Polemik pembentukan Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus bergulir. Pembentukan Panitia Khusus diawali oleh penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, anggota DPR yang terjerat kasus e-KTP. Namun alasan pembentukannya semakin luas, ke persoalan anggaran dan indikasi perpecahan internal KPK.
(Baca: KPK Terus Dapat Dukungan Tolak Pansus Hak Angket)
Sejak berdiri 15 tahun lalu, KPK telah menjadi institusi yang menakutkan bagi koruptor. Tercatat ratusan orang telah menjadi terdakwa atas kasus korupsi, mulai dari pejabat negara hingga kalangan swasta. Banyaknya pejabat yang tertangkap, menjadi dalih bahwa KPK gagal dalam mencegah praktik korupsi.
(Baca: Yusril: DPR Berwenang Bentuk Pansus Hak Angket KPK)
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah misalnya, mempertanyakan keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi. Sepak terjang KPK dianggap optimal, sebab jumlah kasus korupsi justru kian meningkat.
(Baca: KPK Disarankan Ajukan Uji Materi Pansus Hak Angket ke MK)
Padahal di level global, keberadaan KPK justru memperkuat komitmen Indonesia untuk menekan korupsi. Ini terlihat dari skor indeks persepsi korupsi Indonesia yang dirilis Transparency International terus mengalami peningkatan.