Menilik Sejarah dan Makna Halal bi Halal di Indonesia

Pinterest
Ilustrasi, ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri.
Editor: Agung
28/3/2024, 11.03 WIB

Tradisi halal bi halal tak terpisahkan dari Hari Raya Idul Fitri. Halal bi halal telah menjadi bagian dari budaya yang dijaga dengan baik oleh masyarakat Indonesia setiap tahunnya.

Halal bi halal adalah saat keluarga besar, instansi, lembaga, komunitas, atau organisasi berkumpul dalam satu tempat untuk saling memaafkan dan bersalaman satu sama lain. Semua umat muslim saling bersalaman dan mengucapkan maaf kepada sesamanya.

Berkenaan dengan itu, menarik mengetahui sejarah dan makna halal bi halal. Simak penjelasannya sebagai berikut.

Sejarah Halal bi halal di Indonesia

Ilustrasi, Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri (Pinterest)

Melansir dari NU Online, para ahli selama ini belum menemukan penjelasan tentang halal bi halal dalam Al-Qur'an atau Hadis. Istilah tersebut merupakan ciri khas Indonesia.

Bahkan, mungkin sulit dipahami oleh mereka yang bukan orang Indonesia, meskipun mereka mungkin memahami agama dan bahasa Arab. Hal ini karena istilah tersebut muncul secara historis dan filosofis oleh Kiai Wahab untuk menyatukan bangsa Indonesia yang tengah terjerat konflik saudara, sehingga diperlukan konsep yang menarik agar mereka mau berkumpul dan bersatu dalam proses memaafkan satu sama lain.

Istilah halal bi halal ada dalam manuskrip Babad Cirebon CS 114/PNRI, halaman 73. Dalam manuskrip tersebut, terdapat keterangan yang ditulis dalam huruf Arab Pegon yang berbunyi:

“Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan sami anglampah Halal Bahalal sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kampung.”

Sementara itu, tradisi halal bi halal sebenarnya telah ada sejak abad ke-18 atau sekitar tahun 1700-an, yang berasal dari praktik "Pisowanan" di Praja Mangkunegara Surakarta. Pada masa itu, setelah Idul Fitri, Raja Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) mengadakan pertemuan antara dirinya dengan para punggawa dan prajurit secara bersamaan di balai istana. Seluruh punggawa dan prajurit antri dengan tertib untuk memberikan penghormatan kepada raja dan permaisuri.

Istilah halal bi halal ini juga menjadi populer oleh pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo sekitar tahun 1935-1936. Pedagang martabak tersebut dibantu oleh pembantunya yang mempromosikan dagangannya dengan menggunakan kata-kata 'Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal.' Sejak saat itu, istilah halal bi halal mulai dikenal luas di kalangan masyarakat Solo.

Kemudian, masyarakat Solo dan sekitarnya mulai menggunakan istilah tersebut untuk menyebutkan kunjungan ke Taman Sriwedari pada Hari Raya Idul Fitri. Selanjutnya, pada era negara Indonesia, tradisi halal bi halal dipopulerkan kembali oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, yang memberikan saran kepada Presiden Sukarno untuk menyelenggarakan acara silaturahim antara pemimpin politik.

Ilustrasi, Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri (Pinterest)

Pada tahun 1948, Presiden Sukarno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara dalam rangka silaturahim yang diberi tema "Halal bi halal." Para tokoh politik duduk bersama untuk saling memaafkan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintahan mulai mengadakan halal bi halal.

Tradisi halal bi halal kemudian merambah ke seluruh masyarakat Indonesia dan tetap dipraktikkan hingga sekarang. Tradisi yang diselenggarakan dan dibakukan oleh pemerintah biasanya akan cepat menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Makna Halal bi halal

Halal bi halal tidak dapat diinterpretasikan secara literal satu per satu antara "halal", "bi", dan "halal", karena tidak akan menghasilkan makna yang sesuai. Secara etimologi, kata "halal" berasal dari bahasa Arab "halla", yang memiliki tiga makna: "halal al-habi" (benang yang kusut terurai kembali), "halla al-maa" (air yang keruh diendapkan), dan "halla as-syai" (menghalalkan sesuatu).

Dari tiga makna tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna halal bi halal adalah proses penyelarasan, penyucian, atau pembebasan dari kesalahan yang kemudian dihalalkan kembali. Artinya, bahwa semua kesalahan dapat berakhir, hilang, dan kembali ke keadaan semula.

Bahkan, istilah halal bi halal sudah dimasukkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dengan makna maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Pada umumnya halal bi halal diadakan di tempat tertentu oleh sekelompok orang. Selain itu, halal bi halal juga dapat diartikan sebagai silaturahim, yang bermakna hubungan dan kasih sayang.

Dari sudut pandang hukum fiqih, istilah "halal" yang secara tradisional digunakan untuk menentang kata "haram", ketika digunakan dalam konteks "halal bi halal", memberikan kesan bahwa pelakunya akan terbebas dari dosa.

Ilustrasi, Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri (Pinterest)

Dalam perspektif hukum fiqih, halal bi halal membuat sikap yang sebelumnya dianggap haram atau berdosa menjadi diperbolehkan atau tidak lagi berdosa. Namun, ini hanya tercapai jika persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum, seperti saling memaafkan, terpenuhi.

Dalam perspektif Al-Qur'an, halal yang diinginkan adalah halal yang thayyib, yang baik dan menyenangkan. Ini berarti setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang Muslim diharapkan membawa manfaat dan kesenangan bagi semua pihak.

Oleh karena itu, Al-Qur'an tidak hanya mendorong seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga untuk berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya. Berdasarkan semua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa halal bi halal menuntut para pelaku untuk memperbaiki hubungan yang rusak, mewujudkan perdamaian dalam konflik, dan terus-menerus berbuat baik satu sama lain.