Sejarah Kerajaan Singasari di Malang, Jawa Timur melahirkan cerita legenda yang populer di tengah masyarakat. Kisah tersebut mengenai Ken Arok pendiri Kerajaan Singasari dan Ken Dedes.
Dalam legenda, Ken Dedes merupakan istri Tunggul Ametung, akuwu (camat) wilayah Tumapel. Sedangkan, Ken Arok merupakan rakyat biasa yang membunuh, mengambil alih kekuasaan, dan merebut istri Tunggul Ametung.
Mengenal Ken Arok
Mengutip buku Ken Arok dan Ken Dedes (1985) oleh R.A. Kosasih, Ken Arok sebenarnya anak dari seorang pejabat daerah era Kerajaan Kediri, bernama Gajah Para. Gajah Para beristrikan perempuan asal Blitar yakni Ken Ndok.
Sayangnya, Gajah Para meninggal dunia ketika istrinya mengandung dan melahirkan Ken Arok. Dalam kitab Pararaton menceritakan, Ken Ndok dibawa ke pusat Kerajaan Kediri di Daha. Sebelum itu, Ken Ndok sempat meninggalkan bayinya di sebuah area pemakaman. Bayi Ken Arok kemudian ditemukan oleh seorang pencuri bernama Lembong dan diasuhnya.
Ken Arok pun tumbuh menjadi berandal dan suka berjudi, sehingga Lembong terpaksa mengusirnya karena terbebani dengan kebiasaan buruk anak angkatnya itu. Ken Arok lantas tinggal di rumah seorang penjudi kawakan bernama Bango Samparan yang hidup bersama dua istrinya dan punya banyak anak.
Ken Arok ternyata tidak betah hidup bersama keluarga besar itu dan memutuskan pergi dari rumah Bango Samparan, untuk menjalani kehidupan di jalanan.
Sepanjang perjalanan hidupnya, dia semakin dikenal sebagai perampok yang sering beraksi di wilayah Kerajaan Kediri. Sepak-terjang Ken Arok di dunia hitam akhirnya usai setelah dia bertemu seorang brahmana bernama Lohgawe, yang konon datang dari India untuk mencari titisan Dewa Wisnu di tanah Jawa.
Lohgawe yakin bahwa orang yang kelak bakal menjadi pemimpin jagat tersebut adalah Ken Arok. Di sisi lain, Tunggul Ametung, akuwu Tumapel, memperistri Ken Dedes, putri Mpu Purwa dari Panawijen.
Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Anusapati. Pada suatu hari, Ken Dedes pulang ke Panawijen untuk menjenguk ayahnya. Saat, Ken Dedes turun dari kereta kerajaan, angin bertiup kencang dan menyingkap bagian bawah kainnya. Ken Arok yang bertugas mengawal kereta Ken Dedes sempat melihat sekilas betis istri Tunggul Ametung tersebut.
Di mata Ken Arok, betis Ken Dedes memancarkan sinar menyilaukan. Peristiwa itu tidak dapat hilang dari ingatan Ken Arok. Lalu, Ken Arok menanyakan peristiwa tersebut pada Mpu Purwa. Sang Mpu menjelaskan bahwa Ken Dedes ditakdirkan sebagai wanita yang akan menurunkan raja-raja di Pulau Jawa.
Ken Arok dikisahkan jatuh hati dengan Ken Dedes yang merupakan istri dari tuannya, Tunggu Ametung. Bahkan Ken Arok berniat membunuh Tunggul Ametung, dengan cara memesan sebuah keris kepada Mpu Gandring, seorang Mpu di Tumapel. Namun, Ken Arok tidak sabar menunggu pembuatan keris yang membutuhkan waktu lama untuk menjadi senjata yang ampuh.
Ia marah, lalu merebut keris yang belum selesai dan menikam tubuh pembuatnya. Menjelang ajal, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok akan mati di ujung keris dan keris akan meminta korban tujuh nyawa.
Lalu, Ken Arok meminjamkan keris tersebut pada temannya yang senang pamer, yaitu Kebo Ijo. Kebo Ijo memamerkan keris itu pada teman-teman prajuritnya bahwa keris tersebut adalah miliknya.
Suatu saat, Ken Arok mencuri keris dari Kebo Ijo. lalu menggunakan untuk membunuh Tunggul Ametung. Dengan sendirinya, tuduhan jatuh pada Kebo Ijo.
Sementara, Ken Arok berhasil menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai akuwu dan menikahi Ken Dedes. Pernikahan Ken Arok dan Ken Dedes melahirkan anak-anak mereka, yaitu Mahesa Wong Ateleng, Apanji Saprang, Agnibhaya, serta Dewi Rimbu.
Ken Arok juga beristrikan Ken Umang sebagai selir. Perkawinan tersebut dikaruniai tiga orang putra dan satu orang putri yang masing-masing bernama Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Twan Wregola, serta Dewi Rambi. Sedangkan anak yang dikandung Ken Dedes dari Tunggul Ametung diberi nama Anusapati.
Ken Arok Mendirikan Kerajaan Singasari
Melansir buku Ensiklopedia Kerajaan-kerajaan Nusantara (2010) oleh Harry Srinansy, Ken Arok kemudian mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel. Namun, Ken Arok merasa tidak puas dan semakin menjadi-jadi.
Oleh karena itu, Ken Arok kemudian memutuskan untuk menyerang Kerajaan Kediri yang saat itu masih dipimpin oleh Raja Kertajaya. Bersamaan dengan itu, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Kadiri, dengan kaum brahmana pada 1221 Masehi.
Para Brahmana lantas menggabungkan diri dengan Ken Arok. Perang melawan Kadiri lantas meletus di Desa Genter. Hingga akhirnya kerajaan tersebut dapat ditaklukkan.
Semua wilayah Kediri kemudian disatukan ke dalam Kerajaan Tumapel, yang kemudian lebih populer dengan sebutan Kerajaan Singasari. Masa pemerintahan Ken Arok di Singasari berlangsung lama, yakni sejak tahun 1222 M hingga 1247 M.
Kematian Ken Arok
Ken Arok mati dibunuh oleh Anusapati, anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes pada 1247 M. Anusapati membalaskan dendam ayahnya dengan membunuh Ken Arok dengan keris Mpu Gandring. Jenazah Ken Arok diyakini disemayamkan di Candi Kagenengan, Malang, Jawa Timur.
Keturunan Ken Arok
Anusapati (1247-1249)
Setelah membunuh Ken Arok, tahta Kerajaan Singosari selanjutnya digantikan oleh Anusapati. Walaupun berkuasa dan menjadi raja cukup lama di Kerajaan Singosari.
Anusapati tidak banyak membawa perubahan, baik dalam kehidupan politik ataupun ekonomi. Hal itu disebabkan karena Anusapati lebih sering bermain sabung ayam. Sehingga tidak ada perkembangan ataupun pembaruan selama masa kepemimpinannya.
Berita kematian Ken Arok kemudian sampai ke telinga Tohjoyo yaitu anak kandung dari Ken Arok. Setelah itu, Tohjoyo membalaskan dendam kepada Anusapati.
Ia menjebak Anusapati dengan mengundangnya ke kediaman Tohjoyo untuk bermain sabung ayam. Tapi ketika sampai disana, Anusapati justru dibunuh dengan keris Mpu Gandring.
Tohjaya (1249-1250)
Setelah kematian Anusapati, tahta Kerajaan Singosari jatuh ke tangan Tohjoyo. Akan tetapi kekuasaan Tohjoyo tidak berlangsung lama.
Sebab, pembalasan dendam dilakukan oleh Ranggawuni atas kematian ayahnya yaitu Anusapati. Dibantu oleh Mahesa Cempaka, Ranggawuni berhasil menggulingkan kekuasaan Tohjoyo dan menggantikannya menjadi raja selanjutnya.
Ranggawuni (1250-1272)
Setelah kematian Tohjoyo, Ranggawuni resmi menjadi raja Kerajaan Singosari dan mendapatkan gelar Sri Jaya Wisnuwardana. Ketika memerintah, Ranggawuni membawa banyak kejayaan dan juga ketentraman bagi seluruh masyarakat dan Kerajaan Singosari.
Pada tahun 1254, Wisnuwardana mengangkat Kertanegara yaitu salah satu putranya sebagai raja muda atau yuwaraja. Maksud dari pengangkatan Kertanegara ini yaitu untuk menyiapkan raja selanjutnya dari Kerajaan Singosari.
Pada tahun 1268 Wisnuwardhana meninggal dunia dan dimakamkan di Candi Jago.
Kartanegara (1272-1292)
Kertanegara merupakan raja terakhir dari Kerajaan Singosari yang berkuasa pada tahun 1268 hingga 1292. Ia naik tahta untuk pertama kalinya pada tahun 1268, Kertanegara mendapatkan gelar dengan sebutan Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara.
Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Singosari mengalami masa kejayaannya. Saat memimpin kerajaan tersebut, Kertanegara dibantu oleh tiga mahamenteri dan mengganti semua pejabat pemerintahan yang memiliki sifat kolot.
Pergantian pejabat tersebut dilakukan dengan tujuan agar bisa menyatukan Nusantara dengan lancar. Kertanegara kemudian berhasil memperluas daerah kekuasaannya hingga ke Sunda, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Malaka.
Kekuasaan Kertanegara akhirnya harus berakhir karena adanya serangan dari pasukan Mongol dan terjadilah perebutan kekuasaan di dalam kerajaan tersebut.