Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan ada 3.372.615 hektare (Ha) lahan kelapa sawit yang terlanjur ada di kawasan hutan Indonesia. Sekitar 44 persen (1.497.421 Ha) merupakan hutan produksi terbatas (HPT), 33 persen (1.127.428 Ha) hutan produksi konversi (HPK), 15 persennya (501.572 Ha) hutan produksi tetap (HP), dan terdapat juga di hutan lindung (115.119 Ha, 3 persen), juga hutan konservasi (91.074 Ha, 3 persen).
Mekanisme penyelesaian pun diupayakan ada dalam Undang Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan Oktober lalu. Tepatnya di Pasal 110A dan 110B. Singkatnya perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan ataupun tetap beroperasi setelah membayar denda administratif.
Sementara untuk kawasan hutan lindung dan konservasi kemungkinannya antara melanjutkan usaha dengan beberapa syarat atau pengembalian kepada negara. Adapun untuk perkebunan rakyat mendapat pengecualian, jika terbukti berada di wilayah tersebut minimal lima tahun dengan luas tidak lebih dari 5 Ha akan diizinkan pengelolaan tanpa ada denda. Selain itu ketentuan detil mengenai hal ini dapat ditemukan dalam aturan turunan UU Cipta Kerja, PP 24/2021 tentang Tata Cara Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP Dari Denda Adminisstrasi Bidang Kehutanan.
Beberapa pegiat lingkungan melihat hal ini sebagai ‘fasilitas’ bagi mereka yang sudah melanggar izin. Dalam analisisnya, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyampaikan, dengan menjadikan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) sebagai sanksi administratif akan menimbulkan masalah, karena keduanya merupakan kewajiban, bukan respon dari ketidaktaatan. Dikhawatirkan pelanggar dapat melepaskan tanggung jawab hukum dan memberikan kemungkinan untuk mengulangi perbuatannya.
Selain itu absennya sanksi pemulihan lingkungan juga mengkhawatirkan, mengingat perlakuan terbaik untuk lingkungan selain mencegah kerusakannya adalah memulihkannya.