Indonesia masih menjadi pusat ekonomi digital di Asia Tenggara. Hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company menujukkan, nilai ekonomi digital Indonesia yang tercermin dari total nilai penjualan (gross merchandise value/GMV) diprediksi sebesar US$ 70 miliar pada 2020, atau naik 49% dibandingkan GMV tahun lalu.
Nilai penjualan Indonesia mencapai 40% dari total GMV Asia Tenggara yang diproyeksikan sebesar US$ 174 miliar. Pada 2025, riset bertajuk “e-Conomy SEA 2021” tersebut memprediksi total GMV Asia Tenggara sebesar US$ 363 miliar. Dari total tersebut, Indonesia diperkirakan berkontribusi US$ 146 miliar.
Besarnya potensi pasar digital Indonesia diakui pula oleh Bank Dunia. Dalam laporan berjudul “Beyond Unicorns: Hornessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia” menyatakan bahwa partisipasi masyarakat Indonesia dalam e-commerce masih memiliki ruang untuk tumbuh.
Hal ini menjadi peluang bagi pelaku usaha digital untuk terus memperluas pasar guna meningkatkan keuntungan. Kendati demikian, ekonomi digital Indonesia berpotensi menghadapi sejumlah tantangan.
Bank Dunia mengidentifikasi tiga potensi gesekan yang dapat terjadi di sektor ekonomi digital. Pertama, antara pedagang online dan offline. Ini dikarenakan suburnya pedagang online menjadi ancaman bagi pelaku usaha lokal yang tidak memanfaatkan ranah digital.
“Sebagai contoh 78% konsumen membeli makanan secara online untuk menggantikan pengalaman bersantap di luar,” sebut laporan tersebut.
Kemudian, gesekan di antara pedagang online. Ini lantaran pedagang yang memiliki modal besar lebih diuntungkan. Sebanyak 1% penjual teratas menyumbang hampir setengah dari total penjualan, sedangkan 10% teratas menyumbang hampir 80% dari semua penjualan (winner takes all).
Terakhir, adanya gesekan antara pekerja dan pengusaha. Pekerja di ranah digital tidak memiliki kekuatan dan memiliki tuntutan kerja tinggi. Gesekan ini diperparah dengan adanya kesenjangan kapasitas talenta digital.