Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja. Aturan sapu jagat atau omnibus law itu dibuat sebagai upaya mendongkrak investasi dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
Kendati demikian, UU Cipta Kerja menuai kritik karena merevisi sejumlah pasal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Hal ini dianggap berpotensi memperparah kerusakan lingkungan hidup.
Salah satu perubahan aturan yang dinilai krusial ialah bergantinya Komisi Penilai Amdal menjadi tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk Lembaga Uji Kelayakan oleh pemerintah pusat.
Ada pula persoalan bergantinya izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan sebagai syarat memperoleh izin usaha. Pasal lain yang dipersoalkan terkait penghapusan upaya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila izin lingkungan dianggap bermasalah.
Kemudian, pihak yang melakukan usaha tanpa Amdal, UKL-UPL, dan pengelolaan limbah hanya dikenai sanksi administratif dalam UU Cipta Kerja. Sanksi administratif juga berlaku bagi pihak yang mencemarkan lingkungan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya kesehatan, luka, dan/atau kematian. Dalam UU PPLH, sanksi bagi pihak-pihak tersebut dapat berupa pidana atau perdata.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengubah Pasal 88 UU PPLH dengan menghilangkan frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Padahal, pasal tersebut sebelumnya kerap digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak lingkungan hidup dan pembakar hutan.