Menilik 15 Puisi Sapardi Djoko Damono, Tidak Lekang Oleh Waktu

ANTARA FOTO/Dodo Karundeng
Editor: Sorta
20/3/2023, 12.24 WIB

Tepat pada hari ini (20/3), Google memperingati hari ulang tahun Sapardi Djoko Damono ke-83 dengan membuat animasi unik pada halaman pertamanya.

Terinspirasi dari puisi populernya, Hujan Bulan Juni, animasi nya pun menampilkan sosok beliau yang membawa payung di bawah hujan. 

Sapardi Djoko Damono adalah seorang sastrawan besar Indonesia yang karya puisinya telah dikenal mendunia dan populer dalam sastra Indonesia. Setiap puisi beliau memilki makna yang begitu dalam dan menyentuh hati sehingga terus dikenang hingga saat ini.

Beberapa karya puisi beliau antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihit Hujan (1984). Hujan Bulan Juni (1989), dan masih banyak lagi. Melalui karya-karyanya, beliau mendapatkan berbagai penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. 

Puisi Sapardi Djoko Damono (Antarafoto.com)

Puisi Sapardi Djoko Damono

Dilansir dari berbagai sumber, berikut ini 15 puisi Sapardi Djoko Damono yang masih dikenang hingga saat ini. 

Hujan Bulan Juni (1989)

tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

Aku Ingin (1989)

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun

melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,

biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang,

yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi

sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Yang Fana Adalah Waktu (1978)

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik,

merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.

Kita abadi.

Pada Suatu Hari Nanti (1991)

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Hanya

Hanya suara burung yang kau dengar

dan tak pernah kaulihat burung itu

tapi tahu burung itu ada di sana

Hanya desir angin yang kaurasa

dan tak pernah kaulihat angin itu

tapi percaya angin itu di sekitarmu

Hanya doaku yang bergetar malam ini

dan tak pernah kau lihat siapa aku

tapi yakin aku ada dalam dirimu

Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut

Mencintai air harus menjadi ricik

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintai-Mu harus menjelma aku

Menjenguk Wajah di Kolam

Jangan kau ulang lagi

menjenguk wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi itu.

Jangan sekali-kali membayangkan wajahmu sebagai rembulan.

Ingat, jangan sekali-kali. Jangan.

Baik, Tuan.

Akulah Si Telaga

akulah si telaga:

berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil

yang menggerakkan bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja perahumu biar aku yang menjaganya.

Dalam Diriku

Dalam diriku mengalir sungai panjang

Darah namanya;

Dalam diriku menggenang telaga darah

Sukma namanya;

Dalam diriku meriak gelombang sukma

Hidup namanya!

Dan karena hidup itu indah

Aku menangis sepuas-puasnya.

Puisi Sapardi Djoko Damono (Kabarno.com)



 

Kuhentikan Hujan

Kuhentikan hujan

Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut dalam diriku

Menembus tanah basah

Dendam yang dihamilkan hujan

Dan cahaya matahari

Tak bisa kutolak

Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga

Sajak Tafsir

Kau bilang aku burung?

Jangan sekali-kali berkhianat

kepada sungai, ladang, dan batu.

Aku selembar daun terakhir

yang mencoba bertahan di ranting

yang membenci angin.

Aku tidak suka membayangkan

keindahan kelebat diriku

yang memimpikan tanah,

tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku

ke dalam bahasa abu.

Tolong tafsirkan aku

sebagai daun terakhir

agar suara angin yang meninabobokan

ranting itu padam.

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat

untuk bisa lebih lama bersamamu.

Tolong ciptakan makna bagiku,

apa saja — aku selembar daun terakhir

yang ingin menyaksikanmu bahagia

ketika sore tiba.

Kita Saksikan (1967)

kita saksikan burung-burung lintas di udara

kita saksikan awan-awan kecil di langit utara

waktu itu cuaca pun senyap seketika

sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya



di antara hari buruk dan dunia maya

kita pun kembali mengenalnya

kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata

saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia

Sajak Putih

Beribu saat dalam kenangan

Surut perlahan

Kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh

Sewaktu detik pun jatuh

Kita dengar bumi yang tua dalam setia

Kasih tanpa suara

Sewaktu bayang-bayang kita memanjang

Mengabur batas ruang

Kita pun bisu tersekat dalam pesona

Sewaktu ia pun memanggil-manggil

Sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil

Di luar cuaca

Metamorfosis

Ada yang sedang menanggalkan

kata-kata yang satu demi satu

mendudukkanmu di depan cermin

dan membuatmu bertanya



tubuh siapakah gerangan

yang kukenakan ini

ada yang sedang diam-diam

menulis riwayat hidupmu

menimbang-nimbang hari lahirmu

mereka-reka sebab-sebab kematianmu



ada yang sedang diam-diam

berubah menjadi dirimu.