Peringati 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer, Bunga Penutup Abad Bersemi Kembali
Yayasan nirlaba TITIMANGSA bersama Bakti Budaya Djarum Foundation menghadirkan kembali 'Bunga Penutup Abad' di Ciputra Artpreneur, Kuningan, Jakarta Selatan.
Pementasan teater yang terinspirasi dari dua buku pertama Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa ini ditampilkan mulai dari 29 hingga 31 Agustus 2025. Karya Pram ini dinilai masih relevan dengan konteks kemanusiaan hari ini, sekaligus dapat menjembatani budaya lintas generasi.
“Di tengah seni pertunjukkan yang semakin dinamis, ternyata karya sastra dengan latar 1.900-an dan teks yang panjang masih bisa mengikat hati penonton,” kata Happy Salma, yang menjadi pemain sekaligus memproduseri pertunjukan teater tersebut, Kamis (28/8).
Cerita dibuka dengan adegan Minke (diperankan oleh Reza Rahadian) yang membacakan surat yang dikirimkan Panji Darman, pegawai Nyai Ontosoroh (diperankan oleh Happy Salma). Panji Darman dipercayakan untuk menemani Annelies (diperankan oleh Chelsea Islan) yang terpaksa berlayar kembali ke Belanda, meninggalkan ibunya Nyai Ontosoroh dan suaminya Minke.
"Annelies telah berlayar," ujar Minke. Lampu panggung menyorot Minke dan Nyai Ontosoroh yang terduduk diam setelah membaca surat Panji Darman.
Pementasan ulang ‘Bunga Penutup Abad’ juga sekaligus memperingati 100 tahun kelahiran Pram (1925-2025) dan menjadi bagian dari rangkaian peringatan Seabad Pram yang digelar oleh Pramoedya Ananta Toer Foundation.
Pementasan yang disutradarai oleh Wawan Sofwan ini telah memasuki tahun keempatnya. Sebelumnya, pementasan dengan judul sama sukses digelar pada 2016, 2017, dan 2018.
“Pementasan kali ini jadi reuni yang menyenangkan dengan pihak-pihak yang pernah bekerja sama sebelumnya, sekaligus pertemuan dengan pihak-pihak yang baru kali ini terlibat,” kata Happy Salma.
Salah satu yang menarik dari pementasan ‘Bunga Penutup Abad’ kali ini adalah penggunaan revolving stage untuk pertama kalinya.
Selama kurang lebih dua jam pertunjukkan, alih-alih menggunakan tirai panggung untuk transisi pergantian latar tempat, pertunjukkan menggunakan panggung putar yang lebih imersif. Seperti pergantian latar dari rumah Nyai Ontosoroh ke latar tempat karakter Jean Marais (yang diperankan Andrew Trigg) melukis potret Annelies.
Tata pencahayaan di panggung digunakan untuk membedakan latar waktu dalam setiap adegannya. Sorotan lampu yang lebih cerah dan warna-warni cenderung digunakan untuk menandakan adegan kilas balik ketika Annelies masih tinggal di rumah Nyai Ontosoroh.
Tidak ketinggalan dalam pertunjukan itu, kalimat ikonik Nyai Ontosoroh kepada Minke yang diambil dari penggalan novel Anak Semua Bangsa. “Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."
Penonton juga diajak menyelami kompleksitas masing-masing karakter Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies. Ketegangan konflik dibangun dengan apik, membuncah di sejumlah adegan.
Mulai dari perdebatan Jean Marais dengan Minke yang menolak menulis menggunakan bahasa Melayu, hingga ketika Nyai Ontosoroh merasa gagal mempertahankan Annelies yang terpaksa pulang ke Belanda karena keputusan Pengadilan Amsterdam.
“Kami memperkuat struktur dramatik, terutama perkembangan psikologis Annelies, sehingga cerita ini tidak hanya relevan untuk generasi muda, tetapi juga segar untuk mereka yang sudah pernah menonton sebelumnya,” kata sutradara Wawan Sofwan.