Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia melakukan reformasi sistem ketenagalistrikan yang mampu mengintegrasikan energi terbarukan., terutama surya dan angin atau yang lebih dikenal sebagai Variable Renewable Energy (VRE) atau variabel energi terbarukan dengan kapasitas yang lebih besar.
Reformasi sistem ketenagalistrikan tersebut yakni melalui pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel, memperkuat kapasitas perkiraan (forecasting) VRE dan revitalisasi infrastruktur jaringan.
Setidaknya, ada tiga hal kunci yang perlu dipertimbangkan. Pertama, insentif bagi pemain yang terlibat di dalam pengoperasian sistem tenaga listrik yang fleksibel.
Kedua, transparansi di dalam proses pengadaan, baik itu pembangkit energi terbarukan maupun infrastruktur jaringan.
Ketiga, reformasi regulasi yang dapat mengakomodasi pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel serta mendorong adopsi energi terbarukan yang lebih besar.
Peluang untuk mereformasi sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan lebih banyak kapasitas energi terbarukan perlu dukungan investasi yang mumpuni pula.
Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara, Kementerian Investasi dan BKPM RI, Hasyim Daeng Barang, mengatakan bahwa minat investor terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia mulai terbangun.
Untuk itu, pihaknya berupaya menjembatani kebutuhan investor, khususnya terkait inisiasi pengembangan proyek energi baru terbarukan dengan melakukan koordinasi dan menghubungkan pihak investor dengan pihak yang berkepentingan terkait.
“Kementerian Investasi/BKPM juga berupaya untuk memberikan informasi yang komprehensif kepada investor melalui penyusunan penawaran proyek yang dapat diinvestasi (Investment Project Ready to Offer) dengan keluaran berupa dokumen pra feasibility study terkait proyek strategis di daerah,” jelas Hasyim dalam pelaksanaan hari kedua Indonesia Energy Transition Dialogue 2023, Selasa (19/9).
Selain itu, BKPM menilai bahwa di samping mendorong investasi pada sektor potensial/prioritas, urgensi keberlanjutan tetap merupakan tanggung jawab seluruh sektor perekonomian.
Di dalam presentasinya, Senior Advisor Programme Manager International Energy Agency (IEA), Michael Waldron, mengenalkan enam tahapan integrasi variabel energi terbarukan di dalam sistem ketenagalistrikan.
Menurut Michael, Indonesia, dengan bauran variabel energi terbarukannya yang saat ini masih berada di bawah 1%, berada di dalam tahap satu dari integrasi variabel energi terbarukan.
Hal ini, lanjut Michael, berarti pengoperasian variabel energi terbarukan masih memberikan dampak yang sangat minor terhadap sistem ketenagalistrikan. Namun, perencanaan ke depannya perlu tetap mempertimbangkan bauran variabel energi terbarukan yang lebih tinggi, apalagi biaya pembangkitan variabel energi terbarukan memiliki tren yang semakin menurun selama satu dekade terakhir.
Menyoal harga sistem ketenagalistrikan dan biaya investasi di Indonesia, Michael menilai masih berada di atas harga yang ditetapkan oleh pasar internasional. Hal ini membuat keekonomian pembangunan energi terbarukan tidak cukup menarik di Indonesia.
Ia mendorong agar Indonesia menurunkan harga melalui reformasi kontrak dan operasional dalam sistem tenaga listrik untuk menarik lebih banyak investasi serta membangun integrasi jaringan listrik antar pulau juga penting bagi Indonesia yang menghubungkan sumber energi terbarukan dengan pusat beban atau permintaan energi.
Reformasi kontrak dan operasional, ia menambahkan, juga perlu menyasar pembangkit listrik konvensional, seperti PLTU batubara, yang sebetulnya dapat berperan di dalam hal pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel.
Menurutnya, kemajuan interkoneksi di ASEAN serta pengoperasian sistem energi yang fleksibel di Indonesia akan mempercepat penurunan emisi dan meningkatkan penghematan biaya.
“Sistem energi Indonesia dapat mempersiapkan porsi energi terbarukan yang lebih besar melalui penerapan kontrak baru, memberikan insentif untuk investasi di jaringan listrik, mengembangkan strategi fleksibilitas sistem, serta mengadaptasi perencanaan dan operasi jaringan listrik untuk memaksimalkan porsi variasi energi terbarukan dan menetapkan visi untuk jaringan listrik pintar,” ungkap Michael.
General Manager PLN Unit Induk Pusat Pengatur Beban Jawa, Madura, dan Bali (PLN UIP2B Jamali), Munawwar Furqan, mengungkapkan pembangkit dengan variasi energi terbarukan saat ini berlokasi di Sulawesi, terdiri dari 5 pembangkit energi terbarukan dengan total 170 MW, di antaranya Likupang SPP 15 MW, Sumulata SPP (2 MW), Sidrap WPP kapasitas 77 MW, Tolo (Jeneponto) kapasitas 66 MW.
Namun demikian, Munawwar menyebutkan pihaknya telah mengidentifikasi beberapa tantangan dari pengoperasian sistem energi yang mengakomodasi variasi energi terbarukan, di antaranya sifat intermitensi energi terbarukan yang berpengaruh terhadap sistem, keandalan dan frekuensi yang berubah-ubah.
Munawar menurutkan, beberapa strategi yang dilakukan untuk mengendalikan intermitensi variasi energi terbarukan seperti merevisi kode jaringan (grid code) agar bisa diterapkan bagi pengguna jaringan, prakiraan dan pengurangan beban (forecasting and load curtailment) untuk kestabilan sistem, serta memasang sistem penyimpanan energi baterai.
“Kapasitas perkiraan menjadi hal penting untuk pengoperasian pembangkit dengan variasi energi terbarukan agar bisa mengatur variabilitas serta mengantisipasinya,” jelas Munawar.
Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut pihak terkait perlu menginventarisasi data perkiraan cuaca sehingga dapat membuat perkiraan (forecasting) yang lebih akurat dan perencanaan investasi pembangkit energi terbarukan yang lebih efisien.
Menurut Deon, kolaborasi dengan pihak lain seperti BMKG untuk perkiraan cuaca penting dan potensial. Sementara aktual kondisi cuaca di masing-masing tempat harus dilakukan.
“Ketersediaan data perkiraan cuaca, radiasi surya untuk publik penting karena akan bermanfaat dan menguntungkan banyak pihak. Data yang akurat menjadi basis fleksibilitas sistem sehingga bisa melihat kebutuhan baterai, variasi energi terbarukan dan lain-lain,” sebut Deon.
Menyoroti penyimpanan energi untuk mendukung integrasi energi terbarukan, Indonesia melalui Indonesia Battery Corporation (IBC) juga semakin serius pada rencana Battery Energy Storage System (BESS) atau teknologi untuk menyimpan energi listrik dengan menggunakan baterai khusus.
BESS akan dapat menyimpan energi berlebih yang didapat dari sistem energi baru terbarukan untuk menyuplai beban ketika sumber energi terbarukan tidak dapat menghasilkan energi.
VP Business Development Indonesia Battery Corporation (IBC), Bayu Yudhi Hermawan, mengatakan, ada banyak faktor yang membuat proyek BESS berhasil, mulai dari terkait teknologi, daya saing, harga, inovasi dan pertumbuhan pasar.
“Harga baterai terus turun. Saat ini diperkirakan di bawah US$200/kWh dan harga perkiraan terus menurun. Jadi kita optimis pembangunan BESS menjadi momen tepat bagi masa depan Indonesia,” ungkap Bayu.
IBC sendiri membangun industri terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk memproduksi sel baterai untuk kendaraan listrik baik mobil dan motor. Indonesia memiliki potensi besar sebagai produsen nikel terbesar di dunia, yang mana merupakan bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik.
“Untuk itu, saat ini IBC menjalankan proyek berbasis nikel, utamanya untuk sisi hilir yakni ekosistem kendaraan listrik dan baterai. Berkaitan investasi kapabilitas, kita yakin dapat menjadi negara yang bisa bersaing dengan negara lain. Sumber daya kita nomor satu dunia terkait cadangan dan produsen nikel,” tandas Bayu.