Awal bulan ini, situs pemantau udara IQAir mencatatkan Jakarta ke dalam tiga besar kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Jakarta berada di peringkat 162, bersanding dengan Kinshasa, Kongo dengan poin 194 poin dan Kampala, Uganda 183 poin.
Menurut kriteria IQAir, peringkat 151-200 tergolong sebagai udara tidak sehat bagi manusia untuk berkegiatan di luar ruangan.
Berdasarkan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, kandungan zat berbahaya dalam polusi udara di antara lain berupa sulfur dioksida (SO2), nitrik oksida dan nitrogen dioksida (NOx), karbon monoksida (CO), dan zat lain dengan ukuran particulate matter (PM) 10 dan 2,5.
Secara spesifik, emisi PM2,5 berbahaya bagi kesehatan karena berukuran sangat kecil dan tidak mudah tersaring, sehingga lebih mudah terserap dalam aliran darah dalam tubuh.
Pada tahun 2020, sumber utama polusi udara Jakarta berasal dari empat sektor yaitu transportasi, industri, pembangkit listrik, dan lainnya.
Transportasi menjadi penyumbang terbesar. Data mencatat sektor ini menghasilkan kandungan zat berbahaya berupa 11,6 persen SO2, 72,4 persen NOx, 96,4 persen CO, 58 persen PM10, dan 67 persen PM2,5.
Sektor industri menyumbang SO2 62 persen, 11,2 persen NOx, 1,2 CO, 33,9 persen PM10, dan 26,8 persen PM2,5.
Pembangkitan listrik sebagai sektor ketiga terbesar menghasilkan 25,2 persen SO2, 11,5 persen NOx, 1,7 COm 7,8 PM10, dan 5,7 persen PM2,5.
Dalam konteks polusi udara yang lebih luas, Jakarta bukan satu-satunya wilayah dengan kualitas udara yang buruk. Vital Strategies pada pertengahan Juni menemukan 5 kota paling berpolusi di Indonesia.
Kelima tempat itu adalah Tangerang Selatan yang berstatus "Sangat Tidak Sehat" dengan konsentrasi PM2,5 mikrogram per meter kubik (µg/m3) sebanyak 28,6 kali.
Jakarta, Bandung, dan Surabaya masuk dalam kategori udara "Tidak Sehat" dan masing-masing memiliki ukuran PM2,5 sebanyak 16 kali, 13,2 kali, dan 12,7 kali.
Sementara Palembang berstatus "Tidak Sehat Bagi Kelompok Sensitif" dan konsentrasi 8,8 kali.