Mendirikan perusahaan rintisan alias startup di sektor kesehatan, khususnya bioteknologi di Indonesia bukan hal yang mudah. Apalagi, produk bioteknologi dalam hal personalisasi kesehatan masih baru bagi masyarakat, sehingga membutuhkan kerja keras untuk pengenalannya. 

Startup Nalagenetics menawarkan layanan teknologi medis yang berfokus pada personalisasi skrining dan intervensi. Di mana, perusahaan akan menganalisa data genetik dan menghasilkan produk berupa personalisasi obat, nutrisi dan juga skrining. 

"Kami tertarik menggunakan data genetik untuk menyelesaikan perbedaan isu kesehatan," kata CEO dan Co-Founder Nalagenetics, Levana Sani dalam Scaled Up Growth Program yang diadakan Katadata.co.id, pekan lalu.

Produk-produk startup Nalagenetics diklaim bisa membantu para dokter agar lebih efektif dalam menjaga pasien mereka. Namun, pengalaman Levana di lapangan menunjukkan, tidak semua dokter bisa menerima teknologi baru tersebut, sehingga butuh upaya lebih untuk mengenalkan produknya ke masyarakat. Padahal, dokter memiliki peran besar dalam memberikan rekomendasi pengobatan.

"Awalnya kami pendekatan ke dokter karena berpikir untuk mengganti obat, itu ke dokter. Namun, dokter di Indonesia belum dapat beradaptasi dengan teknologi karena masih sangat baru meski ada yang semangat. Ini membutuhkan waktu,” ujarnya.

Kini, pihaknya lebih memfokuskan pemasaran produk langsung ke pasien. Dengan begitu, harapannya produk Nalagenetics bisa lebih dikenal masyarakat. 

Levana juga menekankan pentingnya masyarakat untuk melakukan personalisasi kesehatan. Selain untuk menghindari risiko buruk ke depan, personalisasi juga mampu menekan biaya kesehatan.

Berangkat dari pengalaman pribadinya, Levana bercerita kalau kakeknya sempat mengalami pengalaman buruk karena penyakit yang dideritanya. Saat itu, kakeknya harus meminum obat aritmia dan bukan bertambah baik, justru muncul efek-efek baru yang berisiko bagi kesehatan. 

Banyaknya obat yang dikonsumsi, membuat kakek Levana mengalami beragam efek samping, bahkan ada yang sifatnya mirip parkinson (penyakit saraf). Kemudian, kakeknya di bawah ke Amerika Serikat (AS) dan dokter menyatakan obat yang dipakai selama ini tidak efektif dan tidak diperlukan.

"Dokter di AS bilang, 80 % obat yang dipakai kakek tidak efektif dan tidak perlu, kalau obat jantung, obat aritmia pertama beliau itu cocok," ujar Levana.

Saat kejadian tersebut, Levana tengah bekerja sebagai periset di Singapura dan mempelajari ilmu genetik. Dari sana, dia berkenalan dengan personalisasi pengobatan sebagai solusi agar pasien bisa mendapatkan obat sesuai kebutuhan dan tepat. 

Nalagenetics (Nalagenetics)

"Beberapa goals yang paling penting, yakni bagaimana memberikan impact dari prevention (pencegahan) menggunakan genetic testing. Kalau banyak yang skrining, ujungnya berapa biaya kehidupan yang bisa diselamatkan," katanya.

Melalui penerapan personalisasi kesehatan, Levana melihat adanya potensi penghematan besar, termasuk dalam hal pengobatan pasien dan peluang untuk diterapkan di Indonesia. Pada kasus penderita kanker payudara, dia mengatakan personalisasi obat metamoksifen dapat menghemat biaya pengobatan hingga 40%.

“Itu tes yang sudah ada di beberapa rumah sakit dan menurut kami sangat live saving. 40% perempuan menghemat pengeluaran untuk pengobatan ini,” ujarnya.

Selain lebih fokus pada pasien, startup Nalagenetics juga berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjawab tantangan yang ada. Adapun pihak yang menjalin kerja sama dengan startup Nalagenetics dalam skrining genetik, di antaranya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), rumah sakit, dan perusahaan asuransi kesehatan.

Sebelumnya, startup Nalagenetics  sempat meraih juara pertama kategori kesehatan atau healthcare, dalam forum internasional G20 Innovation League 2021 yang digelar di Sorrento, Italia, pada 9 - 10 Oktober 2021. Perusahaan rintisan itu dipilih oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo, untuk mengatasi tantangan global yang digarisbawahi oleh G20 di forum tahun lalu.