Hasil kajian Ombudsman Republik Indonesia menunjukkan terdapat 125 pejabat publik dari berbagai instansi yang menduduki jabatan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fenomena rangkap jabatan ini menyalahi Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam aturan tersebut, pejabat publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha.
(Baca: Ombudsman Akan Laporkan Rangkap Jabatan Ratusan Pejabat ke DPR)
Namun, jika mengacu pada Peraturan Menteri BUMN PER-02/MBU/02/2015, rangkap jabatan masih dibolehkan, asalkan memiliki integritas, memahami masalah manajemen perusahaan, serta menyediakan waktu untuk melaksanakan tugasnya. Ketidaksinkronan peraturan tersebut menyebabkan banyaknya pejabat publik yang menyambi sebagai komisaris di BUMN.
Berdasarkan penelusuran Ombudsman, 93 komisaris berasal dari kementerian. Dari jumlah itu, yang terbanyak berasal dari Kementerian BUMN sebanyak 22 orang, disusul oleh Kementerian Keuangan sebanyak 17 orang, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebanyak tujuh orang.
(Baca: Tiga Kementerian Paling Banyak Rangkap Jabatan Komisaris BUMN)
Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, hampir semua pejabat eselon I Kementerian Keuangan merangkap sebagai komisaris. Beberapa di antaranya bahkan menjabat di lebih dari satu BUMN.
Rangkap jabatan ini dinilai akan menimbulkan beberapa kerugian, yakni adanya konflik kepentingan, kompetensi dan kapabilitas pejabat yang merangkap tidak sesuai dengan posisi komisaris, dan penghasilan ganda.
Solusi yang ditawarkan adalah pemberhentian pejabat publik yang tetap ingin menjadi komisaris atau jika rangkap jabatan diperbolehkan maka penghasilan hanya boleh dari satu instansi. Selain itu juga harus ada aturan memastikan kesesuaian kompetensi dan tidak ada konflik kepentingan dari institusi asal.
(Baaca: Jokowi Disebut Ingin Selesaikan Masalah Rangkap Jabatan di BUMN)