Edisi Khusus | Masyarakat Adat

Perekonomian Mandiri dan Berkelanjutan

Penulis: Fitria Nurhayati - Tim Riset dan Publikasi
27/1/2021, 08.54 WIB

Dengan memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupan, Masyarakat Adat mengelola perekonomian secara berkelanjutan. Praktik berkelanjutan tersebut seperti membuat batas khusus antara wilayah yang dimanfaatkan atau dibiarkan, membagi pemanfaatan lahan sesuai kontur tanah, dan implementasi sistem sasi untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Berdasarkan kajian AMAN pada 2018, valuasi ekonomi dari 6 wilayah adat (Kaluppini, Siberuang, Moi Kelim, Kajang, Kasepuhan Karang, dan Saureinu) mencapai miliaran rupiah. Nilai ekonomi dari pengelolaan sumber alam lestari senilai Rp159 miliar dalam setahun, sedangkan nilai manfaat dari produk alamnya Rp26-35 miliar per tahunnya.

Sebagai usaha mandiri secara ekonomi, Masyarakat Adat juga membuat koperasi dan badan usaha. Dengan rincian, tiga Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA), satu Credit Union Pancoran Kehidupan (CU RANDU), dan Koperasi Produsen AMAN Mandiri (KPAM) satu di tingkat nasional dan 11 di tingkat cabang.

Selain itu, terdapat 110 Fasilitator usaha komunitas, 49 Kelompok usaha kedaulatan pangan, dan 22 Kelompok usaha perempuan, kaum muda, dll. Ragam jenis usahanya berupa kerajinan, hasil hutan, perkebunan, kuliner, pertanian, peternakan, jasa ekowisata.

Adanya BUMMA, KPAM, dan CU RANDU menghasilkan Masyarakat Adat tidak lagi bergantung pada tengkulak, memiliki kepastian harga dan akses pasar, ditambah keuntungan usaha naik sampai 40 persen.