Selingkuh adalah istilah yang berkaitan dengan menjalin hubungan asmara dengan orang lain ketika sudah memiliki suami atau istri. Dalam agama Islam, terdapat hukum menikah dengan selingkuhan.
Selingkuh merupakan upaya yang merusak keutuhan rumah tangga orang lain. Tindakan merusak hubungan rumah tangga orang lain adalah dosa besar.
Untuk mengetahui hukum menikah dengan selingkuhan dalam sudut pandang agama Islam, simak uraian lengkapnya dalam penjelasan berikut.
Hukum Menikah dengan Selingkuhan
Tindakan selingkuh dilarang dalam agama Islam. Hal tersebut ditegaskan dengan hadis riwayat An-Nasai dan Abu Dawud sebagai berikut:
“Dan barang siapa yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya maka ia bukan termasuk dari golongan kami”. (H.R. an-Nasa'i).
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه
Artinya: "Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya." (HR Abu Dawud).
Selain itu, Rasulullah SAW juga menegaskan larangan perempuan menuntut seorang laki-laki menceraikan sang istri untuk menguasai hak istrinya selama ini. Penegasan itu terdapat pada hadis riwayat Tirmidzi:
عن أبي هريرة يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قال لَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
Artinya: "Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah saw, ia bersabda: Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya" (HR Tirmidzi).
Menurut Madzhab Maliki, apabila terdapat seorang lelaki yang merusuh hubungan suami istri, kemudian sang suami menceraikan perempuan itu, dan lelaki selingkuhannya menikah dengan perempuan itu setelah masa iddah, maka pernikahannya harus dibatalkan. Hal ini tetap berlaku meski telah terjadi akad nikah.
Alasan utama ketentuan ini adalah adanya kerusakan dalam akad. Pandangan ini diambil dari Ibnu Arafah yang menjelaskan bahwa siapapun yang berusaha memisahkan perempuan dari suaminya agar mampu menikahi perempuan itu, maka tidak mungkin baginya untuk menikahinya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui, hukum menikah dengan selingkuhan yakni perempuan itu menjadi haram dinikahi oleh lelaki selingkuhannya selamanya. Namun, terdapat pandangan lain dari Madzhab Hanafi dan Syafi'i yang menyatakan pernikahan keduanya tidak haram selamanya.
Kendati demikian, menurut Madzhab Hanafi dan Syafi'i, tindakan selingkuh sebagai perusak hubungan rumah tangga itu termasuk tindakan orang yang fasik. Tindakannya adalah maksiat paling mungkar dan dosa yang paling keji bagi Allah SWT.
Meski terdapat perbedaan pandangan tersebut, para ulama berpandangan bahwa berselingkuh adalah perbuatan dosa yang besar. Sudah seharusnya selingkuh dapat dicegah dan dihindari.
Kemudian, atas dasar pertimbangan saddudz-dzari'ah yakni menutup jalan keburukan, maka dianutlah pandangan Madzhab Maliki. Artinya, lelaki yang merusak hubungan seorang istri dan suaminya, hukumnya haram untuk menikahinya selamanya.
Nasab Anak Hasil Perselingkuhan
Setelah mengetahui hukum menikah dengan selingkuhan, menarik juga memahami nasab anak hasil perselingkuhan. Tindakan selingkuh yang merupakan dosa besar tidak hanya berdampak pada diharamkannya pasangan yang sebelumnya selingkuh kemudian menikah, tetapi juga nasab anak apabila ada perempuan yang hamil atas perselingkuhan tersebut.
Imam an-Nawawi ulama Madzhab Syafi’I menjelaskan, apabila seorang perempuan bersuami dan hamil yang disebabkan karena perselingkuhan, maka nasabnya menjadi suaminya. Pendapat ini selaras dengan pendapat al-Qayubi dalam Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah Juz III/17.
وَإِنْ كَانَتْ مُزَوَّجَةً فَالْوَلَدُ لِلزَّوْجِ
Artinya, “Jika si perempuan bersuami, (kemudian melahirkan anak), maka anak itu milik suaminya,”
Namun, apabila seorang perempuan itu lajang dan kemudian ia hamil oleh seorang laki-laki, maka nasabnya adalah dirinya sendiri. Berikutnya jika ada keadaan perempuan yang tidak bersuami hamil, baik belum menikah maupun pernah menikah sebelumnya, kemudian ia menikah dan usia pernikahannya sama dengan usia minimal kehamilan yakni 6 bulan, maka anak itu dapat dinasabkan kepada suaminya.
Landasan minimal usia kehamilan 6 bulan itu sesuai dengan pendapat Ibnu Abbas dari firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Ahqaf ayat 46:
“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan,”
Usia kehamilan dan usia menyapih adalah 30 bulan. Usia menyapih adalah 2 tahun, sehingga kehamilan minimal yakni 6 bulan.
Sebaliknya, jika kehamilan kurang dari 6 bulan, maka anak tersebut meski sudah menikah, tidak dapat dinasabkan ke suaminya. Nasab tersebut menjadi tetap pada ibunya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hukum menikah dengan selingkuhan adalah haram untuk selamanya. Pasalnya, terdapat kerusakan akad dan lebih baik demikian karena berdasarkan saddudz-dzari'ah yakni untuk menutup jalan keburukan.
Selain itu, anak hasil perselingkuhan nasabnya dapat disematkan ke suami apabila istri yang berselingkuh, perempuan yang masa usia kehamilannya selama 6 bulan dan sudah menikah. Namun, nasab sang anak milik ibu kandungnya apabila perempuan itu merupakan selingkuhan dan tidak bersuami dan usia kehamilannya kurang dari 6 bulan sejak akad menikah.