Informasi kepemilikan yang tertutup di sektor migas dan minerba berpotensi menimbulkan kerugian negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) mensinyalir terdapat 3.772 dari 11.000 usaha tambang rawan dikorupsi. Lembaga ini juga memperkirakan potensi pemasukan negara yang hilang mencapai Rp 28,5 triliun akibat kepemilikan yang tersembunyi. Untuk mengatasinya, pemerintah menggagas transparansi Beneficial Ownership (BO) melalui kerangka Extractive Industries Transparency Initiative (EITI).
Transparansi BO merupakan inisiatif yang mendorong dibukanya data para pengontrol utama perusahaan pertambangan. Penerapan transparansi BO dimulai dengan dibentuknya peta jalan yang dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama, dilaksanakan pada 2017 dengan agenda penentuan definisi. Tahap kedua, dilaksanakan pada 2017-2018 dengan agenda pembentukan kerangka hukum, serta diakhiri dengan publikasi data BO.
Selain EITI, pemerintah Indonesia juga merancang program serupa dengan lembaga lain. Bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pemerintah bekerjasama memenuhi standar Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Selain itu, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah menyusun program pelaksanaan BO menurut prinsip G-20. Namun, dalam pelaksanaannya, transparansi BO di Indonesia masih menemui sejumlah hambatan, terutama mengenai pendefinisian BO dan koordinasi antar lembaga.