Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengemban tugas besar untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Atas dasar itu, pemerintahan terkini memiliki Asta Cita atau delapan visi yang ingin dicapai selama periode 2024-2029.
Beberapa isi Asta Cita antara lain meningkatkan pembangunan sumber daya manusia (SDM) serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, saat ini pemerintah tengah dihadapkan pada tantangan masih banyaknya pekerja yang belum terlindungi jaminan sosial.
Apabila melihat Peta Jalan Jaminan Sosial Tahun 2023-2024, pemerintah telah menetapkan perkiraan jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada tahun 2024 mencapai 101,8 juta orang.
Untuk menjangkau kepesertaan semesta pada tahun 2030 mendatang, pemerintah menargetkan tahun ini BPJS Ketenagakerjaan mampu melindungi 53,52 juta pekerja untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Sedangkan untuk tiga program lain targetnya beragam yakni Jaminan Hari Tua (JHT) sebanyak 24 juta pekerja, Jaminan Pensiun (JP) 16 juta pekerja, serta Jaminan Kehilangan Pekerjaan 13 juta pekerja.
Sayangnya, menurut data BPJS Ketenagakerjaan, baru 40,12 juta pekerja yang telah menjadi peserta aktif atau 39,4 persen dari total pekerja aktif. Sebaliknya, ada 60,6 persen atau 61,68 juta pekerja belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
Berbeda dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Di Malaysia, pada bulan September 2023, 70 persen pekerja terdaftar dalam jaminan sosial ketenagakerjaan Social Security Organization (SOCSO).
Sedangkan di Singapura, per Desember 2023 peserta Central Provident Fund (CPF) sebanyak 4,5 juta, jauh lebih banyak dibandingkan total angkatan kerja yang berjumlah 3,9 juta jiwa.
Belum maksimalnya jumlah pekerja yang terlindungi tersebut tentu menjadi perhatian bagi seluruh pihak. Pasalnya, UU 24 tahun 2011 secara tegas menyebut bahwa setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial.
Sejauh ini program ini diharapkan mampu menjadi jaring pengaman bagi masyarakat dan khususnya pekerja agar tak jatuh ke dalam jurang kemiskinan jika mengalami guncangan ekonomi.
Terlebih kondisi perekonomian global saat ini dipenuhi dengan ketidakpastian yang dapat memicu tumbuhnya angka kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Dalam sebuah laporan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada bertajuk Pemetaan Tingkat Literasi dan Prioritas Masyarakat Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, terungkap bahwa tingkat literasi masyarakat pekerja terhadap pentingnya perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan masih rendah.
Dari 450 responden yang berasal tiga provinsi yakni Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan, ditemukan bahwa 63 persen responden tidak mengetahui manfaat yang bisa didapatkan jika terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Di sisi lain 37 persen sisanya menyatakan mengetahuinya.
Padahal di sisi lain banyak manfaat yang bisa dirasakan pekerja apabila menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Salah satu manfaat program JKK ialah perawatan tanpa batas biaya hingga sembuh.
Selanjutnya jika dalam masa pemulihan, peserta tidak dapat bekerja untuk sementara waktu, BPJS Ketenagakerjaan juga akan memberikan santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) sebesar 100 persen upah yang dilaporkan selama 12 bulan, dan selanjutnya 50 persen upah hingga sembuh.
Apabila peserta tersebut meninggal dunia akibat kecelakaan kerja, santunan yang diberikan mencapai sebesar 48 kali upah yang dilaporkan.
Sedangkan jika meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja maka manfaat yang akan diterima berasal dari program Jaminan Kematian (JKM) yakni berupa uang tunai senilai total Rp42 juta.
Terdapat juga manfaat beasiswa pendidikan bagi dua orang anak dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi maksimal sebesar Rp174 Juta.
Untuk program JHT dan JP manfaatnya berupa uang tunai yang dapat dirasakan saat pekerja telah memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.
Selanjutnya JKP, yakni program baru yang diluncurkan pasca terbitnya UU Cipta Kerja. Melalui JKP, pemerintah ingin para pekerja yang mengalami risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat mempertahankan derajat kehidupan yang layak lewat manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.
Manfaat uang tunai diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, sedangkan akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja akan diselenggarakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.