Pernyataan bersama Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Cina Xi Jinping pada 9 November lalu menimbulkan kontroversi. Salah satu butir dalam pernyataan bersama tersebut menginginkan adanya kerja sama di bidang maritim, terutama dalam pembangunan bersama di wilayah-wilayah yang selama ini masih tumpang tindih klaim.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo menilai, pernyataan bersama tersebut membuat Indonesia secara tidak langsung mengakui klaim sepihak Cina di Laut Cina Selatan.
”Secara yuridis dapat dianggap sebagai pengakuan secara diam-diam klaim terhadap nine dash line Cina atas Laut Cina Selatan, khususnya Laut Natuna Utara,” kata Eddy dikutip dari Kompas pada 11 November.
Menurut pakar hukum laut internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, semestinya kerja sama dengan Cina tidak mengorbankan kedaulatan Indonesia dan kepentingan ASEAN.
“Karena jika demikian, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Cina telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan,” ujar Hikmahanto dikutip dari VOA pada 26 November.
Konflik Laut Cina Selatan melibatkan banyak negara di kawasan Asia Tenggara. Setidaknya ada empat negara yang bermasalah atas klaim Cina yang disebut sembilan garis putus-putus itu, yakni Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Sembilan garis putus-putus Cina tersebut diklaim berlandaskan dari jejak historis nelayan tradisional Cina yang diklaim berlayar hingga cukup jauh. Namun, klaim Cina untuk teritori laut tersebut tak sejalan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS yang menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis pantai sebuah negara.
Jika merujuk pada perkiraan United States of Geological Survey (USGS), Laut Cina Selatan memiliki cadangan minyak sebanyak 2,4 - 9,4 miliar barel minyak, dan 62 - 216 triliun kaki kubik gas alam pada 2023.