Beberapa waktu terakhir, fenomena flexing cukup ramai dibicarakan masyarakat. Fenomena ini seiring dengan munculnya istilah “sultan” atau crazy rich di media sosial

Beberapa perusahaan pun memanfaatkannya sebagai salah satu strategi marketing yang dianggap ampuh menjaring perhatian setiap orang.

“Banyak vlogger atau content creator yang menjadikan ajang flexing atau pamer kemewahan ini sebagai konten di laman media sosialnya, yakni dengan menunjukkan barang branded hingga rumah mewah,” ujar ahli pemasaran Rhenald Kasali melalui akun Youtube.

Secara makna, flexing merupakan perilaku pamer di media sosial dengan model unggahan mengenai pencapaian atau prinsip secara pribadi. Tujuan seseorang melakukan flexing bisa bermacam-macam yaitu untuk kepentingan endorsement, menunjukkan kredibilitas atas suatu kemampuan, dan mendapatkan pasangan yang kaya.

Perilaku flexing juga tidak semata-mata sebagai bentuk pencitraan diri, melainkan bisa dibuat sebagai alat marketing perusahaan.

Apa yang mereka lakukan merupakan market signalling atau aktivitas mengirimkan sinyal marketing. Strategi ini biasanya dilakukan dengan bekerja sama dengan influencer media sosial sehingga cepat menarik perhatian pasar.

Tentunya, ada perusahaan yang murni berbisnis dengan menggunakan flexing sebagai alat marketing. Namun tidak sedikit yang menggunakan flexing sebagai modus penipuan.

Pelanggan yang tidak cermat dan dibutakan keinginan untuk mendapatkan kekayaan dalam waktu singkat dapat menjadi korban penipuan dari pihak yang melakukan flexing. Oleh sebab itu, masyarakat perlu hati-hati, terus mencari tahu, dan tidak mudah terbuai oleh iming-iming suatu investasi atau produk yang kurang masuk akal.