Biografi Cut Nyak Dien, Pahlawan Indonesia dari Aceh

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.
Seorang juru pelihara membersihkan salah satu sudut ruangan bekas rumah tinggal Cut Nyak Dien di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (15/6/2020).
Editor: Agung
18/4/2024, 11.01 WIB

Cut Nyak Dien adalah salah satu tokoh pahlawan Indonesia Indonesia yang dikenal karena perjuangannya dalam memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda pada abad ke-19. Dia lahir dengan nama Cut Nyak Meutia pada tahun 1848 di Aceh, dan kemudian menikah dengan Teuku Umar, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan Aceh.

Setelah suaminya gugur dalam perang melawan Belanda, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan melawan penjajah. Cut dikenal karena keberaniannya dalam memimpin gerilyawan Aceh melawan pasukan Belanda, dan dia menjadi simbol perlawanan yang gigih dan tidak kenal menyerah.

Meskipun menghadapi berbagai kesulitan dan kehilangan, termasuk kematian suami dan anak-anaknya, Cut Nyak Dien tetap bertahan dan melanjutkan perjuangannya hingga akhir hayatnya. Pada tahun 1879, Cut Nyak Dien tertangkap oleh pasukan Belanda dan diasingkan ke Jawa. Namun, dia terus memimpin perlawanan dari pengasingannya.

Meskipun akhirnya ditangkap kembali dan meninggal dalam keadaan yang tidak jelas pada tahun 1908, namanya tetap diabadikan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan dan martabat bangsa. Untuk mengenalnya lebih jauh, berikut biografi Cut Nyak Dien.

Biografi Cut Nyak Dien

Bekas rumah tinggal Cut Nyak Dien di Sumedang (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj)

Cut Nyak Dien, seorang tokoh yang berasal dari keluarga bangsawan Aceh, dilahirkan pada tahun 1848 di desa Lam Padang Peukan Bada, yang terletak di wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Saat masih berusia 12 tahun, dia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga, anak dari Teuku Po Amat, yang merupakan Uleebalang Lam Nga XIII.

Teuku Ibrahim dikenal sebagai seorang pemuda yang memiliki pengetahuan luas dan sangat taat pada ajaran agama. Dari pernikahan mereka, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Keterlibatan Teuku Ibrahim dalam perjuangan melawan penjajah Belanda sering kali membuatnya meninggalkan Cut Nyak Dien dan anak mereka.

Setelah beberapa bulan meninggalkan Lam Padang, Teuku Ibrahim kembali untuk memberi perintah agar Cut Nyak Dien dan warga lainnya mengungsi dan mencari perlindungan di tempat yang lebih aman. Akibatnya, pada tanggal 29 Desember 1875, Cut Nyak Dien dan sejumlah penduduk lainnya mengikuti perintah tersebut dan meninggalkan Lam Padang.

Namun, tragedi datang menghampiri Cut Nyak Dien ketika suaminya, Teuku Ibrahim, meninggal dunia pada tanggal 29 Juni 1878. Meskipun terpukul oleh kehilangan yang begitu besar itu, Cut Nyak Dien tidak menyerah pada takdir. Sebaliknya, kematian suaminya menjadi dorongan yang kuat baginya untuk melanjutkan perjuangan dan menggantikan peran Teuku Ibrahim dalam memimpin perlawanan melawan penjajah Belanda.

Setelah kehilangan suaminya, Cut Nyak Dien memutuskan untuk menikah lagi, kali ini dengan Teuku Umar, yang juga merupakan cucu dari kakeknya. Persekutuan ini tidak hanya berhubungan dengan ikatan pernikahan, tetapi juga didorong oleh semangat bersama untuk melawan penjajah Belanda yang telah lama mendominasi tanah Aceh.

Keputusan Cut Nyak Dien untuk menikahi Teuku Umar tidaklah hanya karena keinginan untuk memiliki sosok kepala keluarga di sisinya, melainkan juga karena dia ingin memiliki seorang pasangan yang mendukungnya untuk terlibat dalam perang melawan Belanda. Mereka bertekad untuk memimpin perlawanan bersama, memimpin pasukan pejuang dengan semangat yang membara untuk merebut kembali kampung halaman Cut Nyak Dien yang telah direbut oleh Belanda.

Dalam perjuangan mereka, Teuku Umar bahkan berpura-pura tunduk kepada Belanda untuk mendapatkan pasokan senjata yang kemudian digunakan untuk melawan kembali penjajah. Namun, pengkhianatan ini tidak luput dari perhatian Belanda, yang kemudian memberi hukuman berat dengan mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya sebagai bentuk ganjaran.

Tidak hanya itu, Belanda juga mengirim unit “Maréchaussée” yang terdiri dari orang Tionghoa-Ambon, yang sangat sulit dikalahkan oleh pasukan Aceh. Meskipun akhirnya unit tersebut dibubarkan oleh Belanda atas alasan iba terhadap rakyat Aceh, pasukan pemberontak terus berjuang di bawah pimpinan Cut Nyak Dien, meski dia sudah mulai mengalami masalah kesehatan dan kesulitan mendapatkan pasokan makanan untuk pasukannya.

Meskipun memberikan perlawanan yang gigih, pasukan Cut Nyak Dien akhirnya kalah pada tahun 1901 karena kekuatan tentara Belanda yang terlatih dan keahlian mereka dalam berperang di Aceh.

Pada saat yang sama, Cut Nyak Dien sendiri sudah mulai mengalami masalah kesehatan dan kesulitan mendapatkan pasokan makanan untuk pasukannya. Meskipun demikian, semangat perlawanan Cut Nyak Dien tetap terus menyala hingga akhir hayatnya.