Bank Dunia sempat menyebutkan bahwa Indonesia termasuk 35 negara berisiko tinggi terjadi korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat bencana. Kerugian akibat bencana diperkirakan mencapai Rp 22,8 triliun setiap tahunnya (2000 – 2016), sedangkan nilai dana cadangan dari pemerintah hanya sekitar Rp 3,1 triliun.
Anggaran pembiayaan pemerintah tersebut semakin tampak belum memadai jika bertolak kepada gempa bumi dan tsunami di Aceh pada 2004. Kejadian ini menelan kerugian hingga Rp 51,4 triliun. Oleh karena itu, negeri ini membutuhkan alternatif pembiayaan bencana, misalnya melalui asuransi.
Namun, tantangan selanjutnya ialah bagaimana meningkatkan literasi masyarakat terhadap asuransi. Pasalnya, penetrasi asuransi bencana alam disebut-sebut relatif masih rendah, khususnya selama 2020 kurang dari 0,5 persen. Sementara itu, masyarakat yang melek asuransi baru sekitar 19 persen.
Beberapa jenis asuransi yang bisa dimanfaatkan untuk mengantisipasi bencana, ialah asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kendaraan, asuransi properti, dan asuransi pertanian. Guna meningkatkan penetrasinya, dibutuhkan produk asuransi bencana dengan biaya terjangkau. Semakin banyak dana investasi asuransi dari masyarakat, maka kapasitas menutup klaim oleh perusahaan asuransi semakin baik.