Tarif pajak pertambahan nilai (PPN) Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Saat ini tarif PPN sebesar 11% dan akan dinaikkan menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Hal ini diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Di Asia Tenggara, hanya Filipina yang menetapkan tarif PPN sebesar 12%. Negara-negara lain, menerapkan pajak yang lebih rendah.
Meski sudah diatur dalam UU HPP, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tidak menutup kemungkinan menunda kenaikan tarif. Ini karena penerapan tarif PPN 12% tetap akan mengikuti peraturan dan etika politik yang santun.
“PPN 12% itu sesuai dengan fatsun politiknya saja, undang-undang harmonisasi perpajakan yang dibahas kita semua setuju, namun kita juga harus menghormati pemerintahan baru, “ ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, pada Selasa, 19 Maret 2024.
Dia mengatakan akan ada pembahasan soal target penerimaan pajak dalam pemerintahan baru. Jika target penerimaan masih menggunakan tarif 11%, pemerintah bisa melakukan penyesuaian terhadap UU HPP.
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menilai kenaikan PPN 12% akan berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat, terutama kalangan kelas menengah yang pendapatannya di kisaran Rp4 juta - Rp5 juta per bulan.
Menurut Eddy, ada perbedaan kelompok kelas menengah dengan kelompok bawah atau masyarakat miskin yang menjadi target sasaran kebijakan bantuan sosial (bansos) pemerintah. Sebab, kelompok menengah tidak memiliki ketahanan yang cukup untuk mengakomodasi dampak kenaikan inflasi.
Sementara itu, kelompok menengah memiliki peran signifikan dalam menopang perekonomian. Bila kelompok ini tidak mendapatkan perhatian, ada kemungkinan masyarakat kelas menengah turun kelas ke kelompok miskin. “Kami ingin agar kenaikan PPN 12% dikaji kembali,” ujar Andreas.