Transisi energi menjadi salah satu pembahasan penting dalam upaya dekarbonisasi untuk menghalau krisis iklim. Namun, tidak semua pihak memiliki akses dan peran yang sama. 

Menurut survei yang dilakukan Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), peran dan partisipasi perempuan masih minim dalam transisi energi. Survei dilakukan di lima provinsi yang memiliki potensi energi terbarukan yang tinggi dengan pertimbangan tiga wilayah memiliki capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) rendah (Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Papua), dan dua wilayah dengan capaian IPG tinggi (Sulawesi Utara dan Bali). 

Hasil survei di lima provinsi tersebut menunjukkan jika laki-laki masih mendominasi keputusan terkait energi rumah tangga, jumlahnya sebesar 42% dari keseluruhan responden, sementara perempuan hanya 19%.

Di daerah-daerah luar Jawa, partisipasi perempuan secara umum juga masih sangat minim. Sebanyak 90% perempuan belum pernah berpartisipasi dalam kegiatan atau gerakan yang berkaitan dengan energi terbarukan.

Informasi dan pemahaman yang terbatas menjadi salah satu faktor penyebabnya. Dalam survei tersebut diketahui sebanyak 30% perempuan mengaku tidak mengetahui tentang isu energi terbarukan dan 48% tidak memahami pilihan-pilihan energi terbarukan yang tersedia.

Agar dapat meningkatkan partisipasi, ada beberapa tantangan, baik  dari pihak penyedia maupun pengguna energi. Dari sisi penyedia energi, ada masalah keterbatasan data, kebijakan energi yang inkonsisten, dan kurangnya kompetensi atau kesadaran terkait gender.

Sedangkan dari sisi pengguna energi menghadapi tantangan berupa keterbatasan sumber daya dan kemampuan, kebutuhan untuk diberikan pendampingan, serta masih melekatnya stereotipe gender.

Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, PYC mengajukan beberapa rekomendasi. Pertama, dibutuhkan kebijakan dan peraturan yang inklusif.  Kementerian terkait, termasuk ESDM, harus menyusun rencana aksi terintegrasi. KPPPA yang telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI) perlu berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk mencapai sinergi optimal dalam kebijakan energi.

Selain itu,  diperlukan juga akses terhadap  teknologi yang sesuai kebutuhan setempat, serta ketersediaan akses untuk pembiayaan terjangkau seperti hibah.

Kedua, dibutuhkan peningkatan kompetensi dan partisipasi. Hal ini berupa kegiatan pemberdayaan yang meningkatkan literasi energi. Perlu adanya program pelatihan yang berfokus pada teknologi energi terbarukan, efisiensi energi, dan keterampilan teknis lainnya, serta pengembangan keterampilan manajerial dan kewirausahaan. 

Selain itu, perlu dilakukan pemberdayaan tingkat struktural seperti peningkatan kapasitas organisasi lokal untuk membantu perempuan dalam mengelola konsumsi energi rumah tangga dengan lebih efisien dan memperkenalkan pada potensi penghematan energi melalui penggunaan teknologi terbarukan.

Terakhir, kolaborasi dan kemitraan lintas-pihak seperti antara LSM, swasta, dan komunitas lokal menjadi elemen kunci dalam memastikan keberhasilan dan keberlanjutan program literasi energi, memfasilitasi pelatihan teknologi energi terbarukan, sekaligus menjembatani pemerintah dan masyarakat untuk memastikan program dapat diimplementasikan dengan efektif.