan perbaikan terhadap regulasinya,” katanya.
Kepala Sub Direktorat Keteknikan dan Lingkungan Aneka EBT Kementerian EBT, Martha Relitha Sibarani menambahkan, meskipun peta jalan PLTS Atap ini sudah dibuat, namun sampai saat ini masih menunggu masukan lagi dari para stakeholder.
Relitha pun mencontohkan terkait PLTU Pelabuhan Ratu dan Pacitan yang kapasitasnya besar. Menurutnya, hubungan antara PLTU dengan PLTS Atap masih belum dibahas.
PLTU yang berada di Jawa ini, kata Relitha, masih belum pihaknya bahas mengingat kapasitas PLTU yang akan dipensiunkan cukup besar.
Terkait kuota, Relitha menambahkan ada penugasan kepada PLN untuk membuat aplikasi supaya terjadi transparansi.
“Amanatnya adalah dalam tiga bulan PLN wajib menyusun peta jalan dan kemudian setelahnya PLN wajib mengikuti yang dibuat dengan tujuan terbangunnya sistem PLTS Atap. EBTKE sendiri sudah memiliki aplikasi dan sudah digunakan oleh wilus (wilayah usaha) di mana di situ bisa dilacak permohonan masyarakat,” ujar Relitha.
Di acara yang sama, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim, mengatakan melihat revisi Permen PLTS Atap ini masih menyisakan masalah baru bagi para stakeholder.
Ia mencontohkan dengan tidak adanya ekspor listrik PLTS Atap ke PLN yang dihitung. Meskipun kapasitasnya dibebaskan, daya tariknya bagi pelaku akan turun. Hal itu disebabkan kendati kapasitasnya bebas, tapi tetap saja dibatasi menjadi sebanyak yang digunakan.
“Tentu hal ini tidak akan menggenjot (capaian target EBT Pemerintah). Padahal kalau kita mau meningkatkan bauran energi terbarukan, itu yang paling bisa diandalkan dengan cepat ya PLTS Atap,” ujar Herman .
Oleh karena itu, menurutnya, peraturan PLTS Atap ini harus benar-benar diuji dulu secara simulasi, apakah dengan peraturan ini serta-merta investasi di bidang PLTS Atap ini baik oleh industri dan bukan industri itu bisa menarik.
Herman menambahkan, sebetulnya peraturan yang diperlukan adalah harga tetap sama dengan satu banding satu.
“Jadi kalau dia bikin impor 300 dia konsumsi 400, dia ekspor 100, dia bayarnya 200. Jadi ada penurunan pembayaran,” tandasnya.
Wishnu Try Utomo, Coal Advocacy Manager Center of Economic and Law Studies (Celios) yang juga menjadi narasumber di acara ini menyampaikan sepakat dengan apa yang disampaikan Herman dari DEN.
Ia juga tidak setuju dengan adanya penghapusan net metering. Menurutnya, ekspor listrik dari PLTS Atap ke jaringan PLN itu harus bisa menjadi pengurangan tagihan.
Begitu juga dengan waktu pengajuan izn pemasangan. Menurutnya, seharusnya hal itu tidak dibatasi hanya bulan Januari dan Juli saja.
“Itu waktunya sedikit sekali. Saya juga rekomendasi untuk perlu studi lebih lanjut terkait revisi Permen PLTS Atap ini,” ucap Wishnu.
Narasumber lainnya, Bambang Sumaryo, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan dan Regulasi, Teknologi, dan Pengembangan Industri Surya, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyampaikan masyarakat pada umumnya sangat pemilih.
“Jadi, kalau revisi Permen PLTA Asap ini malah mendorong masyarakat untuk menjauh atau untuk berpisah dari on grid, itu malah berbahaya. Karena lebih mudah cari customer baru daripada menarik lagi customer lama yang sudah kabur dengan berbagai alasan,” ungkap Bambang.
Pada acara yang sama, Tonny Bellamy, Executive Vice President Penjualan dan Pelayanan Pelanggan Retail PLN mengatakan, PLN saat ini berinisiatif secara volunter untuk mendukung komitmen pemerintah melaksanakan transisi energi menuju net zero emission pada tahun 2060.
Hal itu pihaknya lakukan dengan penekanan upaya dekarbonisasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil serta pengembangan EBT.
“Kami tidak pernah menolak dan membatasi pengembangan PLTS Atap. Kami akan terus melayani terkait dengan permohonan PLTS Atap,” tandas Tonny.