Menurut data European Commission, volume emisi gas rumah kaca global pada 2022 mencapai 53,79 gigaton setara karbon dioksida (GTCO2e). Pembangkit listrik menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di dunia sebesar 14,77 GTCO2e. Sebagai perbandingan, PLTU batu bara kapasitas 1.000 megawatt (MW) menghasilkan dampak pemanasan global setara dengan 1,2 juta mobil.

Menyadari PLTU menjadi pemicu utama emisi karbon dan perubahan iklim, berbagai negara di dunia berlomba mengurangi penggunaannya melalui program pensiun dini PLTU batu bara. Global Energy Monitor mencatat Amerika Serikat pensiunkan PLTU hingga 163 ribu MW serta Tiongkok hingga 124 ribu MW. Sementara itu, Indonesia justru menghadapi fenomena meningkatnya PLTU captive—pembangkit listrik yang khusus didirikan untuk industri tertentu— di saat dorongan pensiun dini PLTU semakin menguat.

Menurut laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor, Tracing Indonesia’s captive power growth: No sign of slowdown in 2024, dalam rentang waktu Juli 2023 hingga Juli 2024, kapasitas PLTU captive bertambah 4,5 gigawatt (GW) menjadi 15,2 GW. Jumlah tersebut mendominasi kenaikan total PLTU yang mencapai 7,2 GW. Kapasitas PLTU captive di Indonesia diperkirakan akan mencapai 17,1 GW pada akhir tahun ini. Bahkan jika dibandingkan, PLTU captive di Indonesia tumbuh hingga 15 kali lipat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.